Minggu, 14 Februari 2016

POGING

PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN (POGING)
Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju kesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau bhendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai[1].
Poging atau percobaan melakukan kejahatan tidak terlepas dari tuntutan hukum, jadi bukan hanya delik atau kejahatan atau pelanggaran hukum yang telah terselesaikan/terwujudkan saja yang dapat dituntut.
Pasal 53 KUH Pidana menyatakan bahwa pecobaan pelaksanaan tindak pidana, delik atau  pelanggaran hukum diancam dengan hukuman, walaupun hukumannya tidak seberat hukuman bagi delik atau pelanggaran hukum yang telah diwujudkan.
Pasal 53 ayat (1) KUH Pidana :
Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat itu telah ternyata dari mula adanya pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan oleh karena kehendaknya sendiri;
Pasal 53 ayat (2) KUH Pidana :
Maksimun pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan akan dikurangi sepertiganya;
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, bagi percobaannya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun, adapun pidana tambahan bagi pidana percobaan dapat dikatakan tidak berbeda ddengan hukuman tambahan bagi kejahatan yang telah selesai.
Batasan mengenai percobaan melakukan kejahatan, yaitu setiap usaha berbuat kejahatan yang membawa akibat, akan tetapi akibatnya itu tidak dapat terjadi sebagaimana mestiny atau sebagaimana yang dimaksudkan oleh orang yang melakukannya, tetapi tidak selesainya pebuatan itu bukanlah karena dorongan hati orang yang berbuat kejahatan tersebut, melainkan karena terhalang oleh sebab-sebab lain yang berada disekitarnya.
Menurut teori subjekfitas mengenai pecobaan melakukan kejahatan perlu mendapat hukuman dikarenakan niat dan usaha untuk kejahatan itu telah ada, yang sekiranya tidak ada halangan tertentulah akan terjadi, karena itu setiap percobaan hendaknya memperoleh hukuman kalau:
a)  Orang yang berbuat melakukan percobaan itu telah terbukti ada niat kesengajaan, ada rencananya untuk berbuat atau melakukan kejahatan
b)  Nyata niatnya telah dimulai dengan suatu usaha
c)  Kejahatannya itu tidak selesai karena suatu sebab atau halangan, bukan karena menurut kemauan sipelakunya sebagai keinsyafan atau kesadaranyang timbul pada dirinya sehingga membatalkan niat selanjutnya[2].
Apabila sesorang berniat akan membuat kejahatan dan ia telah mulai melakukannya, akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati lalu ia meurungkan perbuatannya, sehingga perbuatannya itu tidak sampai selesai maka dia tidak dapat dihikum atas percobaan pada kejahatan itu, dikarenakan tidak selesainya perbuatan itu atas kemauannya sendiri.
d) Syarat berikutnya ialah bahwa kejahatan itu sudah dimulai[3]
Artinya, orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan pelaksanaan pada kejahatan itu, kalau belum dimulai atau orang baru melakukan perbuatan persiapan saja untuk mulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksana, apabila seseorang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana, jika belum, maka perbuatan itu dipandang sebagtai perbuatan persiapan[4]
Tentang percobaan untuk melakukan pelanggaran, seperti terdapat peraturan bahwa setiap orang yang menyeberang jalan diharuskan melalui jembatan penyebrangan, seseorang mencoba melanggarnya tetapi tidak berhasil, maka ia akan diperingati saja oleh yang berwajib. Menurut pasal 54 KUH Pidana “Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana”, akan tetapi melakukan percobaan demikian janganlah dilakukan secara terus-menerus, karena peringatan itu ada batasnya, kalau peringatan berkali-kali tidak dapat dihiraukan, itu berarti melakukan pembangkangan dan dapat dihukum.
Tidak selesainya suatu kejahatan itu, tentu ada faktor yang menyebabkan, yaitu :
a.       Alat yang  dipakai tidak sempurna sama sekali (absolute ondeugdelijk middle)
b.      Alat yang dipakai kurang sempurna (relatief ondeugdelijk middle)
c.       Objek yang dituju tidak sempurna sama sekali (absolute ondeugdelijk object)
d.      Objek yang dituju kurang sempurna (relatief ondeugdelijk object)




[1] R. Soesilo, Ktab Undang-Undang HUkum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1989, hal. : 69
[2] Rien G. Kartasapoetra S.H. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 73
[3] R. Soesilo, Lop. cit, hal. : 69
[4] R. Soesilo, Ibid, hal. : 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar