Senin, 15 Februari 2016

PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

A.    Pengertian Non Muslim
Mengenai pendapat para ulama tentang pengertian non muslim, ada berbagai pendapat yang dikemukakan. Sayid bin Jubeir mengatakan bahwa makna musyrikat adalah wanita musyrikat penyembah berhala. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibrahim ketika ditanya oleh Hammad, beliau menjelaskan bahwa musyrikat adalah orang–orang majusi dan penyembah berhala. Ada juga yang mendefenisikan musyrikat merupakan semua pemeluka agama yang tidak memiliki kitab suci[1].
Dari pendapat para ulama tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa musyrikat itu adalah para wanita pemeluk agama selain agama Islam dan tidak memilki kitab suci, seperti Majusi, penyembah berhala dan sebagainya. Sedangkan ahli kitab (kitabiyah) yang diantaranya Yahudi dan Nasrani karena mereka adalah pemeluk agama Samawi dan memiliki kitab suci sehingga ulama tidak memasukkan kepada golongan musyrikat dan memiliki status hukum yang beberbeda pula.

B.     Pendapat Para Ulama
Jumhur ulama termasuk mazhab yang empat sepakat, bahwa menikahi musyrik, ateis dan murtad adalah haram hukumnya. Ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah : 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  
Artinya  :  “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Namun, ulama berbeda pendapat tentang hukum menikahi kitabiyyah. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan menikahi kitabiyyah, tentu mereka mempunyai alasan masing-masing kenapa dibolehkan dan kenapa tidak dibolehkan menikahi kitabiyyah.

1.      Ulama yang membolehkan menikah dengan kitabiyyah
Di dalam Al-Quran, ayat-ayat yang berbicara tentang musyrik selalu dipisahkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang kitabiyyah, sehingga dalam penetapan hukumnya juga berbeda.
Imam Syafi’i[2] berpendapat begitu juga dengan jumhur ulama, bahwa keharaman menikahi wanita musyrikah yang berada dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah bersifat umum, kemudian ditakhshishkan dengan surat al-Maidah ayat 5 yang intinya adalah mengecualikan wanita kitabiyyah dari wanita musyrikah, surat al-Maidah ayat 5 tersebut berisikan tentang dibolehkannya memakan hewan yang mereka sembelih, maka mereka membolehkan menikahi wanita kitabiyyah.
Sekalipun boleh menikahi kitabiyyah, namun para ulama berbeda dalam menetapkan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat untuk menikahi kitabiyyah.
a.       Golongan Hanafiyyah
Menurut mereka, menikahi wanita kitabiyyah itu diperbolehkan dan hukumnya makruh apabila dilakukan kepada kitabiyyah dzimmy dan dimungkinkan bisa ditegakkan hukum Islam. Apabila dilakukan kepada yang harbi dan apalagi di negara non Islam, maka mereka berpendapat hukumnya menjadi haram, karena hal ini akan menimbulkan terjadinya fitnah, oleh karena nanti anak yang dilahirkan akan cendrung untuk enggan memeluk agama Islam, karena tinggal di lingkungan non Islam.
b.      Golongan Malikiyyah
Mereka ada dua pendapat. Pertama, menikahi wanita kitabiyyah itu hukumnya makruh secara mutlak, baik yang dzimmy maupun harbi. Namun apabila berada dalam lingkungan non Islam, maka lebih makruh lagi. Kedua, tidak makruh manikahi wanita kitabiyyah, karena didasari zhahir firman Allah yang membolehkannya secara umum tanpa persyaratan apapun.
c.       Golongan Syafi’iyyah
Bagi mereka dimakruhkan menukahi wanita kitabiyyah di Negara Islam, apalagi di Negara non Islam. Sebagaimana dua pendapat di atas, bagi Syafi’iyah pernikahan macam ini dibenarkan walaupun makruh, jika memenuhi syarat sebagai berikut :
1)      Si wanita kitabiyyah itu bisa diharapkan (besar kemungkinan) untuk masuk Islam
2)      Si lelaki muslim tersebut tidak mendapatkan wanita muslimah yang pantas atau layak untuk dia
3)      Dikhawatirkan akan terjadi zina apabila perkawinan tidak dilangsungkan.

d.      Golongan Hanabilah
Mereka berpendapat halal menikahi wanita kitabiyah tanpa ada kemakruhan di dalamnya, karena dzahir ayat membolehkan tentang pernikahan itu[3].

2.      Ulama yang tidak membolehkan menikah dengan kitabiyyah
Syi’ah Imamiyyah dan sebagian Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pernikahan muslim dengan non muslimah itu hukumnya haram secara mutlak, terlepas dari apakah wanita itu dari golongan Ateis, Majusi, Murtaddah, Nasrani ataupun Yahudi. Bagi mereka semua golongan yang disebutkan di atas merupakan suatu golongan yang besar yang sama yaitu golongan kafir dan golongan musyrik[4].
Berbeda dari imam yang membolehkan menikahi kitabiyah, bahwa surat al-Baqarah ayat 221 ditakhshishkan oleh surat al-Maidah ayat 5. Namun Syi’ah Imamiyah dan sebahagian Syi’ah Zaidiyah mengatakan, bahwa surat al-Maidah ayat 5 dinasakh oleh surat al-Baqarah ayat 221. Sehingga kebolehan yang telah ada itu menjadi keharaman yang mutlak[5].
Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as Sayuti menyebutkan dalam karangannya ad-Dur al-Mantsur bahwa Hasan ditanya mengenai seorang laki-laki yang menikahi ahli kitab dan sebaliknya. Sungguh Allah telah banyak menciptakan wanita muslimah. Hasan menambahkan, namun jika pernikahan memang harus dilkukan juga maka kerjakanlah dan buatlah perjanjian dengannya dan juga pilihlah perempuan yang baik-baik jangan perempuan yang lacur[6].
Di dalam ad-Dur al-Mantsur juga disebutkan bahwa Abdullah bin Abbas ra pernah berkata: Rasulullah telah melarang untuk menikahi semua golongan wanita, kecuali mukminat dan muhajirat.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa menikahi wanita kitabiyah pada dasarnya dilarang. Namun ada yang dibolehkan denga syarat-syarat tertentu dikarenakan adanya keadaan darurat.
Di sini imam Syafi’I juga berpendapat, tapi pendapat beliau lebih mengarah kepada kitabiyyah yang harbi. Beliau berkata : kami menghendaki agar seseorang tidak mengawini seorang yang harbi (yang tengah memerangi Islam), hal ini dikhawatirkan akan lahir keturunan yang akan menjadi budak, bahkan kami menghendaki pula agar tidak mengawini wanita muslimah yang bertempat tinggal di daerah kitabiyah harbi itu[7], sampai wanita itu pindah ke daerah Islam. Kalau dalam keadaan terpaksa bolehlah mengawini wanita muslimah ini tapi makruh[8].

C.    Pendapat Ulama Yang Terkuat Dalilnya
Ada pernyataan yang mengatakan, bahwa kitabiyyah sekarang adalah bukan termasuk keturunan Bani Israil, jadi tidaklah dianggap seorang wanita keturunan Arab, Eropa, Afrika atau Asia dan yang tidak dilahirkan dari keturuan Bani Israil asli yang hidup sebelum datangnya Islam. Karena setelah datangnya Islam tidak diperbolehkan lagi mengikuti Nasrani atau Yahudi[9].
Dengan alasan diatas, maka imam Syafi’I menegaskan, bahwa nikah dengan wanita kitabiyyah sekarang ini haram hukumnya, karena dia bukanlah keturunan asli Yahudi[10].


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perbadaan pendapat ulama mengenai pernikahan dengan non muslim yang tergolong kepada kitabiyah. Mengenai golongan selain kitabiyyah, ulama sepakat haram menikahinya. Para ulama tersebut berpendapat dengan argumen mereka masing-masing menyebabkan ada dua golongan ulama. Pertama, golongan ulama yang membolehkan dengan hukum makruh. Kebanyakan ulama ini lebih cendrung membolehkan menikah dengan kitabiyyah yang dzimmi tidak dengan yang harbi. Kedua, golongan ulama yang tidak membolehkan dengan hukum haram secara mutlak.
Pernikahan muslim dengan non muslim dapat dibedakan menjadi tiga bagian;
1.      Pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, hukumnya haram berdasarkan surat al-Baqarah : 221
2.      Pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim, hukumnya haram berdasarkan surat al-Baqarah : 221
3.      Pernikahan pira muslim dengan wanita kitabiyyah, boleh berdasarkan surat al-Maidah : 5

B.     Saran
Seperti pendapat imam Syafi’i, bahwa kitabiyah yang sekarang ini tidaklah keturunan Yahudi asli dan karena setelah datangnya Islam tidak diperbolehkan lagi mengikuti Nasrani atau Yahudi. Maka dengan alas an tersebut  janganlah dilakukan pernikahan dengan non muslim, karena akan berakibat fatal. Pernikahan tidak akan abadi, karena ada dua aliran di dalam satu rumah tangga, yang mana hal ini tidak akan mungkin bertahan lama.




[1] http;//aahien.wordpress.com/wp-admin/”\1”_ftn1
[2] Imam al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi Jilid 3, Pustaka ‘Azzam, Jakarta, 2008, hal. 145
[3] Op. Cit
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Al Umm, juz 4, hal. 181
[8] Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal 106
[9] Ibid
[10] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar