Senin, 15 Februari 2016

Ibnu al- Muqaffa dan ide Taqnin


PENDAHULUAN
Muhammad ali al-Sayis dalam Tarekh al-figh al-Islam, begitu juga al-Khudhari Bek dalam Tarekh al-Tasyri’ al-Islami membagi periodesasi pembentukan hukum Islam dalam enam fase tasyri’. Pertama adalah fase kerasulan Nabi Muhammad, dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada belia. Kedua adalah fase para sahabat Nabi yang senior (kibar al-shahabah) mulai dari saat kematian Nabi sampai akhir masa khulafa’ al-Rasyidin. Ketiga adalah fase sahabat Nabi yang yunior (shighar al-shahabah) mulai dari permulaan masa Umawi sampai kurang lebih satu abad setelah hijrah. Keempat adalah fae fiqh menjadi ilmu tersendiri mulai dari awal abad kedua hijrah sampai abad ketiga. Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’, mulai daari awal abad keempat hijrah samapai akhir masa Abbasiyah dan penaklukan Tartar atas dunia Islam pada abad ketujuh hijrah (1258 M). keenam adalah fase taqlid mulai dari kejatuhan dinasti Abbasiyah sampai sekarang.[1]
Pada masa pemerintahan Nabi SAW dan masa khulafaur Rasyidin, pemerintahan sepenuhnya berada pada tangan Nabi dan begitu pula pada masa khulafaur Rasyidin. Sementara pada pemerintahan selanjutnya yang berlangsung kekuasaan Dinasti Bani Umayah (661 – 750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M), kekuasaan pemerintah dibagi menjadi 2, bidang politik dipegang oleh Khalifah dan bidang keagamaan diberikan kepada ulama.  Pemisahan kekuasaan ini, memunculkan keputusan hukum yang bersifat individual dan hal ini juga disebabkan berkembangnya mazhab-mazhab fiqih, sehingga para ulama menetapkan hukum disetiap daerah berbeda-beda. 
Hal ini, membuat seorang tokoh pembaharu dalam Islam yang bernama Ibnu al-Muqaffa mengusulkan pada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur untuk melakukan penyeragaman hukum dalam bentuk Undang-undang, tujuannya adalah dijadikan sepenuhnya sebagai peraturan perundang-undangan. Menjadikan hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh atau yang telah dikodifikasi atau dikompilasi sebagai undang-undang  ini dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Taqnin.
II.  PEMBAHASAN
A. Ibnu Muqaffa 
Ibnu al-Muqaffa dengan nama lengkap adalah Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa, ia lahir pada tahun 102 H/720 M. di Persia. Oleh karena itu, Ia dikenal pula sebagai "penulis Arab berkebangsaan Persia," disamping itu Ibnu al-Muqaffa juga berjasadalam mempelopori usaha penerjemahan karya-karya sastra Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Ia meninggal pada tahun 139 H/756 M. karena hukuman mati atas keputusan Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Abbasiyah yang memerintah pada periode 137-159 H/754-775 M). Usia Ibn al-Muqaffa sangat singkat, yaitu hanya 37 tahun (102-139 H).
Ibn al-Muqaffa hidup sezaman dengan  Imam Malik  di Madinah (93-179 H). Akan tetapi, belum ditemukan literatur  yang  menginformasikan pertemuan secara fisik dua ulama besar tersebut. Mungkin ketidakbertemuan mereka disebabkan oleh jarak yang berbeda, Imam Malik di Madinah; sementara Ibn al-Muqaffa di Kirman (Irak); ketika Ibn al-Muqaffa meninggal, usia Imam Malik sudah paruh baya, yaitu 43 tahun. Banyak pertanyaan mengenai beliau, sebab beliau memiliki nama "kurang lazim" untuk ukuran seorang sekretaris Gubernur Kirman (Irak) pada zaman Dinasti Abbasiyah. Al-Muqaffa secara bahasa berarti "orang yang dipotong tangannya."
Ibn al-Muqaffa memiliki ayah yang bernama al-Mubarak. Al-Mubarak bertugas  sebagai pemungut pajak di daerah Irak dan Iran ketika Hajjaj Ibn Yusuf al-Saqafi menjadi Gubernur Irak dan Iran (41–95 H / 661-714 M) pada masa kekuasaan Dinasti Bani Umayah. Al-Mubarak melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, yaitu menggelapkan sebagian hasil pungutan pajak. Oleh karena itu, ia dijatuhi hukuman potong tangan (sanksi pencurian adalah potong tangan seperti terdapat dalam al-Quran). Sejak saat itulah al-Mubarak digelari al-Muqaffa‘ (orang yang terpotong tangannya). Gelar ini kemudian dilekatkan pada nama anaknya, Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa. Secara harfiah, Ibn al-Muqaffa berarti  "anak orang yang tangannya terpotong."
Ibn al-Muqaffa bukan ahli hukum (fikih atau usul fikih). Namun Ia adalah "politisi" yang ditandai dengan jabatannya sebagai sekretaris Gubernur Kirman. Ia  dikenal sebagai sosok yang cerdas dan responsif yang sangat besar perhatiannya terhadap perbaikan (ishlah) masyarakatnya.Karena kecerdasan tersebut, Ibn al-Muqaffa pernah diminta oleh khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbasiyah) untuk menyusun konsep perjanjian damai antara khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan dengan saudaranya, Abdullah Ibn Ali, yang melakukan makar (pemberontakan). Tetapi dalam "draft" perjanjian tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang menyinggung  khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Abu Ja‘far al-Mansur marah dan  curiga terhadap Ibn al-Muqaffa dan menuduhnya sebagai pendukung pemberontak. Karena murka, Abu Ja‘far al-Mansur memerintahkan kepada Gubernur Kirman keatika itu, Sufyan Ibn Mu‘awiyah al-Muhalibi, untuk memecat Ibn al-Muqaffa dari jabatannya sebagai sekretaris gubernur, sekaligus menjatuhkan hukuman mati terhadapnya karena ia dianggap sebagai pemberontak. Hukuman mati dijalaninya pada tahun 139 H/756 M.[2]
Karya Ibnu al-Muqaffa yang lain adalah: Al-Adab al-Shagir, al-Adab al-Kabir, dan Risalah al-Shahabah. Di dalam Risalah al-Shahabah terkandung nasihat untuk melakukan perbaikan berbagai masalah yang dianggap perlu untuk diperbaiki.[3]
B. Taqnin
1. Pengertian Taqnin
Secara etimologi, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana(قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau metode (thariqah).[4]
Menurut Sobhi Mahmasani kata qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah qanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik,[5] seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun 1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus. Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah qanun digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb,  Qanun al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[6]
Secara terminology, taqnin menurut:
1.      Ibnu al-Muqaffa, taqnin adalah pengundangan kiab hukum oleh pemerintah yang terkodifikasi dan terunivikasi sehingga berlaku mengikat dan memaksa seluruh masyarakat yang harus dijadikan pedoman oleh semua hakim di Pengadilan, agar kepastian hukum masyarakat dapat terjamin.     
2.      Abu Zahrah, taqnin adalah penyusunan hukum-hukum Islam ke dalam bentuk kitab Undang-undang secara resmi oleh penguasa sehingga bersifat mengikat, dan wajib dilaksanakan serta dipatuhi oleh semua warga negara yang disusun secara ringkas dan global.[7]
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa taqnin adalah suatu usaha mengumpulkan kaidah-kaidah khusus yang berhubungan dengan salah satu cabang undang-undang-setelah disusun secara sistematis dan membuang bagian yang dirasa kurang cocok atau terdapat kerancuan- dalam sebuah daftar, kemudian menjadikannya sebagai sumber dalam hukum yang diwajibkan oleh penguasa untuk mentaatinya, dengan cara menetapkannya dalam lembaran Negara sebagai Undang-undang Negara yang resmi yang memiliki kekuatan hukum.
Dalam hukum Islam juga terdapat Taqnin al-Ahkam yang berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, dan disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[8]
Dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.[9]Adapun yang disebut pengertian Undang-undang secara umum diartikan peraturan yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan mengikat secara umum.[10]
Dalam perkembangan hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.[11]
Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa.
2.     Sejarah Perkembangan Taqnin
Pada masa Nabi saw, dibuat peraturan tertulis yang disebut dengan Piagam Madinah atau Shahifah Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban warga Madinah, baik muslim maupun non muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah. Oleh ahli hukum, dikatakan bahwa piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang tertulis.[12]
pada masa sahabat, ide tentang taqnin yang baru muncul adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar atas usulan Umar ibn Khattab, dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan. Begitu pula pada masa Umayah, ide yang muncul adalah pentadwinan Hadis baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/102 H), khalifah kedelapan Bani Umayah.
Pada masa Dinasti bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah sistem kepemimpinan dalam pemerintahan tidak lagi seperti pada masa pemerintahan Nabi SAW, dan khulafa’ al-Rasyidin, karena dalam pemerintahan terjadi perbedaan terdapat pemisahan kekuasaan. Kekuasaan khalifah hanya terbatas pada bidang politik, sedangkan persoalan keagamaan diserahkan kepada Ulama.[13]
Kondisi tersebut menyebabkan umat Islam tidak memperoleh kesatuan dan kepastian hukum mengenai suatu kasus. Para hakim di berbagai wilayah Islam dapat dengan bebas menjatuhkan hukum menurut ijtihadnya, tampa terikat dengan ijtihad ulama lain, sehingga tidak adanya keseragaman hukum karena tidak ada kitab Undang-undang yang mengikat secara tertulis selain al-Quran dan Sunnah, akibatnya putusan yang dihasilkan bersifat individual.  
Kondisi Peradilan saat  itu tidak menjamin ketentraman hukum dalam masyarakat, karena satu putusan di satu Pengadilan berbeda dengan putusan dengan putusan Pengadilan yang lain yang sumber penggalian hukumnya berasal dari mazhab yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan putusan menjadi tidak menentu.[14]
Di masa Abbasiyah barulah ide tentang taqnin lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibn al-Muqaffa  (w. 756 H/ 140 H), keturunan Persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam, kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri dengan tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Undang-undang ini juga harus direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu al-Muqaffa mengungkapkan bahwa khalifah memiliki hak untuk memutuskan kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.[15] 
Perkembangan taqnin berikutnya mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia secara serius  memberlakukan qanun atau Qanun Name sebagai hukum resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar Sulaiman al-Qanuni (Sulaiman the Legislator). Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap tentang gaji tentara, polisi rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan hukum pidana, hukum pertanahan dan hukum perang.[16] 
Kodifikasi /  taqnin paling terkenal di dunia Islam dimulai pada masa Turki Utsmani. Usaha ini dirintis melalui sebuah tim yang diketuai Menteri Kehakiman yang bekerja mulai tahun 1285 H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. pada tahun 1877 M berhasil disusun kitab undang-undang Hukum Perdata yang diberi nama Majallaat al-Ahkam al-Adliyah. Kitab undang-undang yang berisi 16 bab dan 1851 pasal ini diberlakukan di negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani seperti Mesir, Irak, Suria, Libia, dan Tunisia.[17] Kitab hukum tersebut  secara umum diambil dari kitab-kitab madzhab Hanafi. Jika dalam kitab tersebut ditemukan khilafah antara Abu Hanifah dan pengikutnya, maka pendapat yang diambil adalah yang dianggap cocok dengan kondisi dan kemaslahatan umum.
Pada masa kekuasan Dinasti Mughal di India juga dihimpun satu aturan hukum yang disebut Fatawa Alamghirriyah. Alamghirriyah adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan Muhammad Aurangzeb (1658-1707 M / 1038-1118 H) dari dinasti Mughal.[18] Ketika Inggris menguasai India (tahun 1772 M), terjadi perpaduan  antara hukum Islam yang telah berjalan di India dengan sistem hukum Inggris sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan Law (Hukum Inggris Islam). Dalam praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi oleh para mufti untuk menyatakan hukum Islam yang benar untuk membantu para hakim Inggris tersebut.[19]
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab. Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.
Indonesia sejak abad ke-15 M telah banyak berdiri kesultanan Islam dan menjadikan hukum Islam sebagai aturan negara, meskipun sulit untuk menelusuri bentuk konkrit peraturan yang diterapkannya. Ketika Indonesia menjadi wilayah belanda, sistem hukum Belanda banyak mewarnai sistem hukum yang diterapkan di Indonesia sampai kini. Di Indonesia semangat taqnin telah ada sejak awal pendirian bangsa Indonesia yang ditandai dari ide untuk memasukkan kewajiban melaksanakan syariat bagi pemeluk agama IslamDi era orde baru, sebagain dari hukum Islam diakomodasi oleh pemerintah dengan lahirnya undang-undang perkawinan (1974), Peraturan pemerintah tentang Wakaf (1977), Undang-undang peradilan agama (1987), Kompilasi hukum Islam (1991). Di era reformasi, semangat Taqnin al-Ahkam semakain besar baik melaui undang-undang maupun melalui peraturan daerah, dan hasilnya beberapa undang-undang maupun peraturan daerah berkenaan dengan hukum Islam telah lahir. [20]
C.    Ide Taqnin Ibn Muqaffa’
Ide taqnin Ibn Muqaffa’ ini dilatar belakangi oleh keadaan peradilan pada masa itu yang semrawut (faudha’) dan tidak adanya peraturan yang dapat dijadikan pegangan oleh para qadhi. Akibatnya tidak ada kodifikasi dan unifikasi hukum, muncullah putusan hakim yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan mekipun kasusnya sama. Semua keputusan tergantung pada ijtihad masing-masing qadhi yang memiliki mazhab-mazahab yang berbeda.[21]
Menurut Ibnu al-Muqaffa tujuan  taqnin tersebut adalah: Pertama, untuk memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di masyarakat, dan kedua, untuk membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Sehingga, inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya al-Risalah al-Shahabah (surat untuk pendamping khalifah).[22]
  Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim di lembaga peradilan dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fiqh, melainkan diplih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya menghilangkan sikap fanatik mazhab yang merajalela dan melarang para hakim menetapkan suatu hukum  yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.[23]
Dalam hal ini Ibn Muqaffa berkata kepada al-Mansyur, “Yang amat penting diperhatikan oleh Amirul Mukminin adalah munculnya hasil keputusan para hakim yang saling bertentangan di berbagai wilayah dinasti Abbasiyah, sekalipun kasusnya yang mereka hadapi adalah sama. Perbedaan hukum yang dijatuhkan tersebut amat membahayakan jiwa, harta dan kehormatan manusia. Dalam menghadapi persoalan ini, seyogyanya khalifah mengambil sikap dengan menghimpun berbagai pendapat fikih yang terkuat dan relevan sebagai hukum materil yang akan diterapkan oleh seluruh pengadilan. Himpunan hukum yang telah disatukan ini dijadikan pedoman dan berkekuatan mengikat bagi seluruh hakim di pengadilan. Untuk itu khalifah perlu menunjuk petugas khusus untuk setiap wilayah yang akan menghimpun hukum yang lebih sesuai dengan kondisi dan daerah  tersebut serta menerapkan kaidah-kaidah penerapannya”.[24]
Ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka keterpakuan pada hukum yang telah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan pemilihan hukum yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Namun demikian dalam suatu kesempatan ibadah haji tahun 163 H, Khalifah al-Manshur menemui dan meminta Imam Malik (w. 795 M/ 179 H) untuk menyusun sebuah buku yang meliputi persoalan fikih dengan memilih hukum-hukum dari sumber aslinya, dan dengan mempertimbangkan prinsip kemudahan dalam pelaksanaannya. Ketika al-Masyur bertemu dengan Imam Malik, ia berkata “Susunlah sebuah buku fikih dengan menghindari berbagai kesulitan seperti yang dijumpai dalam berbagai pendapat Abdullah ibn Umar dan juga tidak seringan yang terdapat dalam hasil ijtihad Abdullah ibn Abbas. Tetapi pilihlah pendapat yang sederhana, menengah, serta yang disepakati para sahabat, sehingga buku ini dapat dijadikan pegangan diseluruh negeri; kita akan menetapkan bahwa keputusan para hakim tidak boleh berbeda dengan materi hukum yang ada dalam buku tersebut”.[25]
Akan tetapi Imam Malik tidak sependapat dengan khalifah, karena menurutnya masing-masing wilayah telah mempunyai aliran atau imam mazhab tersendiri,[26] seperti penduduk irak yang tidak mungkin sependapat dengan pendapat Malik. Tetapi, khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitab yang akan disusun itu akan diberlakukan di seluruh wilayah Abbasiyah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.[27]
D.     Pandangan Ulama Terhadap Taqnin
Para ulama klasik tidak mengenal istilah taqin , namun hal tersebut bisa dihubungkan  kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri.
Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan:
1.      Tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah.[28] Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[29]
Alasan Para ulama yang melarang tersebut adalah Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu, dan pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim dan mereka berdalil dengan  ayat:
... Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/
artinyaMaka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad: 26). 
2.      penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa.[30]
Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.
E.     Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut antara lain:
1.      Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2.      Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
3.      Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan dengan ungkapan ikhtilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.
sisi positif  keberadaan taqnin /  kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1.      memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.
2.      Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3.      menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4.      Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya.[31]
Dalam kaitan ini, menurut Wahbah Zuhaili seorang ulama ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[32]
Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio kultural dan politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan negara.
III. PENUTUP
            Pemikiran ide taqnin yang dilakukan oleh Ibnu al-Muqaffa merupakan salah satu usahanya untuk mengusulkan perubahan sistem perundang-undangan hukum kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, agar pemerintah melakukan pengundangan sebuah kitab hukum yang dikodifikasi dan terunivikasi yang berlaku secara mengikat dan memaksa serta mengatur kepada seluruh masyarakat yang deijadikan pedoman oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara sehingga masyarakat memperoleh kepastian hukum.
            Pengembangan pemikiran Ibnu al-Muqaffa ini, dipengaruhi oleh kecerdasan dan hasil pembelajarannya dari penerjemahan buku-buku karangan yang berbahasa India dan Persia yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Selanjutnya, ide taqnin Ibnu al-Muqaffa ini menjadi perbincangan para penguasa pada abad ke-19 yang melahirkan kodifikasi-kodifikasi hukum di Negara-negara Islam.  

DAFTAR PUSTAKA
Bek, Muhammad al-Khudari, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Anis, Ibrahim, Al-Mu`jam al-Wasith, Mesir, 1392 H/1972 juz 2
Mahmasani, Sobhi, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: al-Maarif, 1976)
Kasir, Ibnu, al-Bidayah Wa al-Nihayah,(Dar al-Hijr, 1419 H), Juz 13
Zahrah, Muhammad Abu, al-Islam Wa Taqnin al-Ahkam: Da’wah Mukhlishah Li Taqnin Ahkam Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: 1977)
Zarqa, Mustafa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, (Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H)
Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar,1957)
Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1998)
Mubarok, Jaih, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006)
Ismatullah, Deddy,Gagasan Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung: Sahifa, 2006).
Zuhri, Muhammad, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t)
Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), vol. 4
Sulaiman, Umar, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, (Kuwait: Maktabah al-Kalali,1982)
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
Mardjono,Hartono, Menegakkan Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997)
Tim Penulis IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 1992)
Madkur, Muhammad Salam, al-Qadha’ Fi al-Islam, (Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, t.t)
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Nuansa, 2010)
Muqaffa,Ibnu, al-Adab al-Shagir Wa Adab al-Kabir Wa Risalah al-Shahabah, (Beirut: Maktabah al-Bayan, 1960)
Qasim, Abdurrahman bin, Majmu’ al-Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Dar Alam al-Kutub, 1412 H), Juz 35
Zuhailiy, Wahbah, Ushul al-fiqh al-Islamiy, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1980)



[1] Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 5-6
[2] Ibnu Kasir, al-Bidayah Wa al-Nihayah,(Dar al-Hijr, 1419 H), Juz 13, h. 384
[3]  Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1976),h. 67
[4] Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir, 1972), Juz 2, h. 798
[5] Sobhi Mahmasani, log. cit..., h. 27
[6] Sobhi Mahmasani, Ibid,..., h. 28
[7] Muhammad Abu Zahrah, al-Islam Wa Taqnin al-Ahkam: Da’wah Mukhlishah Li Taqnin Ahkam Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: 1977), h. 236-237
[8]  Mustafa al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, (Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H), h. 313
[9] E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar,1957), h. 9
[10] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1998), h. 10
[11] Jaih Mubarok, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 1
[12] Deddy Ismatullah,Gagasan Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung: Sahifa, 2006).
[13] Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 80
[14] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt), h. 208
[15] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Nuansa, 2010), h. 95
[16]  Joseph Schacht, Ibid..., h. 143
[17] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 230
[18] Abdul Manan, Ibid..., h. 190
[19]  Umar Sulaiman, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, (Kuwait: Maktabah al-Kalali,1982),h. 145-148
[20] Hartono Mardjono, Menegakkan Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 125.
[21] Tim Penulis IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 1992), h. 373
[22] Sobhi Mahmasani, log. cit..., h. 67
[23] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha’ Fi al-Islam, (Dar al-Nahdah al-Arabiyah, tt),h. 49
[24] Ibnu al-Muqaffa, al-Adab al-Shagir Wa Adab al-Kabir Wa Risalah al-Shahabah, (Beirut: Maktabah al-Bayan, 1960),h.208
[25]  Muhammad Salam al-Madkur, op. cit..., h. 49
[26]  Muhammad Salam al-Madkur, Ibid..., h. 145
[27]  Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), vol. 4, h. 1094.
[28] Taqnin al-Fiqh al-Islami al-Mabda’u wa al-Manhaju wa al-Tathbiq, hal. 36-37
[29] Abdurrahman bin Qasim, , Majmu’ al-Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Dar Alam al-Kutub, 1412 H), Juz 35, h, 357 
[30] Jaih Mubarok, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 1 
[31] Mustafa al-Zarqa, log.cit..., h. 314 
[32] Wahbah Zuhailiy, Ushul al-fiqh al-Islamiy, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar