Senin, 15 Februari 2016

AYAT TENTANG ALAT-ALAT BUKTI

A.    Surat Annisa : 6
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ  

Atinya   :         “Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.

Ayat ini membahas tentang harta anak yatim. Yang mana ada orang yang diwasiatkan (washi) sebelumnya sebagai wali untuk menjaga harta anak yatim tersebut. Dan orang itu harus mempunyai pikiran yang cerdas dan dapat berbelanja dengan baik supaya harta itu dapat terpelihara sebagaimana mestinya.
Wali tesebut tidak boleh mencampurkan harta anak yatim itu dengan hartanya, supaya tidak ada keraguan nantinya. Si wali boleh memakan harta anak yatim itu menurut kepatutan, artinya, apabila si wali adalah orang yang kaya maka dia harus menahan dirinya supaya harta anak yatim itu tidak terpakai untuk keperluannya. Dan apabila si wali adalah orang yang tidak mampu, maka ia boleh memekan harta itu sekedarnya dengan cara yang baik dan ma’ruf.
Harta anak yatim itu diserahakan kepadanya setelah ia dewasa (balig), karena pada saat itu ia telahmengetahui apa yang baik dan buruk baginya. Artinya ia dapat mengelola hartanya sendiri.
Masalah mengenai penyerahan harta dari si wali kepada si anak yatim, yaitu mengenai persaksian. Mengenai tetang apa yang disaksiakn itu, sebahagian ulama berpendapat, yaitu perbelanjaan yang diberikan kepadanya setiap hari. Sebahagian yang lain berpendapat, penyerahan semua hartanya setelah ia mencapai balig. Menurut susunan ayat, keduanya masuk ke dalam cakupan ayat[1].
Allah memerintahkan agar ada saksi dalam penyerahan  itu sebagai langkah prefentif, kalau-kalau terdapat kekliruan atau tuntutan balik dan persaksian ini disunnahkan dalam pandangan beberapa ulama, sebab yang dijadikan patokan adalah perkataan pengasuhnya, karena ia terpercaya[2].
Ada sekelompok ulama yang berpendapat, bahwa persaksian itu hukumnya wajib menurut tekstual ayat, bukan karena ia terpercaya perkataannya dapat diterima. Jika seseorang menyatakan bahwa ia telah menyerahka harta kepada Zaid sesuai dengan apa yang diperintahkan dengan jujur, maka pernyataan ini tidak dapat diterima selama ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti, karena itu hokum ini juga berlaku kepada pengurus anak yatim[3].
Mazhab Syafi’I mengatakan, bahwa perintah di sini bukan untuk wajib, melainkan irsyad, yakni petunjuk atau tuntunan yang baik. Tetapi jika timbul perselisihan antara washi dengan anak yatim, maka washi dituntut untuk memberikan bayyinah, yaitu menunjukan buki. Demikian dalam mazhab Syafi’I dan Malik. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang mengatakan, perkataan yang dapat dibenarkan bahwa harta tersebut telah diserahkan kepada anak itu[4].
Umar bin Al Khaththab dan Ibnu Jubair berpendapat, bahwa persaksian ini baru berlaku tatkala pengasuh itu berada dalam keadaan lapangdan hendak mengembalikan hutangnya kepada anak yatim tersebut yang dipinjamnya saat miskin. Ubaidah berkata, ayat ini menunjukkan bahwa orang (pengasuh atau wali) yang mengambil harta anak yatim untuk memenuhi kebutuhannya wajib menunaikan hutangnya. Maksudnya, jika kalian telah selesai meminjam atau memakan harta persaksikanlah dikala kamu berhutang[5].
  
B.     Surat Annisa : 135
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà­ ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3tƒ $ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#qãèÎ7­Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊ̍÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊÌÎÈ
 
Artinya  :  “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Di dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita supaya menjadi saksi yang benar-benar menegakakn keadilan. Keadilan ketika menjadi saksi atas diri sendiri , maksudnya adalah seseorang menyatakan atau menjadi saksi akan hak-hak yang harus ia penuhi terhadap dirinya. Kemudian persaksian terhadap orang tua, ini karena berbuat baik kepada keduanya adalah wajib dan merupakan sesuatu yang agung. Seorang anak yang menjadi saksi bagi kedua orang tuanya adalah dianggap sah dan tentunya hal ini tidak mencegah seorang anak berbuat baik kepada keduanya, dan termasuk berbuat baik adalah dengan menjadi saksi atas keduanya dan mengeluarkan mereka dari kebatilan[6].
Al Hasan, An Nakha’i, Asy Sya’bi, Syuraih, Malik, Ats Tsauri, Asy Syafi’I dan Ibnu Hambal, mereka berpendapat, bahwa persaksian kedua orang tua dan saudara diperbolehkan, dalam hal ini mereka mentakwilkan firman Allah yang artinya, “…jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan…, maka tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang menuduh seseorang, kemudian ketika timbul permasalahan yang dilakukan oleh orang-orang, para penguasa menuduh (persaksian) yang mereka lakukan, lalu di tinggalkanlah persaksian dari orang yang dicurigai, sehingga tidak ada lagi persaksian yang dilakukan oleh seorang anak, orang tua, saudara, suami dan istri[7].
Ayat ini dijadikan hujjah oleh para ulama ketika mereka menyatakan bahwasanya persaksian seseorang budak itu ditolak, kemudian mereka berkata, “dalam ayat ini Allah menjadikan seorang hakim sebagai saksi, dan ini merupakan dalil yang sangat tepat untuk mengatakan bahwasannya budak tidaklah tergolong dari orang yang menjadi saksi, sebab tujuan dari menjadi saksi adalah supaya ia bisa memerdekakan tau mengeluarkan seseorang dari permasalahan yang ada, kalau itu memang dirasa perlu, dan pada dasarnya hal yang seperti ini tidak mudah untuk dilakukan oleh seorang budak, maka oleh sebab itu persaksiannya ditolak[8].




[1] Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 200
[2] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Ta’liq : Muhammad Ibrahim Al Hifnawi, Takhrij : Mahmud Hamid Utsman (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hal. 111
[3] Ibid, hal, 111-112
[4] Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Op. Cit, hal.200
[5] Syaikh Imam Al Qurthubi, Op. Cit, hal. 112
[6] Ibid, hal. 973
[7] Ibid, hal. 974
[8] Ibid, hal. 982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar