Minggu, 14 Februari 2016

SYARI’AH, FIQH SERTA USHUL FIQH

A.    PENDAHULUAN (SYARI’AH, FIQH SERTA USHUL FIQH)
       1.      Pengertian Syari’ah dan Fiqh, serta Hubungan Keduanya
          a.       Penngertian Syari’ah dan Fiqh
Syari’ah, menurut etimologi diartikan sebagai jalan atau tempat tumbuh air. Sementara menurut terminologi, syari’ah adalah semua hal yang diturunkan oleh Allah bagi hamba-Nya, yang meliputi aqidah, akhlaq, mu’amalah dan ibadah
Fiqh, menurut etimologi adalah faham atau pemahaman yang dalam. Menurut terminology, fiqih merupakan suatu ilmu tentang hokum-hukum syari’at, bersifat ‘amaliayah dan dicari dengan dalil-dalil yang terperrinci.

b.      Hubungan Syari’ah dengan Fiqh
Fiqh merupakan ilmu yang mempelajari atau memahami syari’at dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan manusia mukallaf, serta fiqh berisi pemahman yang mendalam tentang syari’at, yang berarti fiqh adalah hasil interprestasi ulama terhadap syari’ah.

2.      Ushul Fiqh: Pengertian , Objek, Tujuan, Ruang Lingkup dan Pebedaannya dengan Fiqh
a.       Pengertian, Objek dan Tujuan Ushul Fiqh
Ushul Fiqh merupakan pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubunga dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.
Objek dari pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ yang bersifat global(umum) ditinjau dari ketettapannya terhadap hokum syara’ yang umum pula.
Tujuan dari ilmu ushul fiqh adalah merapkan kaedah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hokum syara’nya. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara’ dan denngan hokum yang dikandunganya, dapat dikutahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut dan nash mana yang akan dipilih ketika ada nash yang bertentangan.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.

b.      Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1)      Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
2)      Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
3)      Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
4)      Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan ra’yu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
5)      Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
6)      Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.

c.       Perbedaan ushul fiqh dengan Fiqh
Berangkat dari perbedaannya, yang mana ushul fiqh adalah pengetahuan ttentang kaedah-kaedah dalam penetaapan hokum syara’ dari dalil-dalil yang terperinci, yang berarti ushul fiqh adalah proses penetapan hukum. Sedangkan fiqh adalah hasil dari ushul fiqh itu sendiri.

3.      Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh : Periode Nabi, Sahabat dan Taabi’in, Munculnya Ushul Fiqh Sebagai Suatu Disiplin Ilmu, Aliran-Aliran Ushul Fiqh dan Karya Ilmiyah Masing-Masing.
a.       Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Periode Nabi, Sahabat dan Tabi’in
Periode rasulullah
Di zaman Rasulullah sumber hukum islam hanya ada dua, yaitu al-Quran dan sunnah. Apabila ada kasus Rasulullah menunggu turunnya wahyu, dan apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang dikenal dengan hadits atau sunnah.
Dalam menetapkan hukum diberbagai kasus dizaman Rasulullah yang tidak ada ketentuannya dalam al-Quran, maka para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa Rasulullah menetapkannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam
Dalam beberapa kasus, Rasulullah juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan dari sahabat. Misalnya, ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khattab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya.
Cara-cara rasulullah inilah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh.

Periode sahabat
Ushul fiqh dalam prakteknya telah muncul berbarengan dengan munculnya fiqh. Alasannya, karena secara metodologi, fiqh tidak akan terwujud tanpa adanya metode istinbat dan metode istinbat itulah sebagai inti dari ushul fiqh. Dalam melakukan ijtihad, secara praktis, mereka telah menggunakan kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam satu disiplin ilmu. Mereka, khususnya yang kemudian terkenal banyak melakukan ijtihad di bidang hukum Islam, mengikuti langsung praktek-praktek tasyri’ (pembentukan hukum) dari rasulullah
Periode tabi’in
Pada masa tabi’in metode istimbat menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan karena bertambah luasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain sa’id ibn al-musayyab (15-94 H) di Madinah dan ‘Alqamah ibn qays (w. 62 H) serta ibrahim al-nakha’I (w. 96 H) di Irak. Dalam berfatwa mereka merujuk kepada al-Quran, sunnah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas dan maslahah mursalah.

b.      Ushul Fiqh Sebagai Ilmu Disiplin
Di dalam ilmu ushul fiqh dibahas mengenai dalil-dalil yang global, car mengistinbathkan hukum dari dalil-dalilnya dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakuakan ijtihad, tentang ijtihad itu sendiri dan hal-hal yang menjadi lapangannya. Oleh karena itu, ilmu ushul fiqh ini dijadikan sebagai disiplin ilmu yang menyangkut dengan hukum syara’ agama Islam.
c.       Aliran-Aliran Ushul Fiqh Serta Karya Ilmiyah
Aliran jumhur ulama ushul fiqh
Aliran ini dikenal dengan aliran Syafi’iyah atau aliran mutakkallimin, aliran ni disebut dengan aliran jumhur ulama, karena merupakan aliran yang dianut oleh mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, Hannabillah terutama dalam acara penulisan ushul fiqhcara penulisan aliran ini telah dirintis oleh syafi’i, kemudian dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya (syafi’iyah) sehingga disebut dengan aliran sehingga disebut aliran syafi’iyah dan perekembangan metode penyusun ushul fiqh dikuti oleh aliran malikiyah dan hanabilah oleh karma itu metode ini disebut metode jumhur ulama ushul fiqh. Dan tokoh-tokohnya umumnya dari ahli-ahli ilmu kalam sehinggga sedikit banyaknya dipengaruhi oleh ilmu kalam maka aliran ini disebut aliran mutakalimin (  para ahli ilmu kalam ).
Ciri-ciri aliran ini adalah pembahasan  ushul fiqh disajikan secara rasional filosofis, teorits tanpa disertai contoh dan murni tanpa mengacu kepada mazhab fiqh  tertentu yang sudah ada.
Alliraan fuqaha atau aliran Hanafiyah.
Aliran yang berkembang dikalangan hanafiyah dan juga dikembangkan oleh kalangan hanafiyah juga. Disebut aliran fuqaha’ (aliran –aliran fiqh ) karena dalam sistrem penulisannya banyak diwarnai contoh-comtoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul  fiqh mereka berpedoman  kepada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pandapat para muridnya, dengan disertai contoh-contoh.
Penyusunan ini dilakukan oleh kalangan hanafiyah karena imam abu hanifah tidak meninggalkan buku ushul fiqh, ushul fiqh mazhabnya disimpulkan  oleh pengikut  dari hasil-hasil fatwa muridnya.
Aliran yang menggabungkan keduanya.
Dalam perkembangan selanjutnya muncuillah  aliran yang dalam penulisan ushul fiqh menggabungkan antara dua aliran tersebut, banyak buku-buku yang digabungkan oleh aliran ini antara buku aliran jumhur ulama dengan aliran hanafiyah. Pada ujung abad ke-8 abu ishaq al-Syatibi (  w.780 H ) ahli ushul fiqh dari kalangan malikiyah mengarang sebuah buku yag  berjudul al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah kitab ini lebih banyak berbicara tentang tujuasn hukum sebagai landasan pembentukan hukum



B.     SUMBER HUKUM (MASHDHAR ALAHKAM)
1.      Al-Quran : Pengertian, Kedudukan, Dalalahnya Terhadap Hukum dan Penjelasan Al-Quran Terhadap Hukum.
a.       Pengertian Al-quran, Kududukannya dan Dalalahnya Terhadap Hukum.
Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan oleh Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kedalam hati Nabi Muhammad bin Abdullah dengan lafaz Arab dan makna yang pasti  sebagai bukti bagi Rasul bahwasannya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang dan petunjuk bagi manusia dan sebagai sarana pendekatan seorang hamba kepada Tuhannya serta menjadi ibadah apabila dibaca.
Kedudukan Al-Quran bagi orang umat muslim adalah sebagai sumber hukum pertama dan utama syari’at Islam.
Al-Qur’an diturunkan secara mutawati,r dari segi turunnya berkualitas kath’i (pasti benar), kadang hukum yang dikandung Al-Qur’an ada kalanya bersifat zhanni (relative benar)
1.      nash yang qath’i dilalah-nya, yaitu nasah yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak memiliki makna yang lain dan tidak tergantung pada hal-hal lain diluar nash itu sendiri. Misalnya tentang masalah pembagian waris, pengharaman riba, penghuaraman daging babi, dan lain-lain.
2.      nash yang zhanni dilalah-nya, yaitu nash yang maknanya di-takwil atau nash yang memiliki makna yang lebih dari satu, disebabkan karena lafaznhnya yang bersifat musytarak (homonim) sehingga dipahami dengan berbagai cara.

b.      Penjelasan Al-quran Terhadap Hukum
Dari segi penjelasan terhadap hukum, ada beberapacara yang digunakan oleh Al-Qur’an yaitu:
1.      Secara Juz’i (teperinci). Maksudnya, Al-Qur’an memberi penjelasan secara lengkap, sehinga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak sijelaskankan oleh dengan sunahnya.
2.      Secara Kulyi (global). Maksudnya, penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum hanya secara garis besar saja, sehingga musti harus ada penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang dalam memberi penjelasannya adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya.
3.      Secara Isyarat. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap sesuatu sacara lahir, disamping itu juga memberikan penjelasan secara isyarat.

2.      As-Sunnah : Pengertian, Kedudukan Assunnah dan Fungsinya Terhadap Al-Quran.
Menurut ahli Hadits, As-Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Rasul SAW sebelum dan sesudah bi’stah.
Menurut ahli Fiqh, As-Sunnah merupakan sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “ perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa ”.
Menurut ahli Ushul Fiqh, As-Sunnah merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan sesudah bi’tsah.
Kedudukan sunnah adalah sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-quran
As-Sunnah mempunyai fungsi terhadap Al-Quran, yaitu; merinci atau menjelaskan hukum global yang ada dalam Al-qur’an, mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum dalam Al-qur’an, menguatkan atau menjelaskan maksud hukum mutlak yang ada dalam Al-qur’an dan menetapkan hukum yang belum ada ketetapannya di dalam Al-Quran.

C.    IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, TALFIQ,  DAN IFTA’
1.      Ijtihad : Pengertian, Dasar Hukum, Objek, Mujtahid, Tingkatan Mujtahid
a.       Pegertian Ijtihad, Dasar Hukum serta Objekya
الجتهاد هو بذل الوسع في دليل الاحكام الشرعية
Ijtihad adalah mencurahkan tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum syara’ (agama) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
ijtihad adalah mencurahkan tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum syara’ (agama) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
Dasar hukum ijtihad
Firaman Allah Ta’ala, surat Annisa : 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”


Kemudian hadits Rasul
عن الحارث بن عمرو عن رجال من اصحاب معاذ ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا الى اليمن فقال كيف تقضى فقال اقضي بما في كت ب الله فان لم يكن في كتاب الله فقال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فان لم تكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اجتهد رءيي قال الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله صلى الله عليه وسلم (رواه الترمذي)

“Dari Al Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa anada memutuskan suatu persoalan, di menjawab, dasarnya adalah Kitabullah, Rasul bertanya; “kalau tidak anda temukan dalam Kitabullah?” dia menjawab, dengan dasar sunna Rasulullah. Beliau bertanya lagi; “kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasul?”, Mu’az menjawab; “aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Rasul berrkata; “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah.” (HR. Tirmizi)
Objek dari ijtihad ini adalah nash-nash zhanny yang diperlukan penjelasan terhadap nash tersebut.

b.      Mujtahid dan Tingkatannya
1)      Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat  sebagai mujtahid. Mereka punya otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan methode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain.
2)      Mujtahid Muntasib adalah ulama yang memiliki persyaratan sebagai mujtahid, tetapi tidak memiliki metode atau teori dalam menetapkan hukum, tetapi dia memakai metode  atau kaedah orang lain.
3)      Mujtahid Murajjih, hanya mentarjih (mengunggulkan dan menguatkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamnya dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan-tingkatan di atasnya.
4)      Mujtahid Madzhab adalah mujtahid yang terikat dengan mazhab imamnya tetapi secara mandiri ia menetapkan kaedah istinbath berdasarkan dalil yang didapatkannya.
5)      Mujtahid Muttabi’ adalah mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhabnya dengan mengetahui argument-argumen pendapat imam mazhabnya.
6)      Mujtahid Muqallid adalah orang yang hanya semata-mata mengikuti pendapat imam mazhab tanpa mengetahui argument-argumen dari imam mazhabnya.

2.      Persamaan dan Perbedaan Antara Ijtihad dan Qadha
a.       Persamaan  antara Ijtihad dan Qadha
Ijtihad dan Qadha ini sama-sama berusaha mencari penetapan hukum dari suatu masalah yang terjadi, sifatnya sama-sama zhanny dan mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas yang berkermbang di dalam masyarakat.
b.      Perbedaan  antara Ijtihad dan Qadha
1)      Ijtihad hanya membahas tentang masalah amaliyah, tetapi qadha membahas berbagai hal.
2)      Qadha mendapat legitimasi dari pemerintah sehinga hasil putusannya bersifat megikat, tapi ijtihad hanya sebagian yang dapat legitimasi dari pemerintah.
3)      Hukum qadha adalah fardhu kifayah, sedangkan ijtihad hukumnya relative, bisa fardhu ‘ain, fardhu kifayah, sunnah dan bisa menjadi haram.

3.      Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Sumber hukum pada masa ini adalah Alquran dan ijtihad Nabi (sunnah). Apabila terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukum, maka Allah menurunkan wahyu kapada beliau, dan wahyu inilah yang akan menjadi hukum atau undang-undang yang wajib dilaksanakan. Dan apabila Allah tidak menurunkan wahyu, maka nabi berijtihat untuk menetapkan hukum, dan pun ijtihat Nabi tersebut juga wajib dilakukan.
Firman Allah dalam surat Al Hasyr : 7
žxx. ( ¨bxt6.^ãŠs9 Îû ÏpyJsÜçtø:$# ÇÍÈ  
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.”


Ayat tersebut mengambarkan bahwa semua ketentuan yang datang atau disampaikan Rasulullah baik berupa perintah, anjuran dan larangan wajib diterima.
Walaupun Rasul berijtihat untuk menetapkan hukum tetapi itu adalah atas petunjuk yang diberikan Allah kepada beliau dan juga bimbingan dari wahyu. Tegasnya sumber yang pokok di masa Rasul adalah wahyu.

4.      Ijtihad Pada Masa Sahabat
Pada periode ini merupakan peranan yang sangat penting di dalam membela dan mempertahankan agama, dengan memperluas dakwahnya hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Sehingga dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang cukup rumit. Karena perluasan wilayah, sehingga perbedaan kultural, tradisi, situasi dan kondisi membuat para fuqaha membuat aturan hukum yang muncul belakangan. Pada saat-saat seperti inilah muncul perbedaan pendapat dan pemahaman terhadap nash. Akibat yang lain dari perluasan wilayah inilah bercampurnya antara orang Arab dengan yang lain. Berbagai ragam pemeluknya sehingga dibutuhkan aturan yang mengatur antara muslim dengan non-muslim. Maka untuk peyelesaian masalah itu diperlukan adanya ijtihad.

5.      Ijtihad Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, ijtihad para sahabat dijadikan sebagai suri tauladan oleh para   tabi’in diberbagai wilayah dan kekuasaan islam pada waktu itu. Dalam berijtihad, para tabi’in mendasarkan kepada pendapat para sahabat, mereka  pelihara sunnah Rasul dan pendapat sahabat, bahkan mereka berusaha mendiskusikan pendapat-pendapat sahabat yang saling bertentangan dalam berbagai masalah.
Kegiatan melakukan ijtihad senakin meningkat, tetapi prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hukum sudah mulai goyah, disebabkan karena ulama sudah terpencar ke berbagai wilayah islam. Para ahli sejara menyebut periode tabi’in ini adalah masa keemasan fiqh islam dan periode ijtihad.


6.      Ijtihad Pada Masa Imam Mujtahidin
Pada masa ini, para mujtahid lebih meyempurnakan karya-karya ijtihadnya dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam brijtihad yang dienal dengan “ushul”. Kaedah-kaedah yang mereka ciptakan adalah sebagaai pedoman ijtihad bagi generasi yang akan datang.
Diantara mazhab fiqh dan imamnya yang terkenal:
a.       Mazhab Hanafiyah, imamnya Abu Hanifah (80-150 H)
b.      Mazhab Malikiyah, imamnya Malik Ibn Anas (93-179 H)
c.       Mazhab Syafi’iyah, imamnya Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (150-204 H)
d.      Mazhab Hanabilah, imamnya Ahmad Ibn Hanbal (164-241 H)
e.       Mazhab Zhahiri, imamnya Daud Ibn Ali Al-Sabahani (202-270 H)
f.       Mazhab Zaidiyah, iamamnya Zaid Ibn Ali Zainul Abidin (80-122 H)
g.      Mazhab Ja’fariyah, iamamnya Ja’far Al-Shadiq (80-148 H)
Metode dan hasil dari ijtihad daari para imam mazhab tersebut dikembangkan oleh para muridnya

7.      Keberadaan Ijtihad Pada Masa Taqlid
Pada masa pertengahan abad IV sampai akhir abad XIII ini, adalah dimana ijtihad mengalami kemunduran, banyak dari pengikut imam mazhab hanya bertaqlid pada imam mazhabnya. Dan pada masa ini disebut dengan “penutupan pintu ijtihad”. Disebut demikian, karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang tepat. Bahkan lebih dari itu, di beritakan bahwa sebagian fuqaha’ ada yang merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat. Meyerahkan kegiatan ijtihad kepada orang-orang yang bukan ahlinya, menurut pertimbangan mereka, tidak lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad.
Kebanyakan dari mujtahid berhenti untuk berijtihad, tetapi ada beberapa dari mujtahid yang berijtihad tetapi mereka mendeklarasikan diri mereka sebagai orang yang bertalid kepada imam mazhab, karena itu ijtihad pada masa taqlid ini tidak secara keseluruhan berhenti, tetapi secara beransur-ansur, karena pada masa ini masih ada juga mujtahid berijtihad.
Adapun factor yang menyebabkan kemunduran ijtihad pada masa ini, antara lain:
a)      Pergolakan politik yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan perperangan di kalangan umat islam, sehingga perhatian terhadap ilmu dan berijtihad menjadi kurang, bahkan nyaris hilang
b)      Munculnya mazhab-mazhaab yang mempunyai metode dan cara berijtihad sendiri di wilayah seorang imam mujtahid, kemudian muncullah pengikut-pengikut yang berusaha membela serta mempertahankan dan membenarkan mazhabnya
c)      Pembukuan terhadap pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya menyebabkan orang mudah mencari jawaban terhadapan masalah yang timbul, akibatnya mengakibatkan kurangnya dorongan untuk berijtihad
d)     Terjadinya penyimpangan dalam berijtihad, orang yang tidak berhak pun mengeluarkan pendapat dengan dasar ijtihad
e)       Anggapan terhadap mengemukakan pendapat pribadi dengan ijtihad yang bertentangan dengan ijma’ dianggap bid’ah dan merupakan perbuatan terlarang
Mengagumi pendapat ulama dalam menafsirkan dan mengembangkan ketentuan syari’at secara mendalam, kekaguman itu mengakibatkan timbulnya rasa enggan dan berat untuk berijtihad.


8.      Kebangkitan Kembali Semangat Ijtihad
Taqlid yang berkepanjanngan membuat kemundura dalam bidang ijtihad. Fiqih yang selama ini dilaksanakan secara penuh, karena masa lalu  berbeda keadaannya dengan masa sekarang. Ijtihad yang dilakukanoleh imam-imam terdahulu mengeluarkan ijtihad berdasarkan keadaan pada masa yang mereka lalui. Tapi setelah kekuasaan islam semakin meluas dan permasalahan agama banyak yang timbul, pada masa ini tidak bisa diterapkan lagi pendapat para imam mujtahid terdahulu.
Karena itu timbullah kesadaran bagi umat islam untuk kembali mengaktualkan hukum islam. Mengembalikan hukum Islam sebagai hukum yag positif. Agar hukum Islam tetap actual diperlukan hukum Islam dalam bentuk yang baru yang sesuai dengan masa ssekarang.
Usaha reaktulisasi hukum islam melalui reformulasi fiqh telah berlangsung di dunia semenjak akhir abad XIX dan semakin terlihat pada awal abad XX yang terus berlangsung sampai sekarang ini.

9.      Ittiba’, Taqlid dan Talfiq
Ittiba‘ : Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan
argumentasinya. Ittiba‘ merupakan sikap minimal harus dapat dilakukan oleh
umat.
Taqlid : Mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya. Taqlid merupakan sikap yang tidak dibenarkan diikuti bagi uamat, baik ulamanya maupun umat secara keseluruhan.
Talfiq : Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘i. Talfiq terjadi dalam konteks taqlid dan ittiba‘.

10.  Al-ifta’ dan Permasalahannya
Menurut bahasa, ifta’  adalah memberikan penjelasan. yaitu:”usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahui”.
Cirri-ciri ifta’:
a.       Ifta’ adalah usaha memberikan penjelasan
b.      Penjelasan itu adalah tentang hukum syara’ yang  diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.       Yang memberikan penjelasan itu adalah orang-orang yang ahli di bidang yang diijelaskan itu
d.      Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya belum mengetahui hukumnya
Rukun-rukun ifta’:
a)      Usaha memberikan penjelasan (ifta’)
b)      Orang yang  menyampaikan jawaban hukum terhadap orang yang bertanya (mufti)
c)      Orang yang memintapenjelasan hukum (mustafti)
d)     Materi jawaban hukum syara’ (fatwa)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar