Dalam
Alqur’an Surat An-Nisa’ ayat 3.
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz
wr& (#qäÜÅ¡ø)è?
Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù
$tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
wr& (#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès?
ÇÌÈ
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.[1]
Sudah jelas
dikatakan bahwa syarat yang paling utama untuk berpoligami itu adalah bisa berlaku adil kepada
istri-istri tersebut. Bahkan langsung dibantah dalam surat yang sama pada ayat
ke 129 bahwa sekali-kali tidak akan dapat manusia berlaku adil dalam segi
membagi cinta, karna sifat fitrah manusia lebih suka dan cinta kepada yang
lebih muda dan cantik.
Surat
An-nisa’ ayat 129:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/
Ïä!$|¡ÏiY9$#
öqs9ur
öNçFô¹tym
( xsù
(#qè=ÏJs?
¨@à2
È@øyJø9$#
$ydrâxtGsù
Ïps)¯=yèßJø9$$x.
4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù
©!$#
tb%x. #Yqàÿxî
$VJÏm§
ÇÊËÒÈ
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."
Islam
memandang poligami lebih banyak mudharatnya atau resikonya dari pada
manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak
cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul
dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis.[2]
Ulama
Syafi’i juga mensyaratkan keadilan diantara para istri, dan menurutnya keadilan
ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau siang
hari.[3]
Dan menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974. BAB I, Pasal 5 dikatakan syarat
poligami adalah :
1. Untuk dapat
mengajukan permohonan kepada pegadilan, sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) Undang – undang ini, harus dipenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan
dari isteri / isteri-isteri.
b. Adanya kepastian
suami mampu menjamin keperluan-keperluan isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang
dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri/isteri- isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Serta dalam
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga dijelaskan pada, BAB VIII
Pasal 40 / 44, tentang syarat- syarat poligami ini.
Pasal
40. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 berbunyi:
“Apabila seorang suami
bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan
tertulis kepada Pengadilan.”[4]
Jadi setiap
seseorang hendak melakukan poligami maka harus mengjukan permohonan pada
pengadilan dan pengadilan akan menyelidiki apakah orang ini dapat diberika izin
berpoligami, kebanyakan saat sekarang ini orang kebanyakan apabila hendak
melakukan poligami dia lebih memilih jalan nikah siri, karena takut nanti
pengadilan tidak mengizinkan untuk berpoligami, ini kesalahan yang sangat
besar, karena banyak dan besar akibatnya apabila melakukan nikah dibawah tangan
ini, apabila semua syarat yang terdapat pada pasal 5 dalam uu no 1 tahun 1974
terpenuhi maka pengadilan akan mengizinkan berpoligami.
Adapun
masalah poligami ini juga terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam pada BAB IX, pasal 55 / 59.
Pasal 55.
1) Beristri lebih dari
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2) Syarat utama beristi
lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.
3) Apabila syarat utama
yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri
lebih dari satu orang.
Pasal 56.
1) Suami yang hendak beanpa
ristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan
izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur
dalam BAB VII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang
dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama,
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57.
Pengadilan Agama hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristi lebih dari seorang
apabila:
a. Isteri tidak
menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Setelah kita lihat pasal 55-57 KHI tersebut, maka dapat kita simpulkan,
bahwa berpoligami hanya dibatasi maksimal empat orang isteri dalam waktu bersamaan.
Dan syarat utamanya adalah dapat berlaku adil dan apabila tidak dpenuhi, maka
dilarang poligami. Dan harus di urus mahon izinnya ke Pengadilan Agama
sebagaimana yang diatur dalam PP No 9 Tahun 1975. BAB VIII, Pasal 40 – 45. Dan syarat isteri boleh dipoligami
apabila isteri tidak dapat menjalani kewajibannya, dan tidak dapat melahirkan
keturunan dan menderita penyakit cacat
dan sakit yang tidak sembuh-sembuh.
B. PROSEDUR POLIGAMI.
Didalam
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang kami paparkan diatas, telah
disinggung masalah tata cara dan prosedur berpoligami ini, yaitu terdapat dalam
PP No. 9 Thn 1975 Pasal 40, menyatakan bahwa harus meminta izin tertulis
melalui Pengadilan apabila hendak berpoligami.[5]
Sedangkan pasal 41 berbunyi: “Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
- Adanya
atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
- Ada atau
tidak adanya persetujuan isteri, baik persetujuan lisan maupun tulisan,
apabila persetujuan itu merupakan lisan, persetujuan itu harus diucapkan
didepan sidang pengadilan.
- Ada atau
tidak adanya kemampuan suami menjamin keperluan isteri-isteri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
- Surat
keterangan mengenai pengahasilan suami yang ditanda tangani oleh
bendahara ditempat suami bekerja; atau,
- Surat
keterangan pajak pengahasilan; atau,
- Surat
keterangan lain yang dapat diterima pengadilan.
- Ada atau
tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang
ditetapkan untuk itu.
Sedangkan
pasal 42 menerangkan bahwa keharusan pengadilan memanggil para isteri
memberikan penjelasan atau kesaksian. Dan pada pasal ini juga dijelaskan
pengadilan diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah
diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.
Sedangkan
pada pasal 43 berbunyi: “Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari satu orang, maka pengadilan memberikan
keputusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.
Begitu pula
dalam KHI, prosedur yang ditetapkan dalam KHI tidak berbeda dengan PP No 9 ini.
Sedangkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, juga diterangkan sebagaiman yang
terdapat dala PP No 9 tersebut yang menyatakan prosedur poligami sama seperti
yang terdapat dalam pasal 40-43 PP tersebut.
Dari
penjelasan diatas ada tiga hal yang menarik untuk dianalisis;
·
Menyangkut prosedur poligami yang tampaknya memberikan wewenang yang cukup besar terhadap
pengadilan.
·
Makna keadilan sebagai syarat kualitatif poligami.
·
Berkenaan dengan substansi kebolehan poligami yang
sering disalah pahami.[6]
Mengenai
prosedur poligami ini telah diatur dalam Undang-Undang dan KHI serta PP yang
telah kami paparkan diatas. Adapun syarat dan prosedur ini hanyalah semata agar
tidak terjadi kesemena-menaan terhadap hak isteri maupun suami. Karena tujuan
UU ini hanyalah supaya terciptanga rumah tangga yang sakinah dan harmonis, dan
tidak ada salah satu pihak yang dirugikan, karena dalam syarat dan prosedur ini
telah diteliti dan benar-benar sudah dipelajari apakah pantas seseorang ini
beristri lebih dari satu. Maka pengadilan harus berhati-hati dalam memberikan
izin berpoligami ini.
[1] Tafsiran al-Qur’an Departemen Agama. 1999.
[3] Dr. H. Amiur
Nuruddin, M.A. dan Drs. Azhari Akmal Taringan, M.Ag. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Kencana. Hal. 158.
[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Citra Umbara. Hal. 58.
[5] Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan KHI dijelaskan bahwa
permohonan untuk berpoligami harus secara tertulis.
[6] Amiur Nuruddin.. dan Azhari Akmal Taringan. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Kencana. Hal. 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar