Senin, 15 Februari 2016

PEMIKIRAN PARA SOSIOLOGI HUKUM

A.  PEMIKIRAN EMILE DURKHEIM (1858-1917)
Emile Durkhein dari Prancis adalah salah seorang tokoh penting yang memperkembangkan sosiologi dengan ajaran-ajaran yang klasik[1]. Akibat revolisi industri yang berlangsung di Inggris dan daratan Eropa, mengakibatkan perubahan sosial yang cepat dan meminta banyak korban. Emile Durkhein merisaukan keadaan itu terutama yang terjadi di Prancis, dasar perubahan yang cepat dan radikal membawakan akibat (1) Less Failure (kesalahan yang kecil) dan (2) More Failure (kesalahan yang  banyak)[2]. Hukum dirumuskan sebagai sesuatu yang bersanksi, dengan demikian, maka kaedah hukum dapat diklasifikasiakan menurut jenis-jenis sanksi yang menjadi bagian utama dari kaedah hukum tersebut. Di dalam masyarakat dapat diketemukan 2 macam kaedah hukum, yaitu yang represif dan yang restitutif[3].
Hubungan antara solidaritas sosial dengan hukum yang bersifat negatif terletak pada tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Untuk menjelaskan hal ini Durkhein menerangkan bahwa setiap hukum tertulis mempunyai tujuan berganda yaitu untuk menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu untuk merumuskan sanksi-sanksinya[4].
Menurut Durkhein dapat dibedakan dua macam solidaritas positif yang dapat ditandai oleh cirri-ciri sebagai berikut:
a.       Pada solaritas pertama, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat. Di dalam hal solidaritas yang kedua, seorang warga masyarakat tergantung kepada masyarakat, oleh karena ia  tergantung pada bagian-bagian masyarakat yang bersangkutan.
b.      Dalam hal solidaritas kedua tersebut di atas masyarakat tidak dilihatdari aspek yang sama. Dalam hal pertama, masyarakat merupakan kesatuan kolektif di mana terdapat kepercayaan dan perasaan yang sama. Sebaliknya pada hal yang kedua, masyarakat merupakan suatu system yang terdiri dari bermacam-macam fungsi  yang merupakan hubungan-hubungan yang tetap, sebetulnya keduanya merupakan suatu gabungan, akan tetapi dilihat dari sudut-sudut yang berbeda.
c.       Dari perbedaan kedua tersebut di atas timbullah perbedaan lain yang dapat dipakai untuk menentukan karakteristik dan nama dari dua macam solidaritas di atas[5].
Solidaritas yang pertama dapat terjadi dengan kuatnya apabila cita-cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif, lebih kuat serta lebih intensif dari pada cita-cita masing-masing warganya secara individual. Solodaritas ini oleh Durkhein dinamakan mechanical solidarity (solidaritas mekanis) yang dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang secara relatif sederhana dan homogen[6]. Solidaritas yang kedua dinamakan oleh Durkheim sebagai organic solidarity (solidaritas organis) yang terdapat pada masyarakat yang lebih modern dan lebih kompleks, yaitu oleh masyarakat-masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks[7].
Dengan meningkatnya diferensi dalam masyarakat, reaksi kolektiva yang utuh dan kuat terhadap penyelewengan-penyelewengan menjadi berkurang dalam system yang bersangkutan oleh karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecendrungan untuk berubah menjadi hokum yang bersifat restitutif. Artinya adalah yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan yang semula, hal mana yang merupakan hal pokok di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan (pemulihan keadaan)[8].

B.   PEMIKIRAN MAX WEBER
Ajaran-ajaran Max Weber tentang sosiologi hukum sangat luas; secara luas ditelaahnya hokum-hukum Romawi, Jerman, Prancis, Anglo Saxon, Yahudi, Islam, Hindu, dan bahkan hukum adat Polinesia. Weber mempelajari pengaruh politik, okonomi dan agama terhadap perkembangan hukum, serta juga mempengaruhi dari pada toeritikus hukum, praktikus hokum maupun apa yang dinamakannya para honoratioren. Para honoratioren adalah orang-orang yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
a.       Oleh karena kedudukan ekonominya, orang-orang yang bersangkutan secara langsung berhasil menduduki posisi-posisi kepemimpinan tanpa ganti rugiatau hanya dengan ganti rugi secara nominal.
b.      Mereka menempati kedudukan sosial yang teroandang yang sedemikian rupa sehingga hal tersebut menjadi suatu tradisi[9].
Selanjutnya Weber berusaha mengemukakan beberpa perbedaan dalam hukum yang masing-masing mempunyai kelemahan. Pertama-tama disebutnya perbedaan antara hukum publik dan hukum perdata. Perbedaan ini kurang bermanfat oleh karena dapat mengcakup beberapa kemungkinan. Misalnya dapat dikatakan bahwa hokum public adalah kaidah-kaidah yang mengatur aktivitas-aktivitas Negara, sedangkan hukum perdata mengatur kegiatan-kegian lain yang bukan merupakan aktivitas Negara[10].
Suatu perbedaan lain adalah antara hukum positif dengan hukum alam. Apabila seseorang berpegang kepada pengertian sosiologi sebagai suatu ilmu yang menelaah fakta sosial, maka perhatiannya hanya terpusat kepada hukum positif. Namun demikian seorang sosiologi tidak mungkin melepaskan diri dari kenyataan bahwa hukum alam dapat memberi petunjuk pada latar belakang tingkah laku manusia[11].
Kemudian perbedaan antara hukum objektif dengan hukum subjektif. Dengan hukum objektif dimaksudkan sebagai keseluruhan kaedah-kaedah yang dapat diterapkan secara umum terhadap semua masyarakat, sepanjang mereka tunduk pada suatu system hukum. Hukum subjektif mencakup kemungkinan-kemungkinan bagi seorang warga masyarakat untuk meminta bantuan kepada alat-alat pemaksa agar kepentingan-kepentinngan material dan sipiritualnya dapat dilindungi[12].
Suatu yang lebih penting adalah perbedaan antara hukum formal dengan hokum material, oleh karena secara langsung merupakan syarat-syarat bagi proses rasionalisasi hukum. Dengan hukum formal dimaksudkan sebagai keseluruhan sisitem teori hokum yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika hukum, tanpa mempertimbangkan lain-lain unsur di luar hukum. Sebaliknya, hukum material memperhatikan unsur-unsur non yuridis seperti nilai-nilai politis, etis, ekonomis atau agama[13].
Selanjutnya di dalam teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yaitu:
a.       Hukum irrasional dan material, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun.
b.      Hukum irrasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman kepada kaedah-kaedah di luar akal, oleh karena didasarkan kepada wahyu atau ramalan.
c.       Hukum rasional dan material, di mana keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim menunjuk kepada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa atau idiologi.
d.      Hukum irrasional dan formal, yaitu di mana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep absrak dari ilmu hukum.
Dengan demikian hukum formal berkecendrungan untuk menyusun sistimatika kaidah-kaidah hukum, sedangkan hukum material lebih bersifat empiris. Namun demikian kedua hukum tersebut dapat dirasionalisasikan yaitu hukum formal yang didasarkan kepada logika murni, sedangkan hukum material pada kegunaannya[14].



[1] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Jakarta, CV. Rajawali, 1980, hal.41
[2] Agus Salim,  Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus  Indonesia, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yoga, 2002, hal. 52
[3] Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 41
[4] Ibid, hal. 42
[5] Ibid, hal. 43
[6] Ibid, hal. 43
[7] Ibid, hal. 43
[8] Ibid, hal. 44
[9] Ibid, hal. 46
[10] Ibid, hal. 47
[11] Ibid, hal. 47-48
[12] Ibid, hal. 48
[13] Ibid, hal. 48
[14] Ibid, hal. 49-50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar