Kata-kata
“poligami” terdiri dari kata “poli” (banyak) dan “gami” (istri). Jadi poligami
itu artinya beristri banyak. Secara terminology, poligami yaitu seorang suami
memiliki lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari satu
orang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang[1].
Allah Ta’ala
berfirman dalam surat Annisa : 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : “Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Pada dasarnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh beristri satu, dan wanita hanya
boleh bersuami satu[2]. Di
dalam pasal 3 (2) UU NO. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa pengadilan dapat member
izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Alasan Bolehnya
Berpoligami
Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat 3
dari surat Annisa poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi
sebelum Nabi Muhammad S.A.W. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang
saja. Untuk lebih jelasnya, maka alasan bolehnya berpoligami harus dilihat dari
berbagai perspektif.
a.
Perspektif fiqh
Dalam surat Annisa ayat 129 Allah menyatakan
`s9ur
(#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
Artinya : “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Jika dilihat dari surat Annisa ayat 3 dan 129, sebenarnya
di sini ditekankan keadilan, sehingga penetapan dari poligami itu sendiri
sangat berat untuk dilakukan.
Di dalam kitab-kitab fiqih,
masalah poligami ini tidak begitu diper soalkan, sehingga dengan kesimpulan para
fuqaha membolehkan poligami dengan berbagai macam syarat. As-Sarakhsi
menyatakan kebolehan berpoligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil.
Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap
istri-istrinya. Syafi’I juga mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan
menurutnya keadilan ini hnya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri
di malam atau di siang hari[3].
Jika disederhanakan,
pandangan normatif Alquran yang selanjutnya diadopsi oleh para fuqaha, setidaknya
menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang
lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk
membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua,
seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri
harus dilakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain[4].
Menurut Abdurrahman setelah
merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan.
1)
Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit
untuk disembuhkan,
2)
Istri terbukti mandul dan secara medis dipastikan tidak
dapat melahirkan
3)
Istri sakit ingatan, seperti gila
4)
Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi tugas
sebagai istri
5)
Istri memiliki sifat buruk
6)
Istri minggat dari rumah
7)
Ketika terjadi ledakan perempuan misalnya dengan sebab
perang
8)
Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika
tidak terpenuhi menimbulkan kemudaratan didalam kehidupan dan pekerjaannya[5].
b.
Perspektif UU No. 1 Tahun
1974
Undang-undang ini menganut azas monogami, suami beristri satu
dan istri bersuami satu juga. Ini dinyatakan pada pasal 3. Namun pada pasal
yang lain diberikannya peluang untuk berpoligami, dengan keadaan dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun peluang untuk poligami ini hanya
merupakan pengecualian, karena itu di berikan alas an-alasan untuk
kebolehannya.
Seorang suami boleh beristri lebih dari seorang dapat
diperbolehkan apabila disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan telah
adanya izin dari pihak Pengadilan.
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan”.
Berdasarkan kepada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 4 (2), izin yang
diberikan oleh Peradilan Agama untuk beristri lebih dari seorang berdasarkan
kepada ;
a.
Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri
b.
Istri mendapat cacat atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.
Istri tidak dapat
memberikan keturunan.
Dilihat dari ketiga alasan di atas, dapat dipahami bahwa
alasannya mengacu kepada tujuan pokok dari perkawinan itu sendiri, yaitu untuk
menciptakan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Apabila salah satu dari ketiga alasan tersebut menimpa suatu rumah tangga
tidak akan mampu terciptanya keluarga yang bahagia[6].
Di dalam pasal 5 (1) UU ini menyatakan, bahwa syarat-syarat
dari poligami itu adalah;
a)
Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri
b)
Adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka
c)
Adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.
Dapat disimpulkan bahwa syarat yang ada pada pasal 4 (2) UU
ini merupakan syarat alternatife. Dan pasal 5 (1) UU ini merupakan syarat
komulatif.
Kemudian pasal 5 (2) menegaskan, bahwa “persetujuan yang
dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri-istrinya tidak mungkin untuk dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yag perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan”.
c.
Perspektif PP No. 9 Tahun
1975
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada
atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
a) bahwa
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b) bahwa
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c) bahwa
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada
atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang pengadilan.
c.
ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
a) surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja; atau
b) surat
keterangan pajak penghasilan; atau
c) surat
keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
d.
ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
d.
Perspektif KHI (pasal 55 –
59).
Pasal 55
(1)
Beristri lebih dari seorang
pada waktu bersamaan, terbatas sampai empat orang isteri
(2)
Syarat utama beristri lebih
dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya
(3)
Apabial syarat utama yang
disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih
dari seseorang.
Pada pasal 55 ini meletakkan adil sebagai syarat utama dalam
melakukan poligami. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi
semua hak mereka (istri), maka ia haram untuk melakukan poligami. Bila suami
hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram
menikahi istri untuk yang keempatnya. Jika suami hanya mampu memenuhi hak-hak
istrinya dua orang, maka ia harang menikahi istri yang ketiganya, dan begitu
seterusnya[7].
Rasulullah SAW. bersabda ;
عن
ابى هريرة ان النبي صلى الله عليه و سلم قال
: من كانت له امراتان فما ل الى احداهما جاء يوم القيامة و شقه ماءل (رواه
ابو داود و اترمدي والنساء و ابو حبان)
Artinya : “Dari
Abu Hurairah ra. sesungguhnya Nabi SAW barsabda : barang siapa yang mempunyai
dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang
pada hari kiamat dengan bahunya miring.”
Pasal 56
Suami
yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama
Pasal
57
Pengadilan Agama
hanya member izin kepada suami yang akan beritri lebih dari seorang apabila;
a)
Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri
b)
Istri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disenbuhkan
c)
Istri tidak dapt melahirkan
keturunan
Pasal 58
(1)
Selain syarat utama yang
disebutkan pada pasal 55 (2) maka untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 UU No. Tahun 1974, yaitu ;
a)
Adanya persetujuan istri
b)
Adanay kepastian bahwa
suami mampu menjamin keutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya
(2)
Dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan
istri/istri-istri dapat diberikan secara tertulis maupun secara lisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan
lisan istri pada sidang Pengadilan Agama
(3)
Persetujuan yang dimaksud
pada (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya
tidak mungkin untuk dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau tidak ada kabar dari istri/istri-istrinya lebih kurang selama 2
tahun atau karena sebab lain yang perlu penilaian Hakim
Pasal 59
Dalam hal istri
tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan beristri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur pada pasal 55 (2) dan 57,
pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan dalam sidang Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Dari ketentuan-ketentuan dai atas dapat
dianalisis, makna keadilan sebagai syarat kualitatif poligami dan berkenaan
dengan subtansi kebolehan poligami yang sering disalah pahami[8].
Adil dari aspek kuantitatif dapat
dibuktikan dengan angka-angka, tetapi kalau adil dari aspek kualitatif bersifat
abstrak. Sehinnga di sinilah timbul perdebatan, apakah adil ini bersifat
kuantitatif atau kualitatif.
Konsep dari adil itu sendiri adalah
memperlakukan semua istri secara adil yang menyeluruh, tidak ada ketimpangan
yang terjadi antara istri-istri. Adil disini harus dinilai dari aspek kuantitatif
maupun aspek kualitatif. Namun, kalau kita perhatikan firman Allah dalam surat
Annisa : 129, ayat ini lebih cendrung meletakkan adil pada aspek kualitatif,
ini dapat kita lihat pada kata “(#qè=ÏJs? xsù”, yang berarti lebih
kepada aspek “perasaan”, sebab sebelumnya Allah menegaskan bahwa kita tidak akan
mampu untuk berlaku adil kepada istri-istri.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Kompilasi Hukum Islam
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam
di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hokum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974
sampai KHI, Kencana, Jakarta, 2006
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
[1]
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, hal. 129
[2] Undang-Undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974, Citra Umbara, Bandung, 2007
[3]
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hokum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI,
Kencana, Jakarta, 2006, hal. 158
[4] Ibid,
hal. 159
[5] Ibid
[6] Zainuddin
Ali., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
hal. 47
[7]
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, hal. 132
[8] Amiur
Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit,
hal. 169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar