حديث
ابن عباس رضي الله عنهما, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ألحقوا الفراءض بأهلها,
فما بقي فهو لأولى رجل ذكر.
ااخرجه
البخاري في: -كتاب الفراءض: -
Artinya : “Ibnu Abbas ra berkata:
Nabi SAW berasbda: berikan bagian waris itu kepada yang berhak, kemudian jika
ada sisanya maka untuk kerabat terdekat yang laki-laki”. (Bukhari, Muslim)
Dalam hadis tersebut tertera kalimat “…berikan bagian waris itu kepada
yang berhak…”, ini mempunyai maksud bahwa bahagian untuk ahliwaris yang
telah ditentukan. Kemudian mereka yang berhak adalah orang-orang yangtelah ditentukan
berdasarkan nash.
Hadist ini menunjukkan, bahwa sisa dari pembagian tersebut sesudah
terpenuhinya semua yang berhak adalah untuk keluarganya yang laki-laki yang
terdekat yang disebut dengan ashabah. Mereka ini tidak dapat disertai
oleh orang yang lebih jauh dari si mayat[1].
Ini menjelaskan bahwa bahwa pembagian hata warisan didahulukan pembagian zawilfurudh,
kemudian baru ashabah.
2.
Waris yang Berhutang
حديث أبي هريرة رضي الله عنه, أن رسول
الله صلى لله عليه وسلم كان يؤتى بالرجل المتوفى, عليه الدين, فيسأل: (هل ترك
لدينه فضلا؟) فإن حدث أنه ترك لدينه وفاء صلى, وإلا, قال للمسلمين: (صلوا على
صاحبكم) فلما فتح الله عليه الفتوح, قال: (أنا أولى بالمؤمنين من أنفسهم, فمن توفي
من المؤمنين فترك دينا فعلي قضاؤه, فمن ترك مالا فلورثته.
اخرجه البخاري في: -كتاب الكفالة: -
Artinya : “Abu Hurairah ra
berkata: didatangkan kepada Rasulullah SAW orang mati yang meninggalkan hutang,
maka Nabi SAW bertanya: apakah ia meninggalkan harta untuk membayarnya? Jika
dijawab: ya meninggalkan harta untuk membayar hutangnya, maka Nabi menshalatkannya,
jika tidak, maka Nabi berkat kepada sahabatnya: shalatkanlah kawanmu itu.
Kemudian sesudah mencapai kemenangan dalam beberapa perperangan, maka Nabi SAW
bersabda: akulah yang lebih utama untuk membantu kaum mukminin lebih dari
mereka sendiri, maka siapa mati meninggalkan hutang, maka akulah yang akan
membayarkan hutangnya, dan siapa yang mati meninggalkan harta, maka untuk ahli
warisnya”. (Bukhari, Muslim)
Hadis diatas memberikan pemahaman dan menekankan, bahwa harta si mayat
didahulukan untuk pembayar hutangnya dari pada pembagian warisan. Karena hutang
itu menyangkut hak orang lain, dan ini adalah hubungan antara manusia.
Bahwasanya, sebelum pembagian harta warisan, ada tiga hal yang harus
dilakukan terhadap ahli waris, yaitu
mengeluarkan biaya dan keperluan pemakaman, membayar hutang si mayat dan
menunaikan wasiat si mayat. In semua dikeluarkan dari harta si mayat.
Pada
zaman ini, boleh dikatakan sebahagian besar
daripada kita berhutang, ada yang banyak, ada yang sedikit. Berhutang atau meminjam
untuk keperluan adalah dibenarkan dalam Islam, namun Islam turut menekankan
dengan tegas mengenai tanggungjawab untuk membayar hutang, walaupun selepas
kematian. Antara peringatan yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
Sesungguhnya orang yang berhutang
terpenjara di kuburnya sehingga hutang tersebut diselesaikan (oleh
saudara-maranya).
-
Hadis riwayat At-Tabrani
Malah tidak
terkecuali bagi mereka yang mati syahid sepertimana sabda Rasulullah S.A.W.:
Diampuni
semua dosa orang yang mati syahid kecuali hutang.
- Hadis riwayat Muslim
Berdasarkan hadis-hadis di atas, bermakna seseorang Muslim itu amat memerlukan
waris-waris & saudara-mara mereka yang masih hidup untuk menyelesaikan
segala tanggungan hutang yang ada selepas kematiannya[2].
3.
Bersikab Adil dalam
Hibah kepada Anak
حديث النعمان بن بشير, عن عامر, قال:
سمعت النعمان بن بشير رضي الله عنهما وهو على المنبر يقول: أعطني أبي عطية, فقالت
عمرة بنت رواحة, لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه وسلم. فأتى رسول الله
صلى الله عليه وسلم, فقال: إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية, فأمرتني أن أشهدك
يا رسول الله! قال: أعطيت ساءر ولدك مثل هذا؟ قال: لا. قال: فاتقوا الله واعدلوا
بين اوللادكم, قال: فرجع, فرد عطيته
اخرجه البخاري في: -كتاب الهبة:
-
Artinya : “Amir berkata: aku telah
mendengar Annu’man bin Basyir ketika diatas mimbar berkata: dahulu ayahku
member sesuatu kepadaku, tiba-tiba ibuku (Amrah binti Ruwahah) berkata: aku
tidak rela sehingga kau saksikan emberian itu kepada Rasulullah SAW. Maka pergilah aku bersama ayahku kepada
Rasulullah SAW, dan berkata: aku telah member kepada putraku dari Amrah binti
RAwahah sesuatu lalu ia menyuruh aku supaya mmempersaksikan pemberian itu
kepadamu ya Rasulullah. NAbi bertanya: apakah kamu juga memberi kepada anakmu
yanglain seperti itu? Jawabnya: tidak. Maka sabda NAbi: bertaqwalah kalian
kepada Allah dan berlaku adillah kalian terhadap anak-anakmu. Kemudian ia menarik kembali
pemberiannya”. (Bukhari, Muslim)
Syarih berkata: “…berlaku adillah
kamu terhadap anak-anakmu!…”, itu maksudnya berpeganglah pada prinsip
persamaan terhadap anak dalam pemberian. Begitulah bukhari menjelaskan.
Perkataan “…kemudian ia menarik
kembali hibahnya…” itu, dalam fathul bari dikatakan: jumhur ulama
berpendapat, haram menarik kembali hibah yang sudah berada ditangan si
penerima, kecuali hibah seorang ayah terhadap anaknya[3].
Ath-Thabari berkata : dikecualikan
pada keumuman hadist ini, orang yang menghibahkan dengan syarat imbalan atau
balasan dan seorang ayah dimana yang diberi hibah itu adalah anaknya sendiri,
sedang hibahnya belum diterima, dan hibah yang ditolaknya adalah karena harta
pusaka (warisan) yang dikembalikan kepada sipemberi hibah karena adanya
hadist-hadist yang mengecualikan kesemuanya itu. Adapun selain itu, misalnya:
orang kaya memberi imbalan kepada orang
fakir dan seperti orang yang menyambung keluarganya, maka ia tidak boleh
ditarik kembali. Ia berkata : dan diantara yang tidak boleh ditarik kembali
secara mutlak ialah shadaqah dengan harapan mendapat pahala akhirat[4].
Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab
al-Ikhtiyaraat : dan apabila seorang ayah menyamakan pemberian kepada
anak-anaknya, maka sang ayah tidak boleh menarik kembali pemberiannya itu dari
sebagian mereka, walaupun salah satu diantara mereka sangat membutuhkan. Cukup
bagi sang ayah memberi nafkah kepadanya sekedar kebutuhannya. Kalau labih daru
kebutuhannya itu berarti itu termasuk pemberian[5].
4.
Jumlah Harta Warisan
حديث سعد بن ابي وقاص رضي الله عنه:
قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودني عام حجة الوداع من وجع اشتدبي,
فقلت: إني قد بلغ بي من الوجع, وأنا ذو مال, ولا يرثوني الا ابنة, أفأتصدق بثلثي
مالي؟ قال, لا. فقلت بشطر؟ فقال: لا, ثم قال: الثلث, والثلث كبير او كثير, إنك أن
تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس, وإنك لن تنفق نفقة تبتغي
بما وجه الله تعالى, إلا أجرت بها, حتى ما تجعل في فيّ امرأتك. فقلت: يا رسول
الله! أخلّف بعد أصحابي؟ قال: إنك لن تخلّف, فتعمل عملا صالحا إلا ازددت به درجة
ورفعة, ثمّ لعلّك أن تخلّف حتى ينتفع بك أقوام ويضرّبك آخرون
أخرجه
البخاري في: -كتاب الجناءز: -
Artinya : “Sa’ad bin Abi Waqqas ra
berkata: ketika hujjatulwada’ aku menderita sakit keras, maka aku bertanya: ya
Rasulullah, penyakit telah sedemikian dan aku berharta dan tidak ada
ahliwarisku kecuali seorang putriku, apakah aku boleh shadaqahkan dua pertiga
hartaku? Jawab NAbi SAW: tidak. Kalau begitu separoh? Jawab Nabi SAW: tidak.
Kalau begitu sepertiga? Jawab Nabi SAW: sepertiga besar dan banyak, sesunggunya
jika engkau meninggalkan ahliwaris kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka
miskin sehingga minta-minta kepada orang. Dan semua nafkah yang kau nafkahkan karena
Allah pasti diberi pahala sehinnga apa yang kau berikan makan untuk istrimu.
Lalu aku tanya: ya Rasulullah, apakah aku ditinggal oleh sahabatku? Jawab Nabi:
engkau tidak akan ditinggal, maka apabila engkau berbuat amal kebaikan pasti
akan bertambah derjat tingkatmu, dan mungkin engkau akan ditinggal sehingga
banyak kaum yang bermanfaat (beruntung) denganmu disamping yang lain merasa
rugi karenamu”. (Bukhari, Muslim)
Perkataan “…sepertiga besar dan banyak…”, menunjukkan bahwa
dibolehkannya wasiat dengan sepertiga, dan yang lebih baik lagi kurang dari
sepertiga, tidak lebih.
Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bari: “ijma’ sudah menetapkan tentang
dilarangnya wasiat lebih dari sepertiga, tetapi masih diperdebatkan tentang
seorang yang kaya yang tidak mempunyai ahliwaris tertentu. Jumhur berpendapat,
tetap dilarang berwasiat lebih dari sepertiga. Sedang ulama-ulama Hanafiyah,
Ishak, Syarik dan Imam Ahmad sendiridalam satu riwayat berpendapat boleh lebih
dari sepertiga. Yang berpendapat demikian ialah Ali, Mas’ud dan ulama-ulama
ahlul bait sebagai yang diriwayatkan dalam al-Bahrul Muhith[6].
5.
Waqaf Hasil Tanaman
Tanah Milik
حديث
ابن عمر رصي الله عنهما: أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر, فأتى النبي صلى الله
عليه وسلم يستأمره فيها, فقال: يا رسول الله! إن أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط
أنفس عندي منه, فما تأمر به؟ قال: إن شءت حبست أصلها, وتصدقت بها, قال: فتصدق بها
عمر؛ أنه لايباع ولايوهب ولايورث, وتصدق بها في الفقراء, وفي القبى, وفي الرقاب,
وفي سبيل الله, واب السبيل, والضيف, لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف,
ويطعم غير متمول. قال (الراوي): فحدثت به ان سيرين, فقال: غير متأثل مالا.
أخرجه
البخاري في: -كتاب الشروط: -
Artinya : “Ibn Umar ra berkata:
Umar bin al-Khatab ra mendapat bagian kebun di Khaibar, maka ia datang kepada
Nabi Muhammad SAW bertanya: Ya Rasulullah, aku mendapat bagian tanah kebun di
Khaibar yang sangat berharga bagiku, maka kini apakah anjuranmu kepadaku? Jawab
Nabi SAW: Jika engkau suka waqafkan tanahnya sedang hasilnya untuk shadaqah.
Maka ditetapkan waqaf yang tidak boleh dijual atau diwarisi atau diberikan,
lalu hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin dari kerabat, untuk memerdekakan
budak mukatab, orang rantau dan tamu, tidak bagi yang merawatnya untuk makan
dari padanya secara yang layak atau memberi makan asalkan untuk tidak
menghimpun kekayaan.(Bukhari, Muslim). Yang meriwayatkan berkata: ketika aku
terangkan hadis ini kepada Ibn Sirin, dia berkata: bukan متمول tapi
متأثل مالا.”
Dari
hadis diatas, dipahami bahwa tanah yang diwaqafkan tersebut tidak oleh dijual
diwarisi dan dihibahkan. Karena waqaf tersebut adalah salah satu saqaqah
jariyah yang pahalanya terus mengalir sampai orang yang menerima waqaf tersebut
tidak menggunakannya lagi. Karena itu, apabila tanah waqaf tersebut dijual,
diwarisi atau dihibahkan, maka pahala orang yang memberi waqaf akan terhenti,
sehingga itu merupakan suatu kesalahan bagi orang yang memutuskan pahala
tersebut.
Dan
juga, hadis ini menerangkan, bahwa yang boleh diberikan kepada orang lain
adalah hasil dari tanah waqaf tersebut. Namun, hasil tanah waqaf itu tidak
boleh diberikan kepada orang yang merawatnya, terkecuali untuk memberi makan
asalkan tidak untuk menghimpun kekayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, 2006, al-Lu’lu’ wal
Marjan, Terjemahan, Bina Ilmu, Surabaya.
, 1994, Terjemahan Nailul Authar, HImpunan
HAdis-Hadis Hukum, Victory Agencie. Kuala Lumpur.
http\\google.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar