Dalam
pelaksanaan asas prodduktif aktif tersebut, pada saat sekarang ini menjadi
dasar hampir diseluruh dunia yang melaksanakan atau menyelenggarakan landreform
dan rural development, maksudnya adalah tanah pertanian harus di usahakan atau
digarap oleh pemiliknya sendiri.
Agar
terlaksananya asas ini diadakan ketentuan-ketentuan tentang batas maksimum dan batas minimum
pemilikan atau penguasaan tanah agar tidak terjadi penumpukan atau penguasaan
tanah di satu golongan yang mampu karena pemilikan dan penguasaan yang
melampaui batas tidak diperkenenkan karena hal yang demikian dapat merugikan
kepentingan umum atau masyarakat luas.
Tentang
batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki seseorang supaya ia mendapat
penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya, hal
ini dimuat dalam pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960 yang isinya antaralain:
1.
Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif,dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2.
Pelaksanaan dalam ayat 1 ini diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan.
3.
Pengecualian dalam asas tersebut pada pasal 1 ayat
ini diatur dalam peraturan perundangan.[1]
B.
ASAS PERSAMAAN HAK
Tiap-tiap
warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dalam hal ini perlu diadakan perlindunagn bagi golongan
warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan
ekonominya.
Dalam
hal ini dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan oraang lain yang melampui batas dalam usaha agrarian. Hal ini juga
bertentangan asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan. Setiap usaha bersama
dalam alapangan agrarian harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka
kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan
usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta.
Bukan
saja usaha-usaha swasta akan tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat
monopoli harus di cegah supaya jangan
sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karenanya, usaha-usaha pemerintah yang
bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan oleh UU.
Asas
ini terdapat dalam pasal 9 ayat 2 UUPA. Sebagai berikut:
“Tiap-tiap warga
negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh suatu hak atas
tanah serta dapat mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi dirinya atau
keluarganya.[2]
C.
ASAS USAHA BERSAMA
Hak-hak
atas tanah yang individual dan bersifat pribadi terssebut dalam konsepsi hukum
tanah nasional mengandung unsur kebersamaan, unsur kebersamaan tersebut ada
pada hak setiap tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun
tidak secara langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama dan
tanah yang dimiliki secara individual adalah sebagian dari tanah bersama.
Hak-hak
atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa dengan kata lain ini juga di
sebut hak –hak primer, maksudnya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh Negara sebagai sebagai petugas
bangsa. Sedangkan hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa adalah
apa=apa yang disebut dengan hak sekunder maksudnya adalah hak-hak yang
diberikan oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, gadai, bagi hasil dan
sebagainya.
Sifat
pribadi hak-hak tanah yang sekaligus mengadung unsure kebersamaan dan
kemasyarakatan tersebut di atur dalam pasal 6 UUPA. Yaitu “ semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial.[3]
D.
ASAS KONVERSI
Sebelum
berlakunya UUPA berlaku juga dua perangakat hukum di Indonesia atau juga
disebut dengan dualime. Satu bersumber pada hukum adat disebut dengan hukum
tanah adat dan yang satu lagi bersumber pada hukum barat yang dinamakan dengan hukum
tanah barat. Dengan hukum agrarian yang bersifat nasional (UUPA) maka terhadap
tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan
padananya didalam UUPA. Untuk dapat masuk dalam system UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga
konversi.
Dalam menyatakan tentang maksud atau pengertian dari konversi
ini ada beberapa ahli yang mengemukakan. Menurut A.P. Parlindungan menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan konversi itu adalah pengaturan dari hak-hak tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA Untuk
masuk untuk masuk dalam system UUPA.[4]
Sedangkan menurut Boedi Harsono konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi
satu hak yang baru menurut UUPA.
Dari pengertian-pengertian atau rumusan yang
dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa konversi atas
hak-hak atas tanah adalah penggantian atau perubahan hak-hak atas tanah dari
status yang lama.
Yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24
september 1960 adalah bagian kedua dari UUPA” tentang ketentuan-ketentuan
konversi yang terdiri dari IX pasal.
Dengan
diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agrarian, maka hanya
ada satu system untuk seluruh wilayah tanah air. Oleh karena itu hak-hak atas
tanah yang ada sebelum UUPA harus
disesuaikan degan apa yang terdapat dalam lembaga koversi. Jadi dengan demikian
tujuan dikonversinya hak-hak atas tanah menurut system UUPA disamping untuk
terciptanya unifikasi hukum pertanahan ditanah air dengan mengakui hak-hak tas
tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat dalam UUPA
dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu
dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
DAFTAR
PUSTAKA
Harsono
Budi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2008.
Urip
Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2005
A.P.
Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung : Mandur Maju
,1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar