Emile
Durkhein dari Prancis adalah salah seorang tokoh penting yang memperkembangkan
sosiologi dengan ajaran-ajaran yang klasik[1].
Akibat revolisi industri yang berlangsung di Inggris dan daratan Eropa,
mengakibatkan perubahan sosial yang cepat dan meminta banyak korban. Emile
Durkhein merisaukan keadaan itu terutama yang terjadi di Prancis, dasar
perubahan yang cepat dan radikal membawakan akibat (1) Less Failure (kesalahan
yang kecil) dan (2) More Failure (kesalahan yang banyak)[2].
Hukum dirumuskan sebagai sesuatu yang bersanksi, dengan demikian, maka kaedah hukum dapat diklasifikasiakan menurut jenis-jenis sanksi
yang menjadi bagian utama dari kaedah hukum
tersebut. Di dalam masyarakat dapat diketemukan 2 macam kaedah hukum, yaitu yang represif dan yang restitutif[3].
Hubungan
antara solidaritas sosial dengan hukum yang
bersifat negatif terletak pada tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Untuk
menjelaskan hal ini Durkhein menerangkan bahwa setiap hukum tertulis mempunyai tujuan berganda yaitu untuk menetapkan
kewajiban-kewajiban tertentu untuk merumuskan sanksi-sanksinya[4].
Menurut
Durkhein dapat dibedakan dua macam solidaritas positif yang dapat ditandai oleh
cirri-ciri sebagai berikut:
a.
Pada solaritas pertama,
seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat. Di dalam
hal solidaritas yang kedua, seorang warga masyarakat tergantung kepada
masyarakat, oleh karena ia tergantung
pada bagian-bagian masyarakat yang bersangkutan.
b.
Dalam hal solidaritas kedua
tersebut di atas masyarakat tidak dilihatdari aspek yang sama. Dalam hal
pertama, masyarakat merupakan kesatuan kolektif di mana terdapat kepercayaan
dan perasaan yang sama. Sebaliknya pada hal yang kedua, masyarakat merupakan
suatu system yang terdiri dari bermacam-macam fungsi yang merupakan hubungan-hubungan yang tetap,
sebetulnya keduanya merupakan suatu gabungan, akan tetapi dilihat dari
sudut-sudut yang berbeda.
c.
Dari perbedaan kedua
tersebut di atas timbullah perbedaan lain yang dapat dipakai untuk menentukan
karakteristik dan nama dari dua macam solidaritas di atas[5].
Solidaritas
yang pertama dapat terjadi dengan kuatnya apabila cita-cita bersama dari
masyarakat yang bersangkutan secara kolektif, lebih kuat serta lebih intensif
dari pada cita-cita masing-masing warganya secara individual. Solodaritas ini
oleh Durkhein dinamakan mechanical solidarity (solidaritas mekanis) yang
dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang secara relatif sederhana dan homogen[6].
Solidaritas yang kedua dinamakan oleh Durkheim sebagai organic solidarity
(solidaritas organis) yang terdapat pada masyarakat yang lebih modern dan lebih
kompleks, yaitu oleh masyarakat-masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja
yang kompleks[7].
Dengan
meningkatnya diferensi dalam masyarakat, reaksi kolektiva yang utuh dan kuat
terhadap penyelewengan-penyelewengan menjadi berkurang dalam system yang
bersangkutan oleh karena hukum yang
bersifat represif mempunyai kecendrungan untuk berubah menjadi hokum yang
bersifat restitutif. Artinya adalah yang terpokok adalah untuk mengembalikan
kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan yang semula, hal mana yang
merupakan hal pokok di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan (pemulihan
keadaan)[8].
B.
PEMIKIRAN
MAX WEBER
Ajaran-ajaran
Max Weber tentang sosiologi hukum sangat
luas; secara luas ditelaahnya hokum-hukum Romawi, Jerman, Prancis, Anglo Saxon,
Yahudi, Islam, Hindu, dan bahkan hukum adat
Polinesia. Weber mempelajari pengaruh politik, okonomi dan agama terhadap
perkembangan hukum, serta juga mempengaruhi
dari pada toeritikus hukum, praktikus hokum maupun
apa yang dinamakannya para honoratioren. Para honoratioren adalah orang-orang
yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
a.
Oleh karena kedudukan
ekonominya, orang-orang yang bersangkutan secara langsung berhasil menduduki
posisi-posisi kepemimpinan tanpa ganti rugiatau hanya dengan ganti rugi secara
nominal.
b.
Mereka menempati kedudukan
sosial yang teroandang yang sedemikian rupa sehingga hal tersebut menjadi suatu
tradisi[9].
Selanjutnya
Weber berusaha mengemukakan beberpa perbedaan dalam hukum yang masing-masing mempunyai kelemahan. Pertama-tama disebutnya
perbedaan antara hukum publik dan hukum perdata.
Perbedaan ini kurang bermanfat oleh karena dapat mengcakup beberapa
kemungkinan. Misalnya dapat dikatakan bahwa hokum public adalah kaidah-kaidah
yang mengatur aktivitas-aktivitas Negara, sedangkan hukum perdata mengatur kegiatan-kegian lain yang bukan merupakan aktivitas Negara[10].
Suatu
perbedaan lain adalah antara hukum positif dengan hukum alam. Apabila seseorang
berpegang kepada pengertian sosiologi sebagai suatu ilmu yang menelaah fakta
sosial, maka perhatiannya hanya terpusat
kepada hukum positif. Namun demikian seorang
sosiologi tidak mungkin melepaskan diri dari kenyataan bahwa hukum alam dapat memberi petunjuk pada latar belakang
tingkah laku manusia[11].
Kemudian
perbedaan antara hukum objektif dengan hukum subjektif. Dengan hukum objektif dimaksudkan sebagai keseluruhan kaedah-kaedah yang dapat
diterapkan secara umum terhadap semua masyarakat, sepanjang mereka tunduk pada
suatu system hukum. Hukum subjektif mencakup kemungkinan-kemungkinan bagi seorang warga
masyarakat untuk meminta bantuan kepada alat-alat pemaksa agar
kepentingan-kepentinngan material dan sipiritualnya dapat dilindungi[12].
Suatu yang
lebih penting adalah perbedaan antara hukum formal
dengan hokum material, oleh karena secara langsung merupakan syarat-syarat bagi
proses rasionalisasi hukum. Dengan hukum formal dimaksudkan sebagai keseluruhan sisitem
teori hokum yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika hukum, tanpa mempertimbangkan lain-lain unsur di luar hukum. Sebaliknya, hukum material memperhatikan unsur-unsur non yuridis seperti nilai-nilai
politis, etis, ekonomis atau agama[13].
Selanjutnya
di dalam teori Max Weber tentang hukum
dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yaitu:
a.
Hukum irrasional dan material, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan
hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa
menunjuk pada suatu kaidahpun.
b.
Hukum irrasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan
hakim berpedoman kepada kaedah-kaedah di luar akal, oleh karena didasarkan
kepada wahyu atau ramalan.
c.
Hukum rasional dan material, di mana keputusan para pembentuk undang-undang
dan hakim menunjuk kepada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan
penguasa atau idiologi.
d.
Hukum irrasional dan formal, yaitu di mana hukum dibentuk semata-mata atas dasar
konsep-konsep absrak dari ilmu hukum.
Dengan demikian hukum formal berkecendrungan
untuk menyusun sistimatika kaidah-kaidah hukum, sedangkan hukum
material lebih bersifat empiris. Namun demikian kedua hukum tersebut dapat dirasionalisasikan
yaitu hukum formal yang didasarkan kepada logika murni, sedangkan
hukum material pada kegunaannya[14].
[1] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Jakarta, CV.
Rajawali, 1980, hal.41
[2]
Agus Salim, Perubahan Sosial, Sketsa
Teori dan Refleksi Metodologi Kasus
Indonesia, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yoga, 2002, hal. 52
[3]
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 41
[4] Ibid,
hal. 42
[5] Ibid,
hal. 43
[6] Ibid,
hal. 43
[7] Ibid,
hal. 43
[8] Ibid,
hal. 44
[9] Ibid,
hal. 46
[10] Ibid,
hal. 47
[11] Ibid,
hal. 47-48
[12] Ibid,
hal. 48
[13] Ibid,
hal. 48
[14] Ibid,
hal. 49-50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar