Yang dimaksud
dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang
untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak
terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki
suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri
secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya.[1]
Dalam ketentuan
umum pasal 1 Kompilasi huruf h dikemukan, perwalian adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai
wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang
tua, atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Ada beberapa
ayat yang dapat dirujuk untuk menjelaskan keberadaan wali. Firman Allah dalam
surat al-baqarah 282:
4
bÎ*sù
tb%x.
Ï%©!$#
Ïmøn=tã
,ysø9$#
$·gÏÿy
÷rr&
$¸ÿÏè|Ê
÷rr&
w
ßìÏÜtGó¡o
br&
¨@ÏJã
uqèd
ö@Î=ôJãù=sù
¼çmÏ9ur
ÉAôyèø9$$Î/
4
Jjika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
wur
(#qè?÷sè?
uä!$ygxÿ¡9$#
ãNä3s9ºuqøBr&
ÓÉL©9$#
@yèy_
ª!$#
ö/ä3s9
$VJ»uÏ%
öNèdqè%ãö$#ur
$pkÏù
öNèdqÝ¡ø.$#ur
(#qä9qè%ur
öNçlm;
Zwöqs%
$]ùrâ÷ê¨B
ÇÎÈ
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya,harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.
Kutipan ayat-ayat di atas menunjukkan peran,
kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya.
Untuk mengetahui secara lebih rinci, kita temukan penjelasan Perspektif Fiqh
dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.[2] Juga terdapat di dalam Bw mengenai Perwalian.
B. Perspektif Fiqh
Adalah suatu
ketentuan hokum bahwa wali dapat dipaksakan kepada orang alin sesuai dengan
bidang hukumnya. Keberadaan wali sebagai rukun nikah seperti terdapat dalam
pemikiran Malikiyyah, Syafi’iyah, maupun Hanabilah ataupun posisi wali hanya
ditempatkan sebagai syarat nikah bagi wanita yang belum dewasa. Dalam masalah
wali dan juga dalam masalah lainnya, fiqh cenderung masih menganut pemikiran
masculine gender ( bercorak kelakian).[3]
Wali nikah ada
empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula
Wali nasab
adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan. Urut-urutan wali menurut jumhur ulama yaitu sebagai
berikut:
1.
Ayah
2.
Ayahnya Ayah
(kakek) terus ke atas
3.
Saudara
laki-laki seayah seibu
4.
Saudara
laki-laki seayah saja
5.
Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah seibu
6.
Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah
7.
Anak laki-laki
dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
8.
Anak laki-laki
dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9.
Anak laki-laki
no 7
10.
Anak laki-laki
no.8 dan seterusnya
11.
Saudara
laki-laki ayah, seayah seibu
12.
Saudara
laki-laki ayah, seayah saja
13.
Anak laki-laki no11
14.
Anak laki-laki
no 12
15.
Anak laki-laki
no 13, dan seterusnya
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab
(dekat) dan wali ab’ad ( jauh). Dalam urutan di atas yang termasuk wali aqrab
adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab’ad. Jika nomor 1
tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab’ad, dan
seterusnya.
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qodi.
Sedangkan wali tahkim yaitu orang yang diangkat oleh calon suami dan calon
istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak, wali nasab goib dan tidak
ada qodi. Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri.
Kemudian wali mujbir dan wali ‘Adol. Yang dimaksud
dengan berlakunya wali mujbir yaitu seorang wali berhak menikahkan perempuan
yang diwakilkannya di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka
terlebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat rida
atau tidaknya. Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh,
yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’, maka dinamakn dengan wali
‘Adol. Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali
hakim, bukan kepada wali ab’ad, karena adol adalah zalim, sedangkan
menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Fuqaha telah sepakat bahwa
sifat-sifat seorang wali adalah harus islam, dewasa, dan laki-laki.[4]
C.
Perspektif
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Dalam Bab XI
pasal 50 sampai dengan pasal 54 diatur tentang perwalian.
Pasal 50 :
(1)
Anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali.
(2)
Perwalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal
51:
(1)
Wali dapat ditunjuk
oleh satu orang tua yang menjelaskan
kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan
lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2)
Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
(3)
Wali wajib
mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4)
Wali wajib
membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau
anak-anak itu
(5)
Wali bertanggung
jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian
yang ditimbulkannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaian.
Memperhatikan bunyi pasal 50 dan 51 tersebut, yang
perlu diperhatikan adalah, meskipun penunjukkan melalui surat wasiat atau lisan
sifatnya pilihan yang tidak bersifat imperatif, hendaknya dilakukan dengan
cara-cara yang dapat mempunyai kekuatan hukum atau akta otentik. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan anak.
Dalam pasal 51 (2) dianjurkan agar penunjukkan wali
diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik,
didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW. Riwayat dari al-Barra’ ibn Azib yang
mengutamakan keluarga perempuan.
أن
النبي صلى الله عليه و سلم قضى فى ابنة حمزة لخالة بمنزلة الام (اخرجه البخارى)
“Sesungguhnya
Nabi SAW. Memutuskan (wali) bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan
ibu ( khalah) nya. Dan beliau bersabda:” Saudara perempuan ibu (menempati)
kedudukan ibu”.( Riwayat Bukhari).
و
الجارية عند خالتها فان الخالة والدة (اخرجه احمد)
Rasulullah
SAW. Bersabda:”Bagi anak perempuan (perwaliannya) pada saudara perempuan
ibunya, karena ia adalah orang tua perempuan (walidah) nya”. (Riwayat Ahmad
dari Ali ra.).
Alasan lain daripada penunjukkan wali, termasuk
wewengnya untuk mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam
perwaliannya, hanya diperbolehkan apabila kepentingan anak menghendakinya
(pasal 48 jo. 52 UU Perkawinan). Apabila dalam kenyataannya, wali yang ditunjuk
tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, atau dengan indikasi-indikasi
tertentu kelihatan beriktikad tidak baik, maka hak perwaliannya dicabut.
Prosedur dan tata caranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada
pengadilan atau Pengadilan Agama untuk mencabutnya
Pasal 52
Terhadap wali berlaku
juga Pasal 48 Undang-Undang ini.
Pasal 53:
(1) Wali
dapat dicabut dari kekuasaanya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49
Undang-undang ini.
(2) Dalam
hal kekuasaanya seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal
ini, olehPengadilan ditunjukkan orang lain sebagai wali.
Pasal 54:
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta
benda anak yang di bawah kekuasaanya, atas tuntutan anak atau keluarga anak
tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengganti kerugian tersebut.
D.
Perspektif
KHI
Di Dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai
Perwalian dalam Pasal 107 sampai Pasal 112, yang secara garis besar mempertegas
ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan.
Pasal 107:
(1)
Perwaliannya
hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2)
Perwalian
meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)
Bila wali tidak
mampu berbuat atau lalai melaksanakan tuags perwaliaanya, maka Pengadilan Agama
dapat menunjukkan salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas
permohonan kerabat tersebut
(4)
Wali sedapatnya
diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum
Pasal
108:
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau
badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau
anak-anaknya sesudah ia meninggalnya.
Apabila diperhatikan secara teliti, ketentuan dalam
kompilasi memang lebih tegas daripada dalam Undang-undang Perkawinan, karena
dalam kompilasi konsennya adalah bagi orang Islam. Maka penunjukkan Pengadilan
Agama dilibatkan dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari perwalian
adalah dalam rangka kepastian hukum.
Pasal 109:
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian
seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan
kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, pejudi, pemboros, gila dan atau
melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Selanjutnya mengenai rincian tugas dan kewajiban
wali terhadap diri dan harta anak yang berada di bawah perwaliaannya,
dijelaskan dalam pasal 110 Kompilasi:
(1)
Wali
berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliaannya
dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agar, pendidikan
dan keterampilannya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliaannya.
(2)
Wali dilarang
mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah
perwaliaannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang
berada yang di bawah perwaliaannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan.
(3)
Wali bertanggung
jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti
kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4)
Dengan tidak
mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1
Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan
pembukuan yang ditutup tiap satu tahun kali.
Perwalian seseorang berakhir, apabila anak yang
berada di bawah perwaliannya telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
Karena umur 21 atau telah kawin dianggap telah dapat hidup mandiri. Menurut
bahasa Al-Quran sebenarnya tidak ada penegasan secara defenitif tentang batas
usia. Hanya ayat al-Quran (an-nisa’,4:6) menegaskan sebelum harta bendanya
diserahkan anak tersebut diuji kecakapannya. Tentang pembatasan atau
berakhirnya perwalian dalam kompilasi dinyatakan dalam Pasal 111:
(1)
Wali
berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
(2)
Apabila
perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili
perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang
harta yang diserahkan kepadanya.
Secara metodologis, penentuan batas usia 21 tahun
atau telah kawin didasarkan pada metode istihlah atau maslahat mursalah, yaitu
kebaikkan anak yang bersangkutan yang hakikatnya sejalan dengan maksud syari’ah
dalam menetapkan hukum. Kendatipun demikian, apabila dalam kenyataannya usia 21
tahun, anak tersebut belum menunjukkan kecakapannya maka perwalian dapat
diteruskan, demi kepentingan anak.
Ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan
antara orang tua dan wali, disamping kesamaannya. Baik dalam hadanah atau
perwaliaannya, orang tua tetap bertanggung jawab kebutuhan nafkah (material)
anak, sementara wali lebih bertanggung jawab dalam pemeliharaan, seperti
mendidik, mengajari keterampilan, dan lain-lain. Karena itu apabila wali tidak
mampu secara material, namun ia sanggup melaksanakan tugas-tugas perwalian,
maka ia dibenarkan mengambil harta anak tersebut secara ma’ruf untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebolehan ini ditunjuk oleh surat al-Nisa’,4:6 yang
dituangkan dalam pasal 112:
“Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada
dibawah perwaliaanya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir”.[5]
E. Perspektif BW
Dalam tiap-tiap perwalian, kecuali apa yang
ditentukan dalam psal 351 dan 361, hanyalah ada satu orang wali. Perwalian
terhadap anak-anak dari bapak dan ibu yang sama, sekadar anak-anak itupun
mempunyai seorang wali yang sama pula, harus dianggap sebagai satu perwalian.(
Pasal 331 KUH Perdata). Jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua
yang hidup paling lama maka kalau ia kawin lagi, suami menjadi wali serta)wali
peserta (pasal 351 KUH Perdata) dan jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan
yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar Indonesia (Pasal
361 KUH Perdata). Berakhirnya perwalian,
jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di bawah suatu perwalian,
dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, pada saat penetapan untuk
keperluan itu diberitahukan kepada si wali.[6]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wali secara umum adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.
Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena
orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan
ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau
atas dirinya.
Adapun ayat yang dapat dirujuk untuk menjelaskan
keberadaan wali. Firman Allah dalam surat al-baqarah 282:
4
bÎ*sù
tb%x.
Ï%©!$#
Ïmøn=tã
,ysø9$#
$·gÏÿy
÷rr&
$¸ÿÏè|Ê
÷rr&
w
ßìÏÜtGó¡o
br&
¨@ÏJã
uqèd
ö@Î=ôJãù=sù
¼çmÏ9ur
ÉAôyèø9$$Î/
4
Jjika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur.
Mengenai Perwalian diatur oleh UU Perkawinan pada
Bab XI Pasal 50 sampai 54 dan di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab XV dari
Pasal 107-112 yang berkenaan dengan
kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah
perwaliannya. Dan juga menurut perspektif fiqh dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
[1] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: kencana, 2006, hal
69
[2] Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003. Hlm 258-260
[3] Amiur Nuruddin, Azhari Tarigan akhmal, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006, hlm76-77
[4] Slamet Abidin,
Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia,1999, hlm 83-90
[5] [5]
Ibid.hlm 260-266
[6] Salim HS,
Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : PT Sinar Grafika,2006, Hlm 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar