Senin, 15 Februari 2016

KEPALA NEGARA

A.  Kepala Negara Dari Suku Quraisy
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما, عن النبي صلى الله عليه و سلّم قال: لا يزال هذَا الأمر في قريش ما بقي منهم اثنان.  أخرجه البخري في: 61-كتاب المناقب: 2-     باب مناقب قريش
Artinya     :  “Abdullah bin Umar r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: selalu urusan agama ini dipimpin oleh Quraisy selama masih ada dari mereka walau dua orang.” (Bukhari, Muslim)

       Salah satu dari kriteria-kriteria khalifah (pemimpin negara) adalah bernasabkan Quraisy. Hal ini berdasarkan kepada nash-nash dan ijma’ para ulama. Kita tidak perlu berkomentar atau mengubris dirar yang berpendapat menyeleneh dan membolehkan jabatan khalifah dipegang oleh orang-orang non Quraisy. Karena Abu Bakar ra meminta orang-orang anshar yang telah membai’at Sa’ad bin Ubadah untuk mengundurkan diri dari jabatan khalifah (imamah) pada peristiwa saqifah karena beliau beragumen dengan sabda Nabi; ألأءمّة من قريش (“pemimpin-pemimpin itu berasal dari quraisy”)
       Kemudian orang Anshar meurungkan keinginannya terhadap jabatan khalifah dan mundur dari jabatan tersebut. Mereka berkata “para gubernur dari kami dan kalian! Mereka tunduk kepada riwayat Abu Bakar dan membenarkan informasinya. Mereka menerima dengan lapang dada ucapan Abu Bakar ra “pemimpin bersal dari kami, sedang mentri-mentri dari kalian.
       Nabi besabda: قدّموا قريشا ولا تتقدّموها  )“dahulukan orang quraisy dan jangan kalian menddahuluinya”(. Terhadap nash yang kuat ini, tidak ditemuakan syubhat dan pendapat yang menentangnnya[1].

B.   Cara Penetapan Kepala Negara
حديث عمر. عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما, قال: قيل لعمر: ألا تستخلف؟ قال: إن أستخلف فقد استخلف من هو خير منّي, أبو بكر, و إ أترك فقد ترك من هو خير منّي: رسول الله صلى الله عليه و سلّم. فأثنوا عليه. فقال: راغب راهب, وددت أنّي نجوت منها كفافا, لا لي ولا عليّ, لا أتحمّلها حيّا وميّتا.  أخرجه البخري في: 93-كتاب الأحكام: 51-     باب الإستخلاف
Artinya     :  “Abdullah bin Umar r.a. berkata: Umar ditanya: apakah engkau tidak mengangkat khalifah? Jawabnya: jika aku mengangkat meka telah berbuat begitu seseorang yang lebih baik dari pada aku yaitu Abu Bakar. Dan jika aku tidak mengangkat (membiarkan) maka telah juga membiarkan seseorang yag lebih baik dariku yaitu Rasulullah SAW. Maka orang-orang memuji kepadanya, dan Umar berkata: megharap dan takut aku ingin semoga selamat aku dari tuntutan khalifah seri, tidak untung dan tidak rugi, aku tidak akan menanggungnya di waktu hidup hingga mati.” (Bukhari, Muslim)
Jika anggota ahlul qady wa al-hal (perlemen) mengadakan sidang untuk memilih imam, mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang memiliki kriteria imamah, kemudian mereka memilih diantara orang-rang tersebut, siapa di antara mereka yang banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat dan mereka tidak menolak membai’atnya[2].
Jika di antara hadirin ada orang yang ahli berijtihad dan ia layak dipilih, ahlul qady wa al-hal (perlemen) menawarkan jabatan ini kepaddanya. Jika ia bersedia, mereka segera mengangkatnya. Dengan pembai’atam mereka, ia secara resmi menjadi pemimpin yang sah, kemidian seluruh umat harus membai’atnya dan taat kepadanya. Namun, jika ia menolak atau tidak adda jawaban darinya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menerima jabatan imamah itu, karena imamah adalah akad dasar atas kerelaan dan tidak boleh ada unsur paksaan di dalamnya.
Jika yang memenuhi kriteria ada dua orang, maka yang dipilih adalah yang usianya paling tua. Hal ini tidak mutlak. Jika calon yang pertama labih berani dan yang kedua lebih pandai, maka dipilih berdasarkan keadaan zaman saat itu[3].

C.  Ketaatan Kepada Kepala Negara Yang Dibai’at Pertama
حديث أبي هريرة, عن النبيّ صلى الله عليه و سلّم, قال: كانت بنو إسراءيل تسوسهم الأنبياء, كلّما هلك نبيّ خلفه نبيّ, و إنه لا نبيّ بعدي, و سيكون خلفاء فيكشرون. قالوا: فما تأمرون؟ قال: فوا ببيعة الأوّل فالأوّل, أعطوهم حقّهم, فإنّ الله ساءلهم عمّا استرعاهم.  أخرجه البخري في: 60-كتاب الأنبياء: 50-     باب ما ذكر عن بني إسراءيل
Artinya     :  “Abu Hurairah Berkata: Nabi SAW. bersabda: dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh Nabi, tiap mati seorang Nabi diganti dengan Nabi yang lain dan sungguh tidak ada Nabi sesudahku, dan akan terangkat khalifah-khalifah hingga banyak. Sahabat bertanya: apakah perintahmu kepada kami? Nabi SAW menjawab: tepatilah bai’atmu kepada yang pertama berikan hak mereka, maka Allah akan menanya tentang pimpinan yang diserahkan Allah di tangan mereka.” (Bukhari, Muslim)

Imam Ibnu Khaldun berkata: “Ketahuilah bahwasanya bai’at adalah berjanji dalam ketaatan, seakan seorang yang berbai’at tidak akan menentang sedikitpun serta akan selalu mentaatinya dalam semua perkara yang dibebankan baik dalam keadaan giat maupun malas. Dan mereka ketika berbai’at kepada seorang pemimpin serta mengokohkan ikatan janjinya meletakkan tangan mereka dalam tangannya sebagai penguat atas janji mereka, yang demikian itu sama dengan perilaku penjual dan pembeli, maka disebutkan bai’at yang merupakan bentuk masdar dari baa’a, sehingga proses bai’at akhirnya selalu dilakukan dengan berjabat tangan.
Inilah landasan bai’at dalam dalam konteks bahasa dan syari’at sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits bai’at. Lafadz ini juga tampak dalam beberapa riwayat di antaranya bai’atul Khulafa (pembaiatan para pengganti Rasulullah) dan Aimaanul Bai’ah (sumpah setia bai’at) seakan-akan para pengganti Rasulullah bersumpah setia dalam janji dan mereka memahami bahwasanya sumpah setia seluruhnya hanyalah untuk baiat itu, pemahaman inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Aimaanul Bai’ah.” (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 229)[4]




[1] Imam Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Jakarta: Darul Falah, 2007), hal. 4
[2] Ibid, hal. 6
[3] Ibid.
[4] abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar