Pancasila
Pancasila sebagai dasar republik Indonesia ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara, maka nilai-nilai kehidupan
bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pancasila.
Secara terminologis istilah pancasila artinya lima
dasar atau lima alas, untuk dasar negarA kita RI, istilah ini mulai diusulkan
Bung Karno dalam siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 sebagai dasar Negara RI dan
baru disahkan pada siding PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Sebagai sumber dari segala sumber hokum atau sebagai
sumber hokum tertib Indonesia maka pancasila tercantum dalam ketentuan
tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih
lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD
1945, yang pada akhirnya dikokritasikan atau dijabarkan dalam pasal-pasal UUD
1945 serta hukum positif lainnya.
- Sumber Hukum
Tertinggi (UUD 1945)
Sebagai hukum dasar tertulis UUD
1945 mengikat Pemerintah, Lembaga
Negara, Lembaga Masyarakat, setiap Warga Negara Indonesia, dan setiap
Penduduk yang berada di Wilayah Negara Republik Indonesia.
UUD 1945 bukan hukum biasa melainkan hukum dasar yang merupakan
sumber hukum yang tertinggi, sehingga seluruh hukum yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945.
Negara, Lembaga Masyarakat, setiap Warga Negara Indonesia, dan setiap
Penduduk yang berada di Wilayah Negara Republik Indonesia.
UUD 1945 bukan hukum biasa melainkan hukum dasar yang merupakan
sumber hukum yang tertinggi, sehingga seluruh hukum yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945.
UUD 1945 terbentuk melalui
sejarah yang amat panjang melalui pasang
surutnya kejayaan bangsa dan masa-masa penderitaan penjajahan, dan masa-masa
perjuangan untuk merdeka, menentukan sendiri hidup dan masa depannya.
UUD 1945 untuk pertama kalinya diberlakukan pada tanggal 18 Agustus
1945, naskahnya pertama kali dimuat secara resmi dalam Berita Negara yaitu Berita
Republik Indonesia Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946.
surutnya kejayaan bangsa dan masa-masa penderitaan penjajahan, dan masa-masa
perjuangan untuk merdeka, menentukan sendiri hidup dan masa depannya.
UUD 1945 untuk pertama kalinya diberlakukan pada tanggal 18 Agustus
1945, naskahnya pertama kali dimuat secara resmi dalam Berita Negara yaitu Berita
Republik Indonesia Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946.
Sebagai warga negara Republik
Indonesia, Kita perlu mengetahui apakah
yang dimaksud dengan UUD 1945, bagaimana fungsi dan kedudukannya dalam
Tata Hukum Negara Republik Indonesia, dan perlu juga mengetahui bagaimana
terjadinya (pembentukannya) serta keterangan suasana pada waktu UUD 1945 itu
dibuat.
yang dimaksud dengan UUD 1945, bagaimana fungsi dan kedudukannya dalam
Tata Hukum Negara Republik Indonesia, dan perlu juga mengetahui bagaimana
terjadinya (pembentukannya) serta keterangan suasana pada waktu UUD 1945 itu
dibuat.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945
berisi norma-norma, dan aturan-aturan yang
harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua komponen tersebut di atas.
Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar,
yaitu hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan
sumber hukum tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum seperti undangundang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan
atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan
yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945,
dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
(Pasal2UUNo.10Tahun2004)[1].
harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua komponen tersebut di atas.
Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar,
yaitu hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan
sumber hukum tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum seperti undangundang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan
atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan
yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945,
dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
(Pasal2UUNo.10Tahun2004)[1].
- Hukum
Hirarki
1. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966
a.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b.
Tap MPR
c.
UU
d.
Perpu
e.
PP
f.
Peratura pelaksana lainnya;
1)
Kepres
2)
Inpres, dan lain-lain
2. Tap MPR No. III 1973
a.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b.
Tap MPR
c.
UU/Perpu
d.
PP
e.
Kepres
f.
Peratura lainnya/perda
3. UU No. 10 2004
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perpu)
c. Peraturan pemerintah
d. Peraturan presiden
e. Peraturan daerah, ini meliputi;
1)
Propinsi
2)
Kabupaten/kota
3)
Desa kecil/peraturan nagari
- Sumber
Tertib Hukum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Proklamasi kemerdekaan, sebagai sumber lahirnya
Republik Indonesia telah
melahirkan sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia , serta merupakan norma pertama dari
Tata Hukum Indonesia , yang
berarti bahwa bangsa Indonesia
mulai saat itu telah mendirikan Tata Hukum yang baru, yaitu Hukum Indonesia .
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang
dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959.
Isi dekrit ini adalah pembubaran Badan Konstituante
hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar
dari UUD Sementara 1950 ke UUD '45.
Dekrit Presiden 1959 dilatar belakangi oleh
kegagalan Badan Konstituante
untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang
pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil
merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat
pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu,
Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan
sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya
menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara.
Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun
yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang,
karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum.
Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari
pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum.
Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses
yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan
dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dari Dekrit tersebut antara lain :
Isi dari Dekrit tersebut antara lain :
- Pembubaran
Konstituante
- Pemberlakuan
kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950
- Pembentukan
MPRS dan DPAS
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya[2]
Supersemart
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar
terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet
Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100
menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan
pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa
banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal"
yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah
pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas
menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya
adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil
perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul
Saleh berangkat ke Bogor
dengan helikopter
yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana
Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang
kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku
Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani
yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto
saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan
menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario
Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira
tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden
Soekarno di Istana Bogor
yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud
dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam
hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden
Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan
bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila
diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya
untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan
Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat
perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada
Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang
perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal
12 Maret 1966 pukul pukul 01.00
waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal
tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari
Mayjend Sutjipto,
Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar
konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga.
Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto.
Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks
tersebut sampai surat
Supersemar itu tiba.
Isi dari surat
supersemar
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan
Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah
Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi
pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu
adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu
adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk
memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III.
Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN
DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1. Mengambil
segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan
serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin
Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia , dan
melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan
koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain
dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya
melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan
tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
PRESIDEN/PANGLIMA
TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
- Sumber Hukum
Lainnya
1. Hukum Agama
Hukum agama juga dijadikan sebagai sumber hukum, dikarenakan hokum agama
itu merupakan suatu kewajiban bagi penganutnya untuk menjalankan hukum agama
tersebut. Sehingga, untuk mengsingkronisasikan hokum Negara dengan hokum agama,
maka hokum agama ini dijadikan salah satu sumber hokum. Contohnya saja, di
dalam perundang-undangan Indonesia ,
banyak berisi hokum-hukum agama islam
2. Hukum Adat
Istilah hukum adat ini berasal dari bahasa Belanda, yaitu adatrecht yang dikemukakan oleh Snouck
Hurgronje. Pengertian hukm adapt yang digunakan oleh Mr. C. van Volenhoven
(1928) mengandung makna bahwa hukum Indonesia dan kesusiolaan
masyarakat merupakan hukum adapt. Adapt tidak dapat dipisahkan dan mungkin
hanya dapat dibedakan dalam akibat-akibat hukumnya. Kata “hukum” dalam
pengertian hukum adapt lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa. Ini
dikarenakan terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhannya
oleh berbagai golongan tertentu dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Sementara
itu istilah “Indonesia ”
digunakan untuk membedakan dengan hukum adat lainnya di kawasan Asia .
3. Doktrin
Doktrin
adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama
pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut.
Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Begitu pula
bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan
kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat
pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya[4].
4. Traktat (Perjanjian
Internasional)
Perjanjian
Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti
formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan
formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian
internasional.
Dasar hukum
treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
a.
Presiden dengan persetujuan
DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara
lain;
b.
Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
5. Konversi (Kebiasaan
Ketatanegaraan)
Konversi adalah hukum dasar tidak tertulis yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara dan ditaati oleh para penyelenggara negara
sebagai suatu kewajiban moral dan etika
6. Yurisprudensi
Pengertian
yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika)
sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan
pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia )
hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan
dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno
mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan
hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh
apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
berwibawa.
Walaupun
demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula
berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi
dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar