Di dalam pasal 1
Aturan Peralihan UUD 1945, disebutkan , bahwa “segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut UU
ini”. Berarti semua peraturan yang berlaku sebelumnya masih berlaku jika tidak
ada peraturan yang baru di keluarkan.
Begitu juga dengan
kedudukan Peradilan Agama masih diakui setelah kemerdekaan Indonesia. Yang mana
Peradilan Agama ini diatur dalam staatsblad 1882 No. 152 dan 153 jis Stbl 1937
No. 116 dan 610. Namun setelah kemerdekaan Peradilan Agama diatur dalam UUD
1945.
B.
Dasar Hukum dan Wewenang
Peradilan Agama
Berdasarkan kepada
ketentuan pasal II AP UUD 1945, maka pelaksanaan Peradilan Agama masih tetap
berdasarkan kepada peraturan yang dibuat pada masa Belanda, yaitu dalam
staatsblad 1882 No. 152 jo staatsblad 1937 No. 116 dan 610 untuk peradilan
agama di Jawa dan Madura serta staatsblad 938 dan 939 untuk daerak Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur. Keadaan yang demikian berlaku di daerah-daerah
yang secara devfacto dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia terutaama di
daerah Jawa dan Madura[1].
Dari
ketentuan-ketentuan diatas dapat dipahami, bahwa ketentuan kewenangan
Peradialan Agama sama dengan ketentuan sebelumya. Kewenangan yang diberikan
oleh staatsblad-staatsblad kepada Peradilan Agama di Jawa, Madura, Kalimantan
Timur dan Selatan hanyalah di bidang perkawinan saja[2].
Sebelum proklamasi
kemerdekaan diproklamirkan, lembaga Peradilan di luar Kalimantan dilaksanakan
berdsarkan pada pasal 12 Peraturan Swapraja 1938 atau pasal 12 Staatsblad 1932
No. 80.sedangkan di Pontianak dan Sambas terdapat Mahkamah Balai Agama di
Matan, Kertai, Berau, terdapat Majlis Agama Islam, yang dibentuk berdasarkan
keputusan tertulis dari Kepala-kepala Swapraja. Di daerah-daerah lain, dapat
pula ditemui beberapa Peradilan Agama yang dibentuk oleh Kepala Swapraj tanpa
keputusan terstulis. Misalnya di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, Teranate,
Tidore, Bima, Bali dan lain-lain[3].
Lain halnya dengan
daerah lingkungan Adat, disini daerah peradilan Agama ditetapkan oleh Residen.
Berdasarkan pasal 12 staatsblat 1932 No. 80, seperti dijumpai di Aceh,
Tapanuli, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan beberapa tempat di
Sulawesi, Sumatera dan Maluku[4].
Tahun 1948,
lahirlah Undang-Undang No. 19 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan
Kejaksaan. Tujuannya adalah untuk menyusun badan peradilan secara integral[5].
Dalam UU ini kewenangan Peradilan Agama diamasukan dalam Peradilan Umum secara
istimewa, yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. UU ini
merupakan peraturan yang penting tentang peradilan dalam masa Pemerintahan RI
Yogyakarta. UU ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut
serta menyempurnakan isi UU No.7 tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku pada tanggal 03 Maret 1947[6].
Sehubungan dengan
lingkungan peradilan, UU ini menetapkan tiga lingkungan peradilan yaitu :
1.
Peradilan Umum
2.
Peradilan Tata Usaha Negara
3.
Peradilan Ketentaraan.
UU No. 19 Tahun
1948 menghendakai agar Susunan Peradilan Agama yang telah berlaku itu
dihapuskan. Sedangkan materi hokum yang menjadi wewenangnya ditampung oleh
Pengadilan Negri secara istimewa dengan adanya dua orang ahli agama Islam
sebagai anggota disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua agar
putusan-putusan Pengadialn Negri tidak menyimpang dari ketentuan hokum syara’.
Hanya saja UU ini tidak pernah berlaku, karena masih berkecamuknya revolusi,
terutama disebabkan karena UU ini tidak sejalan dengan kesadaran hokum
masyarakat Indoonesia[7].
C.
Penataan Peradilan Agama
pada Masa Orde Lama
Setelah indonesia merdeka, atas usul Mentri Agama yang disetujui oleh
Mentri Kehakiman, pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementrian
Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Penetapan Pemerintah No. 5-SD tanggal
25 Maret 1946
Peraturan
sementara yang mengatur tentang Peradilan Agama tercantum dalam Verordering
tanggal 8 November 1946 dari CCOAMACAB (Chief
Commanding Officer Alied Military Administration Civil Affairs Branch)
untuk Jawa dan Madura[8].
Tujuannya adalah untuk menghindari kemerosotan Peradilan Agama dan juga untuk
mengupayakan peningkatan Peradilan Agama dan memulihkan wewenang Peradilan
Agama yang telah dicabut sebelumnya[9].
Pada tanggal
23 April 1946, Mentri Agama berupaya mengeluarkan maklumat yang salah satunya
adalah menentukan pengalihan hak untuk mengangkat Penghulu Landrat, Penghulu
dan anggota peradilan dari tangan Residen kepada Mentri Agama.
Kemudian
berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak dan ruju’ seperti yang
diatur dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 348 Jo. S. 1931 No. 467, Verszenlandsche Huwelijksordonantie
Buitengwesten S. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan, sedangkan
pembuatan peraturan baru mengenai hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan dalam
waktu singkat, maka untuk itu pada tanggal 21 November 1946 disahkan dan
diundang-undangkanlah UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan
ruju’[10].
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Asassriwarni dan Nurhasnah, M. Ag., Peradilan Agama
di Indonesia, Hayfa Press, Padang, 2006
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Peradilan Agama di Indonesia, Kencana,
2006
[1]
Drs. Asassriwarni dan Nurhasnah, M. Ag., Peradilan Agama di Indonesia,
Hayfa press, Padang, 2006, hal. 55
[2] Ibid
[3]
Drs. H. Assasriwarni dan Nurhasnah, M.Ag., Peradilan
Agama di Indonesia, Hafya Press, 2006, hal. 56
[4] Ibid
[5] Ibid,
hal. 57
[6]
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Peradilan
Agama di Indonesia, Kencana, 2006, hal. 66
[7]
Drs. H. Assasriwarni dan Nurhasnah, M.Ag., Peradilan
Agama di Indonesia, Hafya Press, 2006, hal. 57
[8]
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Peradilan
Agama di Indonesia, Kencana, 2006, hal. 64
[9] Drs.
H. Assasriwarni dan Nurhasnah, M.Ag., Peradilan
Agama di Indonesia, Hafya Press, 2006, hal. 61
[10]Drs.
H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Peradilan
Agama di Indonesia, Kencana, 2006, hal. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar