Senin, 15 Februari 2016

ASAS-ASAS PERTANAHAN NASIONAL

A.     ASAS PRODUKTIF AKTIF
Dalam pelaksanaan asas prodduktif aktif tersebut, pada saat sekarang ini menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang melaksanakan atau menyelenggarakan landreform dan rural development, maksudnya adalah tanah pertanian harus di usahakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri.
Agar terlaksananya asas ini diadakan ketentuan-ketentuan  tentang batas maksimum dan batas minimum pemilikan atau penguasaan tanah agar tidak terjadi penumpukan atau penguasaan tanah di satu golongan yang mampu karena pemilikan dan penguasaan yang melampaui batas tidak diperkenenkan karena hal yang demikian dapat merugikan kepentingan umum atau masyarakat luas.
Tentang batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki seseorang supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya, hal ini dimuat dalam pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960 yang isinya antaralain:
1.      Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2.      Pelaksanaan dalam ayat 1 ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3.      Pengecualian dalam asas tersebut pada pasal 1 ayat ini diatur dalam peraturan perundangan.[1]

B.     ASAS PERSAMAAN HAK
Tiap-tiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dalam hal ini  perlu diadakan perlindunagn bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya.
Dalam hal ini dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan oraang lain yang melampui batas  dalam usaha agrarian. Hal ini juga bertentangan asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan. Setiap usaha bersama dalam alapangan agrarian harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta.
Bukan saja usaha-usaha swasta akan tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli  harus di cegah supaya jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karenanya, usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan oleh UU.
Asas ini terdapat dalam pasal 9 ayat 2 UUPA. Sebagai berikut:
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak  atas tanah serta dapat mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi dirinya atau keluarganya.[2]
C.     ASAS USAHA BERSAMA
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi terssebut dalam konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan, unsur kebersamaan tersebut ada pada hak setiap tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak secara langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama dan tanah yang dimiliki secara individual adalah sebagian dari tanah bersama.
Hak-hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa dengan kata lain ini juga di sebut hak –hak primer, maksudnya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh Negara sebagai sebagai petugas bangsa. Sedangkan hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa adalah apa=apa yang disebut dengan hak sekunder maksudnya adalah hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, gadai, bagi hasil dan sebagainya.
Sifat pribadi hak-hak tanah yang sekaligus mengadung unsure kebersamaan dan kemasyarakatan tersebut di atur dalam pasal 6 UUPA. Yaitu “ semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[3]
D.     ASAS KONVERSI    
      Sebelum berlakunya UUPA berlaku juga dua perangakat hukum di Indonesia atau juga disebut dengan dualime. Satu bersumber pada hukum adat disebut dengan hukum tanah adat dan yang satu lagi bersumber pada hukum barat yang dinamakan dengan hukum tanah barat. Dengan hukum agrarian yang bersifat nasional (UUPA) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padananya didalam UUPA. Untuk dapat masuk dalam system  UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Dalam menyatakan  tentang maksud atau pengertian dari konversi ini ada beberapa ahli yang mengemukakan. Menurut A.P. Parlindungan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan konversi itu adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya  UUPA Untuk masuk  untuk masuk dalam system UUPA.[4] Sedangkan menurut Boedi Harsono konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA.
 Dari pengertian-pengertian atau rumusan yang dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa konversi atas hak-hak atas tanah adalah penggantian atau perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama.
Yang menjadi landasan hukum  konversi terhadap hak-hak atas tanah  yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960 adalah bagian kedua dari UUPA” tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri dari IX pasal.
Dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agrarian, maka hanya ada satu system untuk seluruh wilayah tanah air. Oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA  harus disesuaikan degan apa yang terdapat dalam lembaga koversi. Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas tanah menurut system UUPA disamping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan ditanah air dengan mengakui hak-hak tas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur.  

DAFTAR PUSTAKA
Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2008.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2005
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung : Mandur Maju ,1990      




[1] Urip Santoso, Hukum Agrarian dan Hak-Hak atas Tanah ( Jakarta : Kencana ,2005)h.62-63
[2] Ibid h.62
[3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,(Jakarta:Djambatan, 2008) h.234
[4] A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandur Maju,1990)h.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar