Senin, 15 Februari 2016

PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut.
1.Pada waktu atau sebelum Perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,agama, dan kesusilaan.
3.Perjanjian tersebut berlaku sejak Perkawinan dilangsungkan.
4. Selama Perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat di ubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 29 tersebut  menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun Pasal 11 dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan. Hal itu di ungkapkan sebagai berikut:
  1. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
  2. Perjanjian berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akat nikah dilangsungkan.
  3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh pasal 45 sampai pasal 52 KHI, yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
  1. Taklik talak
  2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 46 KHI
1.Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.
2.Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3.Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah di perjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Dapat dipahami sebelum pelaksanaan akat nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Selama perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. sebagai contoh taklik talak dapat diungkapkan sebagai berikut:
Saya  berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya  dengan baik menurut ajaran syariat Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu sebagai berikut.
Sewaktu-waktu saya:
  1. meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut
  2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya
  3. atau saya menyakiti badan atau jasmani istri saya itu
  4. atau saya membiarkan istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukannya kepada PengadilanAgama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan dan istri saya itu membayar uang sebesar RP 10.000,00 sebagai penganti kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Naskah taklik talak tersebut perlu diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan pasal 26 Peraturan menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. hal itu, diungkapkan sebagai berikut:
    1. Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksudkan Pasal 11 Ayat 3 peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akat nikah dilangsungkan.
    2. Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akat nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak istrinya.
Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak istri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar meneliti apakah sang suami menyetujui dan mengucapkan  sighat taklik talak atau tidak.
Kalau suami menandatangani di bawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Apabila memperhatikan sighat taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud yang kandungan amat baik kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang istri yang harus diterimanya.
Selain itu perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan diatur oleh Pasal 47 sampai dengan 52 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 47 KHI
1.pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2.Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3.Di samping ketentuan dalam ayat 1dan 2 diatas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan atas harta pribadi dan harta bersama.
Pasal 48 KHI
1.Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
2.Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49 KHI
1.Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang di bawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 1 dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa saat perkawinan dilangsungkan sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan.
Pasal 50 KHI
1.Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal di langsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2.Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
3.pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51 KHI
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52 KHI
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.

Keharusan memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama juga di tegaskan dalam pirman Allah:
 (#qèù÷rr&ur Ïôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) yôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ

Tepatilah janjimu sesungguhnya janji itu kelak akan diminta, pertanggung jawabannya.(Al-isra’17:34)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar