Minggu, 14 Februari 2016

Pengesahan Perkawinan, Yurisprudensi dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1776 K/PDT/2007 Tanggal 28 Juli 2008

Setiap ajaran agama pada dasarnya mengajurkan pemeluknya untuk melakukan perkawinan. Perkawinan atau yang lazim juga disebut dengan pernikahan, merupakan salah sat­u upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sebagai sarana yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas permukaan bumi[1]. Pelaksanaan pernikahan bukanlah hal yang sepele, mengingat berbagai kemungkinan dan akibat yang bisa ditimbulkannya. Hal ini tidak sebatas sebagai suatu upaya penyaluran naluri seksual, namun juga berkaitan dengan permasalahan keturunan dan hak serta kewajiban yang ditimbulkan nantinya.
Perkawinan merupakan suatu urusan yang berkaitan dengan individu dan keinginan pribadi seseorang. Namun dalam pelaksanaannya diperlukan suatu ketentuan baku dan bersifat mengikat guna menjamin dan melindungi hak-hak orang atau sekelompok orang yang yang mungkin bisa saja terintervensi dengan adanya pernikahan yang dilakukan oleh orang lainnya.
Untuk mencapai tujuan memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi hak dan kewajiban kepada masyarakat, maka adanya upaya kodifikasi hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan dirasa mempunyai peran yang sangat penting guna menjamin serta menjaga hak-hak dan kewajiban antar sesama anggota masyarakat. Wujud nyata dari kodifikasi peraturan perundang-undangan itu direalisasikan dengan adanya suatu bentuk peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar, maka akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi para pelanggarnya.
Salah satu produk hukum yang dilahirkan di Indonesia dalam menertibkan permasalahan perkawinan ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[2] yang disahkan oleh Presiden RI di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 sebagaimana yang tertulis dalam Lembaran Negara RI tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[3].
Pengundangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara langsung berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan serta menyatakan tidak berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan sebelum adanya undang-undang ini. Hal ini dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab XIV tentang Ketentuan Penutup sebagai berikut:
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas  Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordantie Chirsten Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku[4].

Diharapkan Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini dapat mengakomodir segala kepentingan dan masalah yang berkaitan dengan perkawinan bagi seluruh warga Negara Indonesia. Hal ini tidak saja menyangkut dengan kepentingan warga Negara yang beragama Islam saja, namun terhadap seluruh warga Negara Indonesia.
Namun dalam realita zaman sekarang ini, Undang-undang tidak dapat direalisasikan sepenuhnya dan sebagaimana harusnya. Undang-undang yang pada dasarnya dibuat untuk menjaga ketertiban, melindungi hak dan kewajiban warga negara apabila tidak dilaksanakan sepenuhnya akan menimbulkan berbagai permasalahan yang pada intinya akan menimbulkan ketidak-pastian hukum. Dalam konteks ini adalah masalah Perkawinan.
Pada bidang perkawinan, pemerintah telah membuat kodifikasi Undang-undang yang terkait, yaitu; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian diikuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[5].
Tidak terlaksananya peraturan perundang-undangan tentang perkawinan secara menyeluruh akan mengakibatkan hilangnya kepastian hukum. Ketidak-pastian hukum ini pada akhirnya akan membuat lembaga peradilan kehilangan wibawanya sebagai lembaga independen yang akan memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.
Pada dasarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pada Bab I tentang Dasar Perkawinan, mengenai pencatatan perkawinan secara rinci dituliskan :
Pasal 2
(1)   Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2)   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku[6].

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas merupakan satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Dalam penjelasannya, memang tidak ditemukan uraian yang lebih rinci, kecuali sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[7]. Hal ini sangat berbeda dengan penjelasan pada ayat (1) yang menyebutkan :
(i)     Tidak ada perkawinan di luar hukum agama, dan;
(ii)   Maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku[8].

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara rinci mengatur tentang Pencatatan Perkawinan pada Bab II tentang Pencatatan Perkawinan sebagai berikut ;
Pasal 2
(1)      Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
(2)      Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan;
(3)      Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebgaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah ini[9].

Lebih rincinya, dalam Penjelasan pasal 2 ayat (1) dan (2) dari peraturan pemerintah ini disebutkan:
Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hamya oleh dua instnasi, yaki Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi / pejabat yang membantunya[10].

Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), karena berlaku Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk yang berlaku bagi pulau Jawa dan Madura. Kemudian diundangkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk wilayah NKRI.
Bagi orang yang bukan beragama Islam, pemberitahuan dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat[11]. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun dalam Undang-undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat saja, namun pada dasarnya ia adalah masalah dominan dan tidak bisa disepelekan. Hal ini tergambar secara nyata apabila dikaitkan dengan tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungn erat dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sebagian pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menetukan sah atau tidaknya sebuah ikatan perkawinan[12]. Harus bahwa diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.
Bukti nyata dari permasalahan yang penulis gambarkan di atas terlihat dalam realita kawin sirri atau perkawinan tidak tercatat yang dilakukan oleh Yulianto alias Liong Tjoen Tjeng dengan Mimi alias Tjia Mie Joeng. Yulianto dan Mimi telah melangsungkan pernikahan secara adat Cina pada hari selasa tanggal 26 September 1996, yang kemudian dilanjutkan dengan upacara seremonial di New Hong Kong Restaurant Malang.
Setelah melangsungkan prosesi perkawinan secara adat Cina yang kemudian dilanjutkan sengan upacara seremonial resepsi perkawinan, pasangan suami istri ini kemudian hidup dan membina Rumah Tangga di sebuah rumah di Jl. Sulfat Agung XII/19 RT/RW 02/21 Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang. Pada awalnya, rumah ini dibeli oleh Yulianto jauh sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Rumah ini dibeli oleh Yulianto ini diperuntukkan sebagai mas kawin kepada istrinya Mimi.
Pada hari Jum’at tanggal 31 Desember 2004, Yulianto alias Liong Tjoen Tjeng meninggal dunia dan meninggalkan Mimi alias Tjia Mie Joeng sebagai istri dalam perkawinan secara adat dan agama. Perkawinan ini tidak dikaruniai seorang keturunan pun. Meninggalnya Yulianto secara langsung membuat Mimi berstatus janda dengan konsekuensi pembagian persatuan harta bergerak ataupun benda tidak bergerak yang ada. Pasca meninggalnya Yulianto, ternyata timbul masalah pembagian harta peninggalan antara Mimi selaku janda dari Yulianto dengan pihak keluarga Yulianto sendiri. Hal ini terjadi mengingat banyaknya harta yang ditinggalkan Yulianto.
Guna mempertahankan haknya, Mimi alias Tjia Mie Joeng membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Malang. Mimi alias Tjia Mie Joeng melalui Kuasa Hukum yang bernama Herry Widjianto, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus mengajukan gugatannya kepada pihak keluarga Yulianto yang dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukum yang bernama Musoli, S.H., pada tanggal 27 Januari 2006 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang pada tanggal 27 Februari 2006 di bawah Register Perkara Nomor : 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg.
Selama menjalani prosesi persidangan, baik pihak Mimi alias Mimi alias Tjia Mie Joeng melalui Kuasa Hukumnya selaku Penggugat dengan pihak Keluarga Yulianto alias Liong Tjoen Tjen yang juga melalui Kuasa Hukumnya, telah mengajukan berbagai alat bukti guna menguatkan dalil masing-masing. Setelah Majelis Hakim[13] melakukan rapat musyawarah majelis hakim pada tanggal 1 Agustus 2006, kemudian Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 8 Agustus 2006, dengan amar putusan yang menyatakan bahwa Penggugat (Mimi alias Tjia Mie Joeng) adalah Janda dari Yulianto alias Liong Tjoen Tjen dan berhak atas harta yang ditinggalkan oleh Yulianto alias Liong Tjoen Tjen[14].
Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Negeri Malang, pihak keluarga Yulianto melalui Kuasa Hukumnya kemudian mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Malang melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang pada tanggal 16 Agustus 2006. Permohonan banding ini kemudian diberitahukan kepada Kuasa Hukum Mimi alias Tjia Mie Joeng pada tanggal 6 September 2006.
Setelah menerima Memori Banding dan Kontra Memori Banding dari kedua belah pihak, kemudian Majelis Hakim melakukan Rapat Musyawarah Majelis Hakim[15] pada hari Kamis tanggal 15 Maret 2007 dan membacakan putusan tersebut pada sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga. Amar putusan Nomor 546/PDT/2006/PT.SBY menerangkan bahwa pihak keluarga Yulianto berhak atas harta peninggalan Yulianto. Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, perkawinan yang dilakukan antara Mimi dengan Yulianto dianggap tidak pernah terjadi karena pernikahan mereka tidak tercatat dalam Catatan Sipil.
Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya,  [16].
Putusan ini kemudian dijadikan sebagai salah satu Yurisprudensi tidak tetap Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1776 K/PDT/2007, dalam amarnya dinyatakan bahwa;
Pernikahan Tjia Mie Joeng dengan Lion Tjoeng Tjen yang dilakukan secara adat, dan tidak dicatatkan pada catatan sipil dipandang tetap sah dan Penggugat harus dinyatakan sebagai janda Liong Tjoeng Tjen[17].

Permasalahan utama yang penulis sorot dalam kasus ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Malang, Pengadilan Tinggi Surabaya hingga Putusan Mahkamah Agung RI yang berbeda-berbeda dan terlihat berlawanan dalam memutus perkara perkawinan yang dilakukan oleh Tjia Mie Joeng dengan Lion Tjoeng Tjen yang dilakukan secara adat, dan tidak dicatatkan pada catatan sipil. Perkawinan yang dilaksanakan tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Putusan Pengadilan Negeri Malang yang mengesahkan perkawinan yang tidak dicatatkan pada Catatan Sipil yang kemudian dibatlkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang pada akhirnya dibatalkan lagi dengan Putusan Mahkamah Agung RI. Padahal berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan perkawinan adalah bersifat imperatif / keharusan dengan akibat apabila tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat mengikat.




[1] Abdul Aziz Dahlan (ed), Eksiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid 4, cet-1, h.1329
[2] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku sekarang ini merupakan hasil draft yang diajukan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu-satunya wakil Islam di Parlemen yang walk out dari sidang ketika DPR hendak mengesahkan RUU Perkawinan sekuler versi Ali Moertopo yang didukung partai Golkar dan PDI pada waktu itu.
[3] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari XIV Bab dan 67 pasal, dengan perincian sebagai berikut: Bab I Dasar Perkawinan, Bab II Syarat-syarat Perkawinan, Bab III Pencegahan Perkawinan, Bab IV Batalnya Perkawinan, Bab V Perjanjian Perkawinan, Bab VI Hak dan Kewajiban Suami Istri, Bab VII Harta Benda dalam Perkawinan, Bab VIII Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, Bab IX Kedudukan Anak, Bab X Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak, Bab XI Perwalian, Bab XII Ketentuan-ketentuan Lain, Bab XIII Ketentuan Peralihan dan Bab XIV Ketentuan Penutup.
[4] Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[5] Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12
[6] Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[7] Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari X bab dan 49 pasal, dengan perincian sebagai berikut: Bab I Ketentuan Umum, Bab II Pencatatan Perkawinan, Bab III Tata Cara Perkawinan, Bab IV Akta Perkawinan, Bab V Tata Cara Perceraian, Bab VI Pembatalan Perkawinan, Bab VII Waktu Tunggu, Bab VIII Beristri Lebih dari satu orang, Bab IX Ketentuan Pidana dan Bab X Ketnetuan Penutup. PP ini disetujui oleh Presiden dan disahkan bersama DPR RI di Jakarta pada tanggal 1April 1975
[8] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[9] Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[10] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dam (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[11] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Krtitis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), Edisi Kedua, h.125
[12] Ibid, h.123
[13] Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus perkara ini adalah Ny. Rr. Budiarti Setyowati, S.H., selaku Ketua Majelis dengan didampingi oleh P.H. Hutabarat, S.H., M.Hum., dan Drs. Ardi Dachrowi, S.A., S.H., M.H., selaku Hakim Anggota, berdasarkan Penetapan Majelis Hakim dari Ketua Pengadilan Negeri Malang Nomor 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg.
[14] Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg. tanggal 8 Aguistus 2006
[15] Majelis Hakim yang memutus perkara ini adalah Azwar Dalim, S.H., M.H., selaku Hakim Ketua, H. Parmo, S.H., dan Hj. Rofiatul Badriani, S.H., selaku Hakim Anggota berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 23/Pdt/2006/PT.Sby.
[17] Bunyi Putusan ini dikutip dari halaman belakangan Majalah Hukum “Varia Peradilan” Tahun XXIV Nomor 286 September 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar