Mengenai pendapat para ulama tentang pengertian
non muslim, ada berbagai pendapat yang dikemukakan. Sayid bin Jubeir mengatakan
bahwa makna musyrikat adalah wanita musyrikat penyembah berhala. Hal
senada juga diungkapkan oleh Ibrahim ketika ditanya oleh Hammad, beliau
menjelaskan bahwa musyrikat adalah orang–orang majusi dan penyembah
berhala. Ada juga yang mendefenisikan musyrikat merupakan semua pemeluka
agama yang tidak memiliki kitab suci[1].
Dari pendapat para ulama tersebut dapat diambil
kesimpulan, bahwa musyrikat itu adalah para wanita pemeluk agama selain
agama Islam dan tidak memilki kitab suci, seperti Majusi, penyembah berhala dan
sebagainya. Sedangkan ahli kitab (kitabiyah) yang diantaranya Yahudi dan
Nasrani karena mereka adalah pemeluk agama Samawi dan memiliki kitab suci
sehingga ulama tidak memasukkan kepada golongan musyrikat dan memiliki
status hukum yang beberbeda pula.
B. Pendapat
Para Ulama
Jumhur ulama termasuk mazhab yang empat sepakat,
bahwa menikahi musyrik, ateis dan murtad adalah haram hukumnya. Ini berdasarkan
firman Allah dalam surat al-Baqarah : 221
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Namun, ulama berbeda pendapat tentang hukum
menikahi kitabiyyah. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan
menikahi kitabiyyah, tentu mereka mempunyai alasan masing-masing kenapa
dibolehkan dan kenapa tidak dibolehkan menikahi kitabiyyah.
1. Ulama
yang membolehkan menikah dengan kitabiyyah
Di dalam Al-Quran, ayat-ayat yang berbicara
tentang musyrik selalu dipisahkan dengan ayat-ayat yang berbicara
tentang kitabiyyah, sehingga dalam penetapan hukumnya juga berbeda.
Imam Syafi’i[2] berpendapat begitu juga
dengan jumhur ulama, bahwa keharaman menikahi wanita musyrikah yang
berada dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah bersifat umum, kemudian ditakhshishkan
dengan surat al-Maidah ayat 5 yang intinya adalah mengecualikan wanita kitabiyyah
dari wanita musyrikah, surat al-Maidah ayat 5 tersebut berisikan tentang
dibolehkannya memakan hewan yang mereka sembelih, maka mereka membolehkan
menikahi wanita kitabiyyah.
Sekalipun boleh menikahi kitabiyyah,
namun para ulama berbeda dalam menetapkan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat
untuk menikahi kitabiyyah.
a. Golongan
Hanafiyyah
Menurut
mereka, menikahi wanita kitabiyyah itu diperbolehkan dan hukumnya makruh
apabila dilakukan kepada kitabiyyah dzimmy dan dimungkinkan bisa ditegakkan
hukum Islam. Apabila dilakukan kepada yang harbi dan apalagi di negara non
Islam, maka mereka berpendapat hukumnya menjadi haram, karena hal ini akan
menimbulkan terjadinya fitnah, oleh karena nanti anak yang dilahirkan akan
cendrung untuk enggan memeluk agama Islam, karena tinggal di lingkungan non
Islam.
b. Golongan
Malikiyyah
Mereka
ada dua pendapat. Pertama, menikahi wanita kitabiyyah itu hukumnya
makruh secara mutlak, baik yang dzimmy maupun harbi. Namun
apabila berada dalam lingkungan non Islam, maka lebih makruh lagi. Kedua,
tidak makruh manikahi wanita kitabiyyah, karena didasari zhahir
firman Allah yang membolehkannya secara umum tanpa persyaratan apapun.
c. Golongan
Syafi’iyyah
Bagi
mereka dimakruhkan menukahi wanita kitabiyyah di Negara Islam, apalagi
di Negara non Islam. Sebagaimana dua pendapat di atas, bagi Syafi’iyah
pernikahan macam ini dibenarkan walaupun makruh, jika memenuhi syarat sebagai
berikut :
1) Si
wanita kitabiyyah itu bisa diharapkan (besar kemungkinan) untuk masuk
Islam
2) Si
lelaki muslim tersebut tidak mendapatkan wanita muslimah yang pantas atau layak
untuk dia
3) Dikhawatirkan
akan terjadi zina apabila perkawinan tidak dilangsungkan.
d. Golongan
Hanabilah
Mereka
berpendapat halal menikahi wanita kitabiyah tanpa ada kemakruhan di
dalamnya, karena dzahir ayat membolehkan tentang pernikahan itu[3].
2. Ulama
yang tidak membolehkan menikah dengan kitabiyyah
Syi’ah Imamiyyah dan sebagian Syi’ah Zaidiyah
berpendapat, bahwa pernikahan muslim dengan non muslimah itu hukumnya haram
secara mutlak, terlepas dari apakah wanita itu dari golongan Ateis, Majusi,
Murtaddah, Nasrani ataupun Yahudi. Bagi mereka semua golongan yang disebutkan
di atas merupakan suatu golongan yang besar yang sama yaitu golongan kafir dan
golongan musyrik[4].
Berbeda dari imam yang membolehkan menikahi
kitabiyah, bahwa surat al-Baqarah ayat 221 ditakhshishkan oleh surat al-Maidah
ayat 5. Namun Syi’ah Imamiyah dan sebahagian Syi’ah Zaidiyah mengatakan, bahwa
surat al-Maidah ayat 5 dinasakh oleh surat al-Baqarah ayat 221. Sehingga
kebolehan yang telah ada itu menjadi keharaman yang mutlak[5].
Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Imam
Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as Sayuti menyebutkan dalam karangannya ad-Dur
al-Mantsur bahwa Hasan ditanya mengenai seorang laki-laki yang menikahi
ahli kitab dan sebaliknya. Sungguh Allah telah banyak menciptakan wanita
muslimah. Hasan menambahkan, namun jika pernikahan memang harus dilkukan juga
maka kerjakanlah dan buatlah perjanjian dengannya dan juga pilihlah perempuan
yang baik-baik jangan perempuan yang lacur[6].
Di dalam ad-Dur al-Mantsur juga disebutkan
bahwa Abdullah bin Abbas ra pernah berkata: Rasulullah telah melarang untuk
menikahi semua golongan wanita, kecuali mukminat dan muhajirat.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diambil
kesimpulan, bahwa menikahi wanita kitabiyah pada dasarnya dilarang. Namun ada
yang dibolehkan denga syarat-syarat tertentu dikarenakan adanya keadaan
darurat.
Di sini imam Syafi’I juga berpendapat, tapi
pendapat beliau lebih mengarah kepada kitabiyyah yang harbi.
Beliau berkata : kami menghendaki agar seseorang tidak mengawini seorang yang harbi
(yang tengah memerangi Islam), hal ini dikhawatirkan akan lahir keturunan yang
akan menjadi budak, bahkan kami menghendaki pula agar tidak mengawini wanita muslimah
yang bertempat tinggal di daerah kitabiyah harbi itu[7], sampai wanita itu pindah
ke daerah Islam. Kalau dalam keadaan terpaksa bolehlah mengawini wanita
muslimah ini tapi makruh[8].
C. Pendapat
Ulama Yang Terkuat Dalilnya
Ada pernyataan yang mengatakan, bahwa
kitabiyyah sekarang adalah bukan termasuk keturunan Bani Israil, jadi tidaklah
dianggap seorang wanita keturunan Arab, Eropa, Afrika atau Asia dan yang tidak
dilahirkan dari keturuan Bani Israil asli yang hidup sebelum datangnya Islam.
Karena setelah datangnya Islam tidak diperbolehkan lagi mengikuti Nasrani atau
Yahudi[9].
Dengan alasan diatas, maka imam Syafi’I
menegaskan, bahwa nikah dengan wanita kitabiyyah sekarang ini haram
hukumnya, karena dia bukanlah keturunan asli Yahudi[10].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbadaan pendapat ulama
mengenai pernikahan dengan non muslim yang tergolong kepada kitabiyah.
Mengenai golongan selain kitabiyyah, ulama sepakat haram menikahinya.
Para ulama tersebut berpendapat dengan argumen mereka masing-masing menyebabkan
ada dua golongan ulama. Pertama, golongan ulama yang membolehkan dengan
hukum makruh. Kebanyakan ulama ini lebih cendrung membolehkan menikah dengan kitabiyyah
yang dzimmi tidak dengan yang harbi. Kedua, golongan ulama
yang tidak membolehkan dengan hukum haram secara mutlak.
Pernikahan muslim dengan non
muslim dapat dibedakan menjadi tiga bagian;
1.
Pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, hukumnya
haram berdasarkan surat al-Baqarah : 221
2.
Pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim,
hukumnya haram berdasarkan surat al-Baqarah : 221
3.
Pernikahan pira muslim dengan wanita kitabiyyah,
boleh berdasarkan surat al-Maidah : 5
B. Saran
Seperti pendapat imam Syafi’i, bahwa kitabiyah yang
sekarang ini tidaklah keturunan Yahudi asli dan karena setelah datangnya Islam
tidak diperbolehkan lagi mengikuti Nasrani atau Yahudi. Maka dengan alas an
tersebut janganlah dilakukan pernikahan
dengan non muslim, karena akan berakibat fatal. Pernikahan tidak akan abadi,
karena ada dua aliran di dalam satu rumah tangga, yang mana hal ini tidak akan
mungkin bertahan lama.
[1]
http;//aahien.wordpress.com/wp-admin/”\1”_ftn1
[2]
Imam al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi Jilid 3, Pustaka ‘Azzam, Jakarta,
2008, hal. 145
[3] Op.
Cit
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Al
Umm, juz 4, hal. 181
[8]
Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal 106
[9] Ibid
[10] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar