Muhammad ali al-Sayis dalam Tarekh al-figh al-Islam, begitu juga al-Khudhari Bek dalam Tarekh
al-Tasyri’ al-Islami membagi periodesasi pembentukan hukum
Islam dalam enam fase tasyri’. Pertama adalah fase kerasulan Nabi
Muhammad, dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada belia. Kedua
adalah fase para sahabat Nabi yang senior (kibar al-shahabah) mulai dari
saat kematian Nabi sampai akhir masa khulafa’ al-Rasyidin. Ketiga
adalah fase sahabat Nabi yang yunior (shighar al-shahabah) mulai dari
permulaan masa Umawi sampai kurang lebih satu abad setelah hijrah. Keempat
adalah fae fiqh menjadi ilmu tersendiri mulai dari awal abad kedua hijrah
sampai abad ketiga. Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai
masalah hukum di kalangan fuqaha’, mulai daari awal abad keempat
hijrah samapai akhir masa Abbasiyah dan penaklukan Tartar atas dunia Islam pada
abad ketujuh hijrah (1258 M). keenam adalah fase taqlid mulai dari
kejatuhan dinasti Abbasiyah sampai sekarang.[1]
Pada masa pemerintahan Nabi SAW dan masa khulafaur Rasyidin, pemerintahan
sepenuhnya berada pada tangan Nabi dan begitu pula pada masa khulafaur
Rasyidin. Sementara pada pemerintahan selanjutnya yang berlangsung kekuasaan
Dinasti Bani Umayah (661 – 750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M), kekuasaan
pemerintah dibagi menjadi 2, bidang politik dipegang oleh Khalifah dan bidang
keagamaan diberikan kepada ulama.
Pemisahan kekuasaan ini, memunculkan keputusan hukum yang bersifat
individual dan hal ini juga disebabkan berkembangnya mazhab-mazhab fiqih,
sehingga para ulama menetapkan hukum disetiap daerah berbeda-beda.
Hal ini, membuat seorang tokoh pembaharu dalam Islam
yang bernama Ibnu al-Muqaffa mengusulkan pada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur
untuk melakukan penyeragaman hukum dalam bentuk Undang-undang, tujuannya adalah
dijadikan sepenuhnya sebagai peraturan perundang-undangan. Menjadikan hukum
Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh atau yang telah dikodifikasi atau
dikompilasi sebagai undang-undang ini dalam bahasa Arab dikenal
dengan al-Taqnin.
II. PEMBAHASAN
A. Ibnu Muqaffa
Ibnu al-Muqaffa dengan nama lengkap adalah Abu
Muhammad Ibn al-Muqaffa, ia lahir pada tahun 102 H/720 M. di Persia. Oleh
karena itu, Ia dikenal pula sebagai "penulis Arab berkebangsaan Persia,"
disamping itu Ibnu al-Muqaffa juga berjasadalam mempelopori usaha penerjemahan
karya-karya sastra Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Ia meninggal pada
tahun 139 H/756 M. karena hukuman mati atas keputusan Abu Ja‘far al-Mansur
(khalifah kedua Dinasti Abbasiyah yang memerintah pada periode 137-159
H/754-775 M). Usia Ibn al-Muqaffa sangat singkat, yaitu
hanya 37 tahun (102-139 H).
Ibn al-Muqaffa hidup sezaman dengan Imam
Malik di Madinah (93-179 H). Akan tetapi, belum ditemukan literatur
yang menginformasikan pertemuan secara fisik dua ulama besar tersebut.
Mungkin ketidakbertemuan mereka disebabkan oleh jarak yang berbeda, Imam Malik
di Madinah; sementara Ibn al-Muqaffa di Kirman (Irak); ketika Ibn al-Muqaffa
meninggal, usia Imam Malik sudah paruh baya, yaitu 43 tahun. Banyak pertanyaan
mengenai beliau, sebab beliau memiliki nama "kurang lazim" untuk
ukuran seorang sekretaris Gubernur Kirman (Irak) pada zaman Dinasti Abbasiyah.
Al-Muqaffa secara bahasa berarti "orang yang dipotong tangannya."
Ibn al-Muqaffa memiliki ayah yang bernama al-Mubarak.
Al-Mubarak bertugas sebagai pemungut pajak di daerah Irak dan Iran ketika
Hajjaj Ibn Yusuf al-Saqafi menjadi Gubernur Irak dan Iran (41–95 H / 661-714 M)
pada masa kekuasaan Dinasti Bani Umayah. Al-Mubarak melakukan kesalahan
dalam menjalankan tugasnya, yaitu menggelapkan sebagian hasil pungutan pajak. Oleh
karena itu, ia dijatuhi hukuman potong tangan (sanksi pencurian adalah potong
tangan seperti terdapat dalam al-Quran). Sejak saat itulah al-Mubarak digelari al-Muqaffa‘
(orang yang terpotong tangannya). Gelar ini kemudian dilekatkan pada nama
anaknya, Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa. Secara harfiah, Ibn al-Muqaffa
berarti "anak orang yang tangannya terpotong."
Ibn al-Muqaffa bukan ahli hukum (fikih atau usul
fikih). Namun Ia adalah "politisi" yang ditandai dengan
jabatannya sebagai sekretaris Gubernur Kirman. Ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan
responsif yang sangat besar perhatiannya terhadap perbaikan (ishlah)
masyarakatnya.Karena kecerdasan tersebut, Ibn al-Muqaffa pernah diminta oleh
khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbasiyah) untuk
menyusun konsep perjanjian damai antara khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan
dengan saudaranya, Abdullah Ibn Ali, yang melakukan makar (pemberontakan).
Tetapi dalam "draft" perjanjian tersebut terdapat pernyataan-pernyataan
yang menyinggung khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Abu Ja‘far al-Mansur
marah dan curiga terhadap Ibn al-Muqaffa dan menuduhnya sebagai pendukung
pemberontak. Karena murka, Abu Ja‘far al-Mansur memerintahkan kepada Gubernur
Kirman keatika itu, Sufyan Ibn Mu‘awiyah al-Muhalibi, untuk memecat Ibn
al-Muqaffa dari jabatannya sebagai sekretaris gubernur, sekaligus menjatuhkan
hukuman mati terhadapnya karena ia dianggap sebagai pemberontak. Hukuman mati
dijalaninya pada tahun 139 H/756 M.[2]
Karya Ibnu al-Muqaffa yang lain adalah: Al-Adab
al-Shagir, al-Adab al-Kabir, dan Risalah al-Shahabah. Di dalam Risalah
al-Shahabah terkandung nasihat untuk melakukan perbaikan berbagai masalah yang
dianggap perlu untuk diperbaiki.[3]
B. Taqnin
1. Pengertian Taqnin
Secara etimologi, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk
masdar dari qannana(قَنَّنَ), yang berarti
membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari
Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini
berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah
kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran
segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau metode (thariqah).[4]
Menurut Sobhi Mahmasani kata qanun berasal dari bahasa
Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat
pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah qanun atau canon
dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik,[5]
seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus
XIII tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus
Benediktus XV tahun 1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa
dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan
perintah dari paus. Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah qanun
digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku
yag ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kedokteran yang berjudul Qanun
fi al-Tibb, Qanun al-Mas’udi yakni himpunan
pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas’ud (sultan
Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama,
pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex)
seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum,
dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan
yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni
undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[6]
Secara terminology, taqnin menurut:
1. Ibnu al-Muqaffa, taqnin adalah pengundangan kiab hukum oleh pemerintah yang
terkodifikasi dan terunivikasi sehingga berlaku mengikat dan memaksa seluruh
masyarakat yang harus dijadikan pedoman oleh semua hakim di Pengadilan, agar
kepastian hukum masyarakat dapat terjamin.
2. Abu Zahrah, taqnin adalah penyusunan hukum-hukum Islam ke dalam bentuk
kitab Undang-undang secara resmi oleh penguasa sehingga bersifat mengikat, dan
wajib dilaksanakan serta dipatuhi oleh semua warga negara yang disusun secara
ringkas dan global.[7]
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan
bahwa taqnin adalah suatu usaha mengumpulkan kaidah-kaidah khusus
yang berhubungan dengan salah satu cabang undang-undang-setelah disusun secara
sistematis dan membuang bagian yang dirasa kurang cocok atau terdapat
kerancuan- dalam sebuah daftar, kemudian menjadikannya sebagai sumber dalam
hukum yang diwajibkan oleh penguasa untuk mentaatinya, dengan cara menetapkannya
dalam lembaran Negara sebagai Undang-undang Negara yang resmi yang memiliki
kekuatan hukum.
Dalam hukum Islam juga terdapat Taqnin al-Ahkam yang
berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang
berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta
mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam
bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian
menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, dan disahkan oleh
pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah
masyarakat.[8]
Dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan
undang-undang. Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup
(perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat,
dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut dapat menimbulkan
tindakan dari pemerintah masyarakat itu.[9]Adapun
yang disebut pengertian Undang-undang secara umum diartikan peraturan yang
dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan
mengikat secara umum.[10]
Dalam perkembangan hukum Islam pada saat sekarang,
istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang
disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam
kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama
atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan
qanun.[11]
Qanun dalam kontes sekarang dipandang
sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang dikodifikasi oleh
pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Lahirnya Qanun dalam
era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang berkembang terutama
oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa.
2. Sejarah Perkembangan Taqnin
Pada masa Nabi saw, dibuat peraturan
tertulis yang disebut dengan Piagam Madinah atau Shahifah
Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban warga Madinah, baik muslim
maupun non muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah. Oleh ahli hukum, dikatakan bahwa
piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang
tertulis.[12]
pada masa sahabat, ide tentang taqnin
yang baru muncul adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar atas
usulan Umar ibn Khattab, dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan.
Begitu pula pada masa Umayah, ide yang muncul adalah pentadwinan Hadis baru
dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/102 H), khalifah kedelapan Bani
Umayah.
Pada masa Dinasti bani Umayyah dan Dinasti Bani
Abbasiyah sistem kepemimpinan dalam pemerintahan tidak lagi seperti pada masa
pemerintahan Nabi SAW, dan khulafa’ al-Rasyidin, karena dalam pemerintahan
terjadi perbedaan terdapat pemisahan kekuasaan. Kekuasaan khalifah hanya
terbatas pada bidang politik, sedangkan persoalan keagamaan diserahkan kepada Ulama.[13]
Kondisi tersebut menyebabkan umat Islam tidak
memperoleh kesatuan dan kepastian hukum mengenai suatu kasus. Para hakim di
berbagai wilayah Islam dapat dengan bebas menjatuhkan hukum menurut ijtihadnya,
tampa terikat dengan ijtihad ulama lain, sehingga tidak adanya keseragaman
hukum karena tidak ada kitab Undang-undang yang mengikat secara tertulis selain
al-Quran dan Sunnah, akibatnya putusan yang dihasilkan bersifat individual.
Kondisi Peradilan saat
itu tidak menjamin ketentraman hukum dalam masyarakat, karena satu
putusan di satu Pengadilan berbeda dengan putusan dengan putusan Pengadilan
yang lain yang sumber penggalian hukumnya berasal dari mazhab yang berbeda.
Kondisi ini menyebabkan putusan menjadi tidak menentu.[14]
Di masa Abbasiyah barulah ide tentang taqnin lahir. Salah
seorang sekretaris negara, Ibn al-Muqaffa (w. 756 H/ 140 H), keturunan
Persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-Mansyur (khalifah kedua
Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam, kemudian
mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri dengan tujuan
menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Undang-undang ini
juga harus direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu al-Muqaffa mengungkapkan
bahwa khalifah memiliki hak untuk memutuskan kebijakannya. Khalifah dapat
membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan
secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh sebelumnya, tetap
berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.[15]
Perkembangan taqnin berikutnya
mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia
secara serius memberlakukan qanun atau Qanun Name sebagai hukum
resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar Sulaiman
al-Qanuni (Sulaiman the Legislator). Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap
tentang gaji tentara, polisi rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan
hukum pidana, hukum pertanahan dan hukum perang.[16]
Kodifikasi / taqnin paling terkenal di dunia Islam dimulai
pada masa Turki Utsmani. Usaha ini dirintis melalui sebuah
tim yang diketuai Menteri Kehakiman yang bekerja mulai tahun 1285 H/1869 M
sampai 1293 H/1876 M. pada tahun 1877 M berhasil disusun kitab undang-undang
Hukum Perdata yang diberi nama Majallaat al-Ahkam al-Adliyah. Kitab
undang-undang yang berisi 16 bab dan 1851 pasal ini diberlakukan di
negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani seperti Mesir, Irak,
Suria, Libia, dan Tunisia.[17] Kitab hukum
tersebut secara umum diambil dari kitab-kitab madzhab Hanafi. Jika
dalam kitab tersebut ditemukan khilafah antara Abu Hanifah dan
pengikutnya, maka pendapat yang diambil adalah yang dianggap cocok dengan
kondisi dan kemaslahatan umum.
Pada masa kekuasan Dinasti Mughal di India juga
dihimpun satu aturan hukum yang disebut Fatawa Alamghirriyah. Alamghirriyah
adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan Muhammad Aurangzeb (1658-1707 M / 1038-1118 H) dari dinasti Mughal.[18] Ketika Inggris
menguasai India (tahun 1772 M), terjadi perpaduan antara hukum Islam
yang telah berjalan di India dengan sistem hukum Inggris sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan
Law (Hukum Inggris Islam). Dalam praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi
oleh para mufti untuk menyatakan hukum Islam yang benar untuk membantu para
hakim Inggris tersebut.[19]
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi
hukum di berbagai negara Arab. Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh
Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi
hukum di Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat
(Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum
Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara
murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami
berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak
pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi
hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami
perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki
Usmani, melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah
mulai mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953,
Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.
Indonesia sejak abad ke-15 M
telah banyak berdiri kesultanan Islam dan menjadikan hukum Islam sebagai aturan
negara, meskipun sulit untuk menelusuri bentuk konkrit peraturan yang diterapkannya. Ketika Indonesia
menjadi wilayah belanda, sistem hukum Belanda banyak mewarnai sistem hukum yang
diterapkan di Indonesia sampai kini. Di Indonesia semangat taqnin telah
ada sejak awal pendirian bangsa Indonesia yang ditandai dari ide untuk
memasukkan kewajiban melaksanakan syariat bagi pemeluk agama Islam. Di era orde baru,
sebagain dari hukum Islam diakomodasi oleh pemerintah dengan lahirnya
undang-undang perkawinan (1974), Peraturan pemerintah tentang Wakaf (1977),
Undang-undang peradilan agama (1987), Kompilasi hukum Islam (1991). Di era
reformasi, semangat Taqnin al-Ahkam semakain besar
baik melaui undang-undang maupun melalui peraturan daerah, dan hasilnya
beberapa undang-undang maupun peraturan daerah berkenaan dengan hukum Islam
telah lahir. [20]
C. Ide Taqnin Ibn
Muqaffa’
Ide taqnin Ibn Muqaffa’ ini dilatar
belakangi oleh keadaan peradilan pada masa itu yang semrawut (faudha’)
dan tidak adanya peraturan yang dapat dijadikan pegangan oleh para qadhi. Akibatnya tidak ada
kodifikasi dan unifikasi hukum, muncullah putusan hakim yang berbeda-beda,
bahkan saling bertentangan mekipun kasusnya sama. Semua keputusan tergantung
pada ijtihad masing-masing qadhi yang memiliki mazhab-mazahab yang berbeda.[21]
Menurut Ibnu al-Muqaffa tujuan taqnin tersebut
adalah: Pertama, untuk memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga
mudah disosialisasikan di masyarakat, dan kedua, untuk membantu para
hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi,
tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Sehingga, inilah yang mendorong Ibnu
al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul
kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya al-Risalah al-Shahabah (surat
untuk pendamping khalifah).[22]
Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa
berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim di lembaga peradilan dapat
dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam
yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar hukum yang dikodifikasi
tidak hanya berasal dari satu mazhab fiqh, melainkan diplih dan ditarjih dari
berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan kondisi dan
kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis
berupaya menghilangkan sikap fanatik mazhab yang merajalela dan melarang para hakim menetapkan suatu
hukum yang tidak sesuai dengan yang
ditetapkan pemerintah.[23]
Dalam hal ini Ibn Muqaffa berkata kepada al-Mansyur,
“Yang amat penting diperhatikan oleh Amirul Mukminin adalah munculnya hasil keputusan
para hakim yang saling bertentangan di berbagai wilayah dinasti Abbasiyah,
sekalipun kasusnya yang mereka hadapi adalah sama. Perbedaan hukum
yang dijatuhkan tersebut amat membahayakan jiwa, harta dan kehormatan manusia.
Dalam menghadapi persoalan ini, seyogyanya khalifah mengambil sikap dengan
menghimpun berbagai pendapat fikih yang terkuat dan relevan sebagai hukum
materil yang akan diterapkan oleh seluruh pengadilan. Himpunan hukum yang telah
disatukan ini dijadikan pedoman dan berkekuatan mengikat bagi seluruh hakim di
pengadilan. Untuk itu khalifah perlu menunjuk petugas khusus untuk setiap
wilayah yang akan menghimpun hukum yang lebih sesuai dengan kondisi dan
daerah tersebut serta menerapkan kaidah-kaidah penerapannya”.[24]
Ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa
karena dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan
keharusan bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi,
maka keterpakuan pada hukum yang telah dikodifikasi merupakan bentuk taklid
lain dan pemilihan hukum yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak
mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini,
pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Namun demikian dalam suatu kesempatan ibadah haji
tahun 163 H, Khalifah al-Manshur menemui dan meminta Imam Malik (w. 795 M/ 179
H) untuk menyusun sebuah buku yang meliputi persoalan fikih dengan memilih
hukum-hukum dari sumber aslinya, dan dengan mempertimbangkan prinsip kemudahan
dalam pelaksanaannya. Ketika al-Masyur bertemu dengan Imam Malik, ia berkata
“Susunlah sebuah buku fikih dengan menghindari berbagai kesulitan seperti yang
dijumpai dalam berbagai pendapat Abdullah ibn Umar dan juga tidak seringan yang
terdapat dalam hasil ijtihad Abdullah ibn Abbas. Tetapi pilihlah pendapat yang
sederhana, menengah, serta yang disepakati para sahabat, sehingga buku ini
dapat dijadikan pegangan diseluruh negeri; kita akan menetapkan bahwa keputusan
para hakim tidak boleh berbeda dengan materi hukum yang ada dalam buku
tersebut”.[25]
Akan tetapi Imam Malik tidak
sependapat dengan khalifah, karena menurutnya masing-masing wilayah telah
mempunyai aliran atau imam mazhab tersendiri,[26] seperti penduduk
irak yang tidak mungkin sependapat dengan pendapat Malik. Tetapi, khalifah
Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitab yang akan disusun
itu akan diberlakukan di seluruh wilayah Abbasiyah dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik
untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi
permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.[27]
D. Pandangan
Ulama Terhadap Taqnin
Para ulama klasik tidak mengenal istilah taqin , namun
hal tersebut bisa dihubungkan kepada
permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat
tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh
melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad
sendiri.
Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua
kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan:
1. Tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu
mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan
pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali,
seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid
Abu Hanifah.[28] Ibnu Taimiyyah juga berpendapat
demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[29]
Alasan Para ulama yang melarang tersebut adalah Kebenaran
tidaklah terbatas pada mazhab tertentu, dan pemerintah tidak berhak melarang
masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan
keleluasaan kepada mereka. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab
yang diikuti oleh seorang hakim dan mereka berdalil dengan ayat:
... Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/
artinya: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan
kebenaran (QS. Shad: 26).
2. penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk
memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang
oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti
yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili
dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika
penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada
tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut
adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk
memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak
boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang
telah disahkan penguasa.[30]
Dari uraian di atas, tampaknya
pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas
para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan
bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara
yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib
mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik
Allah dan Rasul-Nya.
E. Sisi
Positif dan Negatif Taqnin
Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan
beberapa sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut antara lain:
1. Munculnya kekakuan
hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan
perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya.
Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan
kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan
untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul
pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa
perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang
diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang
dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa
memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2. Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan
kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa
saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan
berpikirnya pun mandek.
3. Munculnya persoalan
taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan
taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut
hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat berkembang,
berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat
mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini
juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan
dengan ungkapan ikhtilaf ala al-aimmah rahmah li
al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila
suatu hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh
warga negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim
menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka
hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.
sisi positif keberadaan taqnin / kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1. memudahkan para
praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab
fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang
kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum,
para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam
literatur fiqh.
2. Mengukuhkan fiqh
Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan
perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama
dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari
sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat
menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan
diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau
Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan
kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat
yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila
di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid,
sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3. menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini
menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4. Menciptakan
unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu
negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu
peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi
juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu
peradian dan peradilann lainnya.[31]
Dalam kaitan ini, menurut Wahbah Zuhaili
seorang ulama ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa
kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat
dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun
demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya,
kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat
menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hukum yang telah
dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak
pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[32]
Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif
kodifikasi hukum Islam tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya
hukum, akhirnya ulama Islam di zaman modern lebih banyak mendukung ide
kodifikasi hukum di negeri masing-masing karena terdesak oleh situasi dan
kondisi sosio kultural dan politik. Bahkan di berbagai negara
Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya
masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana perseorangan
serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan
negara.
III. PENUTUP
Pemikiran ide taqnin yang
dilakukan oleh Ibnu al-Muqaffa merupakan salah satu usahanya untuk mengusulkan
perubahan sistem perundang-undangan hukum kepada Khalifah Abu Ja’far
al-Manshur, agar pemerintah melakukan pengundangan sebuah kitab hukum yang
dikodifikasi dan terunivikasi yang berlaku secara mengikat dan memaksa serta
mengatur kepada seluruh masyarakat yang deijadikan pedoman oleh para hakim
dalam memutuskan suatu perkara sehingga masyarakat memperoleh kepastian hukum.
Pengembangan pemikiran
Ibnu al-Muqaffa ini, dipengaruhi oleh kecerdasan dan hasil pembelajarannya dari
penerjemahan buku-buku karangan yang berbahasa India dan Persia yang ia
terjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Selanjutnya, ide taqnin Ibnu al-Muqaffa ini menjadi perbincangan para
penguasa pada abad ke-19 yang melahirkan kodifikasi-kodifikasi hukum di
Negara-negara Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Bek, Muhammad al-Khudari, Tarikh
Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Anis, Ibrahim, Al-Mu`jam al-Wasith, Mesir, 1392 H/1972 juz 2
Mahmasani, Sobhi, Filsafat Hukum Islam, (Bandung:
al-Maarif, 1976)
Kasir, Ibnu, al-Bidayah Wa al-Nihayah,(Dar al-Hijr, 1419 H),
Juz 13
Zahrah, Muhammad Abu, al-Islam Wa Taqnin al-Ahkam: Da’wah
Mukhlishah Li Taqnin Ahkam Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: 1977)
Zarqa, Mustafa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, (Beirut: Dar
al-Qalam, 1418 H)
Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar,1957)
Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1998)
Mubarok, Jaih, Hukum Islam, (Bandung: Benang
Merah Press, 2006)
Ismatullah, Deddy,Gagasan Peerintahan
Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung: Sahifa, 2006).
Zuhri, Muhammad, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, t.t)
Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), vol. 4
Sulaiman, Umar, Tarikh al-Fiqh
al-Islamiy, (Kuwait: Maktabah al-Kalali,1982)
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
Mardjono,Hartono, Menegakkan Syari`at Islam
dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997)
Tim Penulis IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (
Jakarta: Djambatan, 1992)
Madkur, Muhammad Salam, al-Qadha’ Fi al-Islam, (Dar al-Nahdah
al-Arabiyyah, t.t)
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam,
(Bandung: Nuansa, 2010)
Muqaffa,Ibnu, al-Adab al-Shagir Wa Adab al-Kabir Wa Risalah
al-Shahabah, (Beirut: Maktabah al-Bayan, 1960)
Qasim, Abdurrahman bin, Majmu’ al-Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Dar Alam al-Kutub, 1412 H), Juz 35
Zuhailiy,
Wahbah, Ushul al-fiqh al-Islamiy, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1980)
[1] Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1988), h. 5-6
[2] Ibnu Kasir, al-Bidayah Wa al-Nihayah,(Dar al-Hijr, 1419 H), Juz
13, h. 384
[3] Sobhi Mahmasani, Filsafat
Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1976),h. 67
[4] Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir, 1972), Juz 2, h. 798
[5] Sobhi Mahmasani, log. cit..., h. 27
[6] Sobhi Mahmasani, Ibid,..., h. 28
[7] Muhammad Abu Zahrah, al-Islam Wa Taqnin al-Ahkam: Da’wah Mukhlishah
Li Taqnin Ahkam Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: 1977), h. 236-237
[8] Mustafa al-Zarqa, al-Madkhal
al-Fiqh al-‘Am, (Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H), h. 313
[10] Rosjidi
Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,
(Bandung: Mandar Maju,1998), h. 10
[13] Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 80
[14] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
tt), h. 208
[16] Joseph Schacht, Ibid...,
h. 143
[17] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), h. 230
[18] Abdul Manan, Ibid..., h. 190
[20] Hartono Mardjono, Menegakkan
Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 125.
[21] Tim Penulis IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (
Jakarta: Djambatan, 1992), h. 373
[22] Sobhi Mahmasani, log. cit..., h. 67
[23] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha’ Fi al-Islam, (Dar al-Nahdah
al-Arabiyah, tt),h. 49
[24] Ibnu al-Muqaffa, al-Adab al-Shagir Wa Adab al-Kabir Wa Risalah
al-Shahabah, (Beirut: Maktabah al-Bayan, 1960),h.208
[25] Muhammad Salam al-Madkur, op.
cit..., h. 49
[26] Muhammad Salam al-Madkur, Ibid...,
h. 145
[27] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), vol. 4, h. 1094.
[29] Abdurrahman bin Qasim, , Majmu’
al-Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Dar Alam
al-Kutub, 1412 H), Juz 35, h, 357
[30] Jaih Mubarok, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006),
h. 1
[31] Mustafa al-Zarqa, log.cit..., h. 314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar