Setiap ajaran agama pada dasarnya mengajurkan
pemeluknya untuk melakukan perkawinan. Perkawinan atau yang lazim juga disebut dengan
pernikahan, merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami
istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sebagai sarana yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia di atas permukaan bumi[1].
Pelaksanaan pernikahan bukanlah hal yang sepele, mengingat berbagai kemungkinan
dan akibat yang bisa ditimbulkannya. Hal ini tidak sebatas sebagai suatu upaya
penyaluran naluri seksual, namun juga berkaitan dengan permasalahan keturunan
dan hak serta kewajiban yang ditimbulkan nantinya.
Perkawinan merupakan suatu urusan yang berkaitan dengan
individu dan keinginan pribadi seseorang. Namun dalam pelaksanaannya diperlukan
suatu ketentuan baku dan bersifat mengikat guna menjamin dan melindungi hak-hak
orang atau sekelompok orang yang yang mungkin bisa saja terintervensi dengan
adanya pernikahan yang dilakukan oleh orang lainnya.
Untuk
mencapai tujuan memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi hak
dan kewajiban kepada masyarakat, maka adanya upaya kodifikasi hukum dalam
bentuk peraturan perundang-undangan dirasa mempunyai peran yang sangat penting
guna menjamin serta menjaga hak-hak dan kewajiban antar sesama anggota
masyarakat. Wujud nyata dari kodifikasi peraturan perundang-undangan itu
direalisasikan dengan adanya suatu bentuk peraturan yang bersifat mengikat dan
memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar, maka akan menimbulkan sanksi
yang tegas dan nyata bagi para pelanggarnya.
Salah satu produk hukum yang dilahirkan di Indonesia dalam
menertibkan permasalahan perkawinan ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan[2] yang disahkan oleh
Presiden RI di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 sebagaimana yang tertulis
dalam Lembaran Negara RI tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3019. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[3].
Pengundangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan secara langsung berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia tanpa
membeda-bedakan agama dan kepercayaan serta menyatakan tidak berlakunya
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan sebelum adanya
undang-undang ini. Hal ini dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada Bab XIV tentang Ketentuan Penutup sebagai berikut:
Pasal 66
Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijk Ordantie Chirsten Indonesiers S. 1933 No.
74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken
S. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku[4].
Diharapkan Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini dapat mengakomodir segala kepentingan dan
masalah yang berkaitan dengan perkawinan bagi seluruh warga Negara Indonesia.
Hal ini tidak saja menyangkut dengan kepentingan warga Negara yang beragama
Islam saja, namun terhadap seluruh warga Negara Indonesia.
Namun dalam realita zaman sekarang ini, Undang-undang
tidak dapat direalisasikan sepenuhnya dan sebagaimana harusnya. Undang-undang
yang pada dasarnya dibuat untuk menjaga ketertiban, melindungi hak dan
kewajiban warga negara apabila tidak dilaksanakan sepenuhnya akan menimbulkan
berbagai permasalahan yang pada intinya akan menimbulkan ketidak-pastian hukum.
Dalam konteks ini adalah masalah Perkawinan.
Pada bidang perkawinan, pemerintah telah membuat
kodifikasi Undang-undang yang terkait, yaitu; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang kemudian diikuti dengan adanya Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan[5].
Tidak terlaksananya peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan secara menyeluruh akan mengakibatkan hilangnya kepastian
hukum. Ketidak-pastian hukum ini pada akhirnya akan membuat lembaga peradilan
kehilangan wibawanya sebagai lembaga independen yang akan memberikan keadilan
kepada para pencari keadilan.
Pada dasarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pada Bab
I tentang Dasar Perkawinan, mengenai pencatatan perkawinan secara rinci
dituliskan :
Pasal 2
(1)
Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku[6].
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di atas merupakan satu-satunya ketentuan yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan. Dalam penjelasannya, memang tidak ditemukan
uraian yang lebih rinci, kecuali sebagaimana yang termuat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan[7]. Hal ini
sangat berbeda dengan penjelasan pada ayat (1) yang menyebutkan :
(i) Tidak ada perkawinan di luar hukum agama, dan;
(ii) Maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku[8].
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai aturan
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara
rinci mengatur tentang Pencatatan Perkawinan pada Bab II tentang Pencatatan
Perkawinan sebagai berikut ;
Pasal 2
(1)
Pencatatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
(2)
Pencatatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan;
(3)
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebgaimana
ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah ini[9].
Lebih rincinya, dalam Penjelasan pasal 2 ayat (1) dan
(2) dari peraturan pemerintah ini disebutkan:
Dengan adanya
ketentuan tersebut dalam pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hamya
oleh dua instnasi, yaki Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor
Catatan Sipil atau instansi / pejabat yang membantunya[10].
Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan
disampaikan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), karena berlaku Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk yang berlaku bagi
pulau Jawa dan Madura. Kemudian diundangkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk wilayah NKRI.
Bagi orang yang bukan beragama Islam, pemberitahuan
dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat[11]. Dengan
demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun dalam Undang-undang Perkawinan
hanya diatur oleh satu ayat saja, namun pada dasarnya ia adalah masalah dominan
dan tidak bisa disepelekan. Hal ini tergambar secara nyata apabila dikaitkan dengan
tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungn erat dengan
pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sebagian pakar hukum yang
menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menetukan sah atau
tidaknya sebuah ikatan perkawinan[12]. Harus bahwa
diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang
jelas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan berbagai interpretasi,
yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.
Bukti nyata dari permasalahan yang penulis gambarkan
di atas terlihat dalam realita kawin sirri atau perkawinan tidak
tercatat yang dilakukan oleh Yulianto alias Liong Tjoen Tjeng dengan Mimi alias
Tjia Mie Joeng. Yulianto dan Mimi telah melangsungkan pernikahan secara adat
Cina pada hari selasa tanggal 26 September 1996, yang kemudian dilanjutkan dengan
upacara seremonial di New Hong Kong Restaurant Malang.
Setelah melangsungkan prosesi perkawinan secara adat
Cina yang kemudian dilanjutkan sengan upacara seremonial resepsi perkawinan,
pasangan suami istri ini kemudian hidup dan membina Rumah Tangga di sebuah
rumah di Jl. Sulfat Agung XII/19 RT/RW 02/21 Kelurahan Purwantoro Kecamatan
Blimbing Kota Malang. Pada awalnya, rumah ini dibeli oleh Yulianto jauh sebelum
mereka melangsungkan perkawinan. Rumah ini dibeli oleh Yulianto ini
diperuntukkan sebagai mas kawin kepada istrinya Mimi.
Pada hari Jum’at tanggal 31 Desember 2004, Yulianto
alias Liong Tjoen Tjeng meninggal dunia dan meninggalkan Mimi alias Tjia Mie
Joeng sebagai istri dalam perkawinan secara adat dan agama. Perkawinan ini
tidak dikaruniai seorang keturunan pun. Meninggalnya Yulianto secara langsung
membuat Mimi berstatus janda dengan konsekuensi pembagian persatuan harta
bergerak ataupun benda tidak bergerak yang ada. Pasca meninggalnya Yulianto,
ternyata timbul masalah pembagian harta peninggalan antara Mimi selaku janda
dari Yulianto dengan pihak keluarga Yulianto sendiri. Hal ini terjadi mengingat
banyaknya harta yang ditinggalkan Yulianto.
Guna mempertahankan haknya, Mimi alias Tjia Mie Joeng
membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Malang. Mimi alias Tjia Mie Joeng
melalui Kuasa Hukum yang bernama Herry Widjianto, S.H., berdasarkan Surat Kuasa
Khusus mengajukan gugatannya kepada pihak keluarga Yulianto yang dalam hal ini
diwakili oleh Kuasa Hukum yang bernama Musoli, S.H., pada tanggal 27 Januari
2006 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang pada tanggal 27
Februari 2006 di bawah Register Perkara Nomor : 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg.
Selama menjalani prosesi persidangan, baik pihak Mimi
alias Mimi alias Tjia Mie Joeng melalui Kuasa Hukumnya selaku Penggugat dengan
pihak Keluarga Yulianto alias Liong Tjoen Tjen yang juga melalui Kuasa
Hukumnya, telah mengajukan berbagai alat bukti guna menguatkan dalil
masing-masing. Setelah Majelis Hakim[13]
melakukan rapat musyawarah majelis hakim pada tanggal 1 Agustus 2006, kemudian
Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 8 Agustus
2006, dengan amar putusan yang menyatakan bahwa Penggugat (Mimi alias Tjia Mie
Joeng) adalah Janda dari Yulianto alias Liong Tjoen Tjen dan berhak atas harta
yang ditinggalkan oleh Yulianto alias Liong Tjoen Tjen[14].
Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Negeri Malang,
pihak keluarga Yulianto melalui Kuasa Hukumnya kemudian mengajukan banding
kepada Pengadilan Tinggi Malang melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang
pada tanggal 16 Agustus 2006. Permohonan banding ini kemudian diberitahukan
kepada Kuasa Hukum Mimi alias Tjia Mie Joeng pada tanggal 6 September 2006.
Setelah menerima Memori Banding dan Kontra Memori
Banding dari kedua belah pihak, kemudian Majelis Hakim melakukan Rapat
Musyawarah Majelis Hakim[15] pada
hari Kamis tanggal 15 Maret 2007 dan membacakan putusan tersebut pada sidang
terbuka untuk umum pada hari itu juga. Amar putusan Nomor 546/PDT/2006/PT.SBY
menerangkan bahwa pihak keluarga Yulianto berhak atas harta peninggalan
Yulianto. Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya, perkawinan yang dilakukan antara Mimi dengan
Yulianto dianggap tidak pernah terjadi karena pernikahan mereka tidak tercatat
dalam Catatan Sipil.
Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, [16].
Putusan ini kemudian dijadikan sebagai salah satu
Yurisprudensi tidak tetap Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1776 K/PDT/2007, dalam amarnya dinyatakan bahwa;
Pernikahan
Tjia Mie Joeng dengan Lion Tjoeng Tjen yang dilakukan secara adat, dan tidak
dicatatkan pada catatan sipil dipandang tetap sah dan Penggugat harus
dinyatakan sebagai janda Liong Tjoeng Tjen[17].
Permasalahan utama yang penulis sorot dalam kasus ini
adalah Putusan Pengadilan Negeri Malang, Pengadilan Tinggi Surabaya hingga
Putusan Mahkamah Agung RI yang berbeda-berbeda dan terlihat berlawanan dalam
memutus perkara perkawinan yang dilakukan oleh Tjia Mie Joeng dengan Lion
Tjoeng Tjen yang dilakukan secara adat, dan tidak dicatatkan pada catatan
sipil. Perkawinan yang dilaksanakan tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil.
Putusan Pengadilan Negeri Malang yang mengesahkan perkawinan yang tidak
dicatatkan pada Catatan Sipil yang kemudian dibatlkan dengan putusan Pengadilan
Tinggi Surabaya yang pada akhirnya dibatalkan lagi dengan Putusan Mahkamah
Agung RI. Padahal berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pencatatan perkawinan adalah bersifat imperatif / keharusan
dengan akibat apabila tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum tetap yang bersifat mengikat.
[1] Abdul Aziz Dahlan (ed), Eksiklopedia Hukum Islam,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid 4, cet-1, h.1329
[2] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berlaku sekarang ini merupakan hasil draft yang diajukan oleh Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), satu-satunya wakil Islam di Parlemen yang walk
out dari sidang ketika DPR hendak mengesahkan RUU Perkawinan sekuler versi
Ali Moertopo yang didukung partai Golkar dan PDI pada waktu itu.
[3] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terdiri dari XIV Bab dan 67 pasal, dengan perincian sebagai berikut: Bab I
Dasar Perkawinan, Bab II Syarat-syarat Perkawinan, Bab III Pencegahan
Perkawinan, Bab IV Batalnya Perkawinan, Bab V Perjanjian Perkawinan, Bab VI Hak
dan Kewajiban Suami Istri, Bab VII Harta Benda dalam Perkawinan, Bab VIII
Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, Bab IX Kedudukan Anak, Bab X Hak dan Kewajiban
antara Orang Tua dan Anak, Bab XI Perwalian, Bab XII Ketentuan-ketentuan Lain,
Bab XIII Ketentuan Peralihan dan Bab XIV Ketentuan Penutup.
[4] Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[5] Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang diundangkan pada di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 dan
dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12
[6] Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
[7] Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari X
bab dan 49 pasal, dengan perincian sebagai berikut: Bab I Ketentuan Umum, Bab
II Pencatatan Perkawinan, Bab III Tata Cara Perkawinan, Bab IV Akta Perkawinan,
Bab V Tata Cara Perceraian, Bab VI Pembatalan Perkawinan, Bab VII Waktu Tunggu,
Bab VIII Beristri Lebih dari satu orang, Bab IX Ketentuan Pidana dan Bab X
Ketnetuan Penutup. PP ini disetujui oleh Presiden dan disahkan bersama DPR RI
di Jakarta pada tanggal 1April 1975
[8] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[9] Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[10] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dam (2) Peraturan
Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[11] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia: Studi Krtitis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), Edisi Kedua,
h.125
[12] Ibid, h.123
[13] Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan
memutus perkara ini adalah Ny. Rr. Budiarti Setyowati, S.H., selaku Ketua
Majelis dengan didampingi oleh P.H. Hutabarat, S.H., M.Hum., dan Drs. Ardi
Dachrowi, S.A., S.H., M.H., selaku Hakim Anggota, berdasarkan Penetapan Majelis
Hakim dari Ketua Pengadilan Negeri Malang Nomor 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg.
[14] Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor
24/Pdt.G/2006/PN.Mlg. tanggal 8 Aguistus 2006
[15] Majelis Hakim yang memutus perkara ini adalah Azwar
Dalim, S.H., M.H., selaku Hakim Ketua, H. Parmo, S.H., dan Hj. Rofiatul
Badriani, S.H., selaku Hakim Anggota berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan
Tinggi Surabaya Nomor 23/Pdt/2006/PT.Sby.
[17] Bunyi Putusan ini dikutip dari halaman belakangan
Majalah Hukum “Varia Peradilan” Tahun XXIV Nomor 286 September 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar