Senin, 15 Februari 2016

PERWALIAN

A.    Pengertian
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya.[1]
Dalam ketentuan umum pasal 1 Kompilasi huruf h dikemukan, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Ada beberapa ayat yang dapat dirujuk untuk menjelaskan keberadaan wali. Firman Allah dalam surat al-baqarah 282:
 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4
Jjika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ  
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Kutipan ayat-ayat di atas menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Untuk mengetahui secara lebih rinci, kita temukan penjelasan Perspektif Fiqh dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.[2]  Juga terdapat di dalam Bw mengenai Perwalian.

B.     Perspektif Fiqh
Adalah suatu ketentuan hokum bahwa wali dapat dipaksakan kepada orang alin sesuai dengan bidang hukumnya. Keberadaan wali sebagai rukun nikah seperti terdapat dalam pemikiran Malikiyyah, Syafi’iyah, maupun Hanabilah ataupun posisi wali hanya ditempatkan sebagai syarat nikah bagi wanita yang belum dewasa. Dalam masalah wali dan juga dalam masalah lainnya, fiqh cenderung masih menganut pemikiran masculine gender ( bercorak kelakian).[3]
Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Urut-urutan wali menurut jumhur ulama yaitu sebagai berikut:
1.      Ayah
2.      Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas
3.      Saudara laki-laki seayah seibu
4.      Saudara laki-laki seayah saja
5.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
8.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9.      Anak laki-laki no 7
10.  Anak laki-laki no.8 dan seterusnya
11.  Saudara laki-laki ayah, seayah seibu
12.  Saudara laki-laki ayah, seayah saja
13.  Anak laki-laki no11
14.  Anak laki-laki no 12
15.  Anak laki-laki no 13, dan seterusnya
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad ( jauh). Dalam urutan di atas yang termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab’ad. Jika nomor 1 tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab’ad, dan seterusnya.
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qodi. Sedangkan wali tahkim yaitu orang yang diangkat oleh calon suami dan calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak, wali nasab goib dan tidak ada qodi. Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri.
Kemudian wali mujbir dan wali ‘Adol. Yang dimaksud dengan berlakunya wali mujbir yaitu seorang wali berhak menikahkan perempuan yang diwakilkannya di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat rida atau tidaknya. Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh, yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’, maka dinamakn dengan wali ‘Adol. Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim, bukan kepada wali ab’ad, karena adol adalah zalim, sedangkan menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah harus islam, dewasa, dan laki-laki.[4]


           


C.    Perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Dalam Bab XI pasal 50 sampai dengan pasal 54 diatur tentang perwalian.
Pasal 50 :
(1)   Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2)   Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51:
(1)   Wali dapat ditunjuk oleh satu  orang tua yang menjelaskan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2)   Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
(3)   Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4)   Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu
(5)   Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaian.
Memperhatikan bunyi pasal 50 dan 51 tersebut, yang perlu diperhatikan adalah, meskipun penunjukkan melalui surat wasiat atau lisan sifatnya pilihan yang tidak bersifat imperatif, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang dapat mempunyai kekuatan hukum atau akta otentik. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan anak.
Dalam pasal 51 (2) dianjurkan agar penunjukkan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik, didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW. Riwayat dari al-Barra’ ibn Azib yang mengutamakan keluarga perempuan.
أن النبي صلى الله عليه و سلم قضى فى ابنة حمزة لخالة بمنزلة الام (اخرجه البخارى)
“Sesungguhnya Nabi SAW. Memutuskan (wali) bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibu ( khalah) nya. Dan beliau bersabda:” Saudara perempuan ibu (menempati) kedudukan ibu”.( Riwayat Bukhari).
و الجارية عند خالتها فان الخالة والدة (اخرجه احمد)
Rasulullah SAW. Bersabda:”Bagi anak perempuan (perwaliannya) pada saudara perempuan ibunya, karena ia adalah orang tua perempuan (walidah) nya”. (Riwayat Ahmad dari Ali ra.).
Alasan lain daripada penunjukkan wali, termasuk wewengnya untuk mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya, hanya diperbolehkan apabila kepentingan anak menghendakinya (pasal 48 jo. 52 UU Perkawinan). Apabila dalam kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan beriktikad tidak baik, maka hak perwaliannya dicabut. Prosedur dan tata caranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan atau Pengadilan Agama untuk mencabutnya
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-Undang ini.

Pasal 53:
(1)   Wali dapat dicabut dari kekuasaanya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2)   Dalam hal kekuasaanya seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, olehPengadilan ditunjukkan orang lain sebagai wali.

Pasal 54:
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaanya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

D.    Perspektif KHI
Di Dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai Perwalian dalam Pasal 107 sampai Pasal 112, yang secara garis besar mempertegas ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan.
Pasal 107:
(1)   Perwaliannya hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)   Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)   Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tuags perwaliaanya, maka Pengadilan Agama dapat menunjukkan salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut
(4)   Wali sedapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum
Pasal 108:
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggalnya.
Apabila diperhatikan secara teliti, ketentuan dalam kompilasi memang lebih tegas daripada dalam Undang-undang Perkawinan, karena dalam kompilasi konsennya adalah bagi orang Islam. Maka penunjukkan Pengadilan Agama dilibatkan dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari perwalian adalah dalam rangka kepastian hukum.

Pasal 109:
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, pejudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Selanjutnya mengenai rincian tugas dan kewajiban wali terhadap diri dan harta anak yang berada di bawah perwaliaannya, dijelaskan dalam pasal 110 Kompilasi:
(1)   Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliaannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agar, pendidikan dan keterampilannya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliaannya.
(2)   Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliaannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada yang di bawah perwaliaannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3)   Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4)   Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun kali.
Perwalian seseorang berakhir, apabila anak yang berada di bawah perwaliannya telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin. Karena umur 21 atau telah kawin dianggap telah dapat hidup mandiri. Menurut bahasa Al-Quran sebenarnya tidak ada penegasan secara defenitif tentang batas usia. Hanya ayat al-Quran (an-nisa’,4:6) menegaskan sebelum harta bendanya diserahkan anak tersebut diuji kecakapannya. Tentang pembatasan atau berakhirnya perwalian dalam kompilasi dinyatakan dalam Pasal 111:
(1)   Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
(2)   Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Secara metodologis, penentuan batas usia 21 tahun atau telah kawin didasarkan pada metode istihlah atau maslahat mursalah, yaitu kebaikkan anak yang bersangkutan yang hakikatnya sejalan dengan maksud syari’ah dalam menetapkan hukum. Kendatipun demikian, apabila dalam kenyataannya usia 21 tahun, anak tersebut belum menunjukkan kecakapannya maka perwalian dapat diteruskan, demi kepentingan anak.
Ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan antara orang tua dan wali, disamping kesamaannya. Baik dalam hadanah atau perwaliaannya, orang tua tetap bertanggung jawab kebutuhan nafkah (material) anak, sementara wali lebih bertanggung jawab dalam pemeliharaan, seperti mendidik, mengajari keterampilan, dan lain-lain. Karena itu apabila wali tidak mampu secara material, namun ia sanggup melaksanakan tugas-tugas perwalian, maka ia dibenarkan mengambil harta anak tersebut secara ma’ruf untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebolehan ini ditunjuk oleh surat al-Nisa’,4:6 yang dituangkan dalam pasal 112:
“Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada dibawah perwaliaanya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir”.[5]

E.     Perspektif BW
Dalam tiap-tiap perwalian, kecuali apa yang ditentukan dalam psal 351 dan 361, hanyalah ada satu orang wali. Perwalian terhadap anak-anak dari bapak dan ibu yang sama, sekadar anak-anak itupun mempunyai seorang wali yang sama pula, harus dianggap sebagai satu perwalian.( Pasal 331 KUH Perdata). Jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama maka kalau ia kawin lagi, suami menjadi wali serta)wali peserta (pasal 351 KUH Perdata) dan jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar Indonesia (Pasal 361 KUH Perdata).  Berakhirnya perwalian, jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di bawah suatu perwalian, dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, pada saat penetapan untuk keperluan itu diberitahukan kepada si wali.[6]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya.
Adapun ayat yang dapat dirujuk untuk menjelaskan keberadaan wali. Firman Allah dalam surat al-baqarah 282:
 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4
Jjika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.

Mengenai Perwalian diatur oleh UU Perkawinan pada Bab XI Pasal 50 sampai 54 dan di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab XV dari Pasal 107-112 yang berkenaan dengan  kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Dan juga menurut perspektif fiqh dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.




[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: kencana, 2006, hal 69
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003. Hlm 258-260
[3]  Amiur Nuruddin,  Azhari Tarigan akhmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006, hlm76-77
[4] Slamet Abidin, Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia,1999, hlm 83-90
[5] [5] Ibid.hlm 260-266
[6] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : PT Sinar Grafika,2006, Hlm 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar