(#qè=tGö/$#ur
4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym
#sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù
Läêó¡nS#uä
öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù
öNÍkös9Î)
öNçlm;ºuqøBr& ( wur
!$ydqè=ä.ù's? $]ù#uó Î)
#·#yÎ/ur
br& (#rçy9õ3t 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù
( `tBur tb%x. #ZÉ)sù
ö@ä.ù'uù=sù
Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sÎ*sù öNçF÷èsùy
öNÍkös9Î)
öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkôr'sù öNÍkön=tæ
4 4xÿx.ur
«!$$Î/
$Y7Å¡ym
ÇÏÈ
Atinya : “Dan ujilah[269] anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka
bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu)”.
Ayat ini membahas tentang harta anak yatim. Yang mana ada
orang yang diwasiatkan (washi) sebelumnya sebagai wali untuk menjaga
harta anak yatim tersebut. Dan orang itu harus mempunyai pikiran yang cerdas
dan dapat berbelanja dengan baik supaya harta itu dapat terpelihara sebagaimana
mestinya.
Wali tesebut tidak boleh mencampurkan harta anak yatim itu
dengan hartanya, supaya tidak ada keraguan nantinya. Si wali boleh memakan
harta anak yatim itu menurut kepatutan, artinya, apabila si wali adalah orang
yang kaya maka dia harus menahan dirinya supaya harta anak yatim itu tidak
terpakai untuk keperluannya. Dan apabila si wali adalah orang yang tidak mampu,
maka ia boleh memekan harta itu sekedarnya dengan cara yang baik dan ma’ruf.
Harta anak yatim itu diserahakan kepadanya setelah ia dewasa
(balig), karena pada saat itu ia telahmengetahui apa yang baik dan buruk
baginya. Artinya ia dapat mengelola hartanya sendiri.
Masalah mengenai penyerahan harta dari si wali kepada si
anak yatim, yaitu mengenai persaksian. Mengenai tetang apa yang disaksiakn itu,
sebahagian ulama berpendapat, yaitu perbelanjaan yang diberikan kepadanya
setiap hari. Sebahagian yang lain berpendapat, penyerahan semua hartanya
setelah ia mencapai balig. Menurut susunan ayat, keduanya masuk ke dalam
cakupan ayat[1].
Allah memerintahkan agar ada saksi dalam penyerahan itu sebagai langkah prefentif, kalau-kalau
terdapat kekliruan atau tuntutan balik dan persaksian ini disunnahkan dalam
pandangan beberapa ulama, sebab yang dijadikan patokan adalah perkataan
pengasuhnya, karena ia terpercaya[2].
Ada sekelompok ulama yang berpendapat, bahwa persaksian itu
hukumnya wajib menurut tekstual ayat, bukan karena ia terpercaya perkataannya
dapat diterima. Jika seseorang menyatakan bahwa ia telah menyerahka harta
kepada Zaid sesuai dengan apa yang diperintahkan dengan jujur, maka pernyataan
ini tidak dapat diterima selama ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti, karena
itu hokum ini juga berlaku kepada pengurus anak yatim[3].
Mazhab Syafi’I mengatakan, bahwa perintah di sini bukan
untuk wajib, melainkan irsyad, yakni petunjuk atau tuntunan yang baik.
Tetapi jika timbul perselisihan antara washi dengan anak yatim, maka washi
dituntut untuk memberikan bayyinah, yaitu menunjukan buki. Demikian
dalam mazhab Syafi’I dan Malik. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang mengatakan,
perkataan yang dapat dibenarkan bahwa harta tersebut telah diserahkan kepada
anak itu[4].
Umar bin Al Khaththab dan Ibnu Jubair berpendapat, bahwa
persaksian ini baru berlaku tatkala pengasuh itu berada dalam keadaan lapangdan
hendak mengembalikan hutangnya kepada anak yatim tersebut yang dipinjamnya saat
miskin. Ubaidah berkata, ayat ini menunjukkan bahwa orang (pengasuh atau wali)
yang mengambil harta anak yatim untuk memenuhi kebutuhannya wajib menunaikan
hutangnya. Maksudnya, jika kalian telah selesai meminjam atau memakan harta persaksikanlah
dikala kamu berhutang[5].
B.
Surat Annisa : 135
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3t $ÏYxî ÷rr& #ZÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( xsù (#qãèÎ7Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊÌÎÈ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Di dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita supaya
menjadi saksi yang benar-benar menegakakn keadilan. Keadilan ketika menjadi
saksi atas diri sendiri , maksudnya adalah seseorang menyatakan atau menjadi
saksi akan hak-hak yang harus ia penuhi terhadap dirinya. Kemudian persaksian
terhadap orang tua, ini karena berbuat baik kepada keduanya adalah wajib dan
merupakan sesuatu yang agung. Seorang anak yang menjadi saksi bagi kedua orang
tuanya adalah dianggap sah dan tentunya hal ini tidak mencegah seorang anak
berbuat baik kepada keduanya, dan termasuk berbuat baik adalah dengan menjadi
saksi atas keduanya dan mengeluarkan mereka dari kebatilan[6].
Al Hasan, An Nakha’i, Asy Sya’bi, Syuraih, Malik, Ats
Tsauri, Asy Syafi’I dan Ibnu Hambal, mereka berpendapat, bahwa persaksian kedua
orang tua dan saudara diperbolehkan, dalam hal ini mereka mentakwilkan firman
Allah yang artinya, “…jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan…”, maka tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang menuduh
seseorang, kemudian ketika timbul permasalahan yang dilakukan oleh orang-orang,
para penguasa menuduh (persaksian) yang mereka lakukan, lalu di tinggalkanlah
persaksian dari orang yang dicurigai, sehingga tidak ada lagi persaksian yang
dilakukan oleh seorang anak, orang tua, saudara, suami dan istri[7].
Ayat
ini dijadikan hujjah oleh para ulama ketika mereka menyatakan bahwasanya
persaksian seseorang budak itu ditolak, kemudian mereka berkata, “dalam ayat
ini Allah menjadikan seorang hakim sebagai saksi, dan ini merupakan dalil yang
sangat tepat untuk mengatakan bahwasannya budak tidaklah tergolong dari orang
yang menjadi saksi, sebab tujuan dari menjadi saksi adalah supaya ia bisa
memerdekakan tau mengeluarkan seseorang dari permasalahan yang ada, kalau itu
memang dirasa perlu, dan pada dasarnya hal yang seperti ini tidak mudah untuk
dilakukan oleh seorang budak, maka oleh sebab itu persaksiannya ditolak[8].
[1] Syekh H. Abdul
Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 200
[2] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,
Ta’liq : Muhammad Ibrahim Al Hifnawi, Takhrij : Mahmud Hamid Utsman
(Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hal. 111
[5] Syaikh Imam Al Qurthubi, Op. Cit, hal. 112
[7] Ibid, hal. 974
Tidak ada komentar:
Posting Komentar