Minggu, 14 Februari 2016

Perkembangan Fiqh

MASA PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN HUKUM ISLAM
     A.    Periode Rasulullah saw ( 11 H / 610-632 M).
       ·        Hukum Islam Pada Fase Mekkah Dan Madinah
Perbaikan akidah ini diharapkan dapat menyelamatkan ummat islam dari kebiasaan membunuh, berzina, mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Dalam masa ini banyak fakta0fakta ynag membangkitkan Nabi kupada mengadakan hukum-hukum. Karena itu tidaklah terdapat dalam surat Makiyyah ayat-ayat hukum. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah berisikan tentang keperayaan dan aqidah, akhlak dan sejarah.[1]
Setelah Nabi Muhammad saw berada di Madinah barulah beliau mengarahkan tenaganya kepada membina hukum – hukum pergaulan atau kemasyarakatan seperti: muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumph, dan peradilan. Kerena pada fase madinah ini islam tidak lagi lemah, adanya ajakan untuk mengamalkan syari’at islam dalam rangka memperbaikai hidup bermasyarakat dan membentuk aturan damai dan perang. periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik
Kekuasaan tasyri’iyyah pada masa itu dipegang oleh Nabi sendiri, walawpun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihat seperti Ali Thali
Dikala perjalanan menuju Yaman, Muaz Ibnu Jabal ketika menjadi hakim di Yaman dan lain-lain.[2]




·        Dalil-Dalil Hukum Pada Masa Rasulullah saw
Sumber hukum pada masa itu adal;ah Alquran dan ijtihad nabi (sunnah). Apabila terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukum, maka Allah menurunkan wahyu kapada beliau, dan wahyu inilah yang akanmenjadi hukum atau undang-undang yang wajib dilaksanakan. Dan apabila Allah tidak menurunkan wahyu, maka nabi berijtihat untuk menetapkan hukum, dan pun ijtihat Nabi tersebut juga wajib dilakukan.[3]
Walaupun nabi berijtihat untuk menetapkan hukum tetapi itu adalah atas petunjuk yang diberikan Allah kepada beliau dan juga bimbingan dari wahyu. Tegasnya smber yang pokok di masa Rasul adalah wahyu.[4]
·        Hukum-hukum yang diakup oleh Al Quran :                            
1.      Hukum keyakinan (ahkam al-i’tiqadiyyah) yaitu kewajiban bagi mukalaf untuk percaya pada Allah swt,malaikt-malaikat,kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari kiamat.
2.      Hukum Akhlak (ahkam al-khuluqiyyah), yaitu kewajiban bagi mukalaf untuk berbuat kebaikansebanyak-banyaknya dan menjauhkan diri dari kejelekan.
3.      Hukum Amaliah (ahkam al-‘amaliyyah), yaitu kewajiban bagi mukalaf, baik dalam perkataan, perbuatan maupun tasharrufat. Inilah menurut Abd Wahhab Khallaf disebut fiqh Al-Qur’an.[5]

Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua : yaitu ibadah dan muamalah. Yang termasuk ibadah adalah shalat zakat haji dan Nazar. Adapun muamalah adalah hukum yang menurut Abd Wahhab Khallaf dan Kamil Musa yaitu: Hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyyah) sekitar 70 ayat, Hukum kebendaan (ahkam madaniyyah) sekitar 70 ayat, Hukum jinayah (ahkam jina’iyyah) sekitar 30 ayat, Hukum peradilan (ahkam murafa’at) sekitar 10 ayat, Hukum dusturi (ahkam dusturiyyah) sekitar 10 ayat, Hukum negara (al-ahkam dauliyyah) baik regeonal dan internasional sekitar 25 ayat, dan Hukum ekonomi (ahkam al-iqtishadiyyah) sekitar 10 ayat. Al-qur’an terdiri atas 30 juz 114 surat dan sekitar 6.000 ayat. Sedangkan ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Menurut Harun Nasution berkesimpulan bahwa dari sekitar 368 ayat tersebut hanya 228 ayat atau 3,5 % yang berkenaaan dengan kemasyarakatan.

·        Penjelasan Sunnah
ما اضف الي النبي صلي الله عليه وسلم من قول اوفعل اوتقرير

Artinya: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan (taqrir)

As-Sunnah adalah anak kunci pembuka Al-qur’an dan merupakan pelita yang dengan dialah kita dapat menyingkap haqiqat-haqiqat Al-qur’an. Hadits dipahami sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun taqrir. Apabila penyandaran ini diriwayatkan oleh mayoritas ulama yang mustahil berdusta, hadits itu berkualitas mutawatir, semakin rendah kualitas penyandarnnya, akan semakin rendah pula kualitasnya; pengkategoriannya menjadi hadits masyhur dan hadits ahad. Kualitas hadits ahad diklasifikasi lagi menjadi shahih, hasan, dan dha’if. Apabila penyandaran itu terbukti bohong, riwayat tersebut termasuk maudhu’.
·        Ijtihad Pada Zaman Nabi Muhammad Saw
Para ulama berkhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad saw terhadap sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dari Allah swt. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muahammad saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan tentang amaliah halal dan haram sedangkan ulama ushul seperti Abu Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya. Sebagian sahabat al-Syafi’i, al-Qadhi ‘Abd al-Jabar, dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw melakukan ijtihad dalam perang bukan dalam bidang hukum .
Menurut sebagian ulama, Nabi Muhammad saw tiadak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah karena ini sumber hukum islam kedua setelah Alqur’an dan juga berdasarkan firman Allah swt Surat al-Najm : 3 – 4
وما ينطق عن الهوي . ان هو الا وحي يوحي
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

Ikhtilaf diatas tersebut menimbulkan berbagai komentar antara lain dari ulama Mesir, Muhammad Salam Madkur mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw melakuakan ijtihad dalam urusan keduniaan seperti ijtihad beliau dalam mengatur strategi perang. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm , Ibn Khaldun dan al-Kamal ibn al-Hamam berpendapat bahwa Nabi Muahammad saw melakukan shalat. Salah satu contohnya adalah ijtihad beliau tentang panggilan dan pemberitahuan untuk melaksanakan shalat. Sebagian sahabat menganjurkan bahwa sebaiknya menggunakan lonceng seperti lonceng Nashara, sebagian lagi menganjurkan menggunakan terompet seperti terompet yahudi. Kemudian Umar bertanya keoada Rasulullah saw “mengapa Tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat..?” Nabi Muahammad saw bersabda: “hai Bilal, berdirilah dan ajaklah shalat”

B.     Periode Khulafaurrasyi 
Periode ini merupakan kedua dalam perkembangan tasyri` Islami, dimulai wafatnya Rasulullah pada tahun 11 H (632 M-661 M). dan berakhir pada tahun 41 H ketika Mu`awiyah menjabat sebagai khalifah. Periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka sebagai penerus perjuangan Nabi yaitu mulai khalifah abu Bakar, Umar, Ustman,dan Ali R.A.
Pada periode ini merupakan peranan yang sangat penting di dalam membela dan mempertahankan agama, dengan memperluas dakwahnya hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Sehingga dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang cukup rumit. Karena perluasan wilayah, sehingga perbedaan kultural, tradisi, situasi dan kondisi membuat para Fuqaha membuat aturan hukum yang muncul belakangan. Pada saat-saat seperti inilah muncul perbedaan pendapat dan pemahaman terhadap Nash. Akibat yang lain dari perluasan wilayah inilah bercampurnya antara orang Arab dengan yang lain. Berbagai ragam pemeluknya sehingga dibutuhkan aturan yang mengatur antara muslim dengannonmuslim.
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yangdisebutdenganIjma`danQiyas.
·        Pengumpulan al-Qur`an
Sepeninggalan Nabi, al-qur`an belum tersusun secara rapi masih tertulis pada lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara pada awal pemerintahan Abu Bakar seringkali terjadi kegoncangan misalnya peperangan dengan penduduk yamamah yang murtad pimpinan Musailamah. Sehingga sekitar 500 sahabat banyak yang meninggal diantaranya 70 dari Huffadz al-Qur`an. Sehingga terjadilah kekhawatiran dalam benak Umar bin Khattab yang mengakibatkan hilangnya warisan al-Qur`an. Hingga akhirnya Umar mengusulkan untuk segera mengumpulkan al-Qur`an dalam satu muhaf dengan memerintahkansahabatZaidbinTsabit.
Pada masa khalifah yang ke tiga, yaitu periode Ustman bin Affan muncul perbedaan yang cukup tajam, mengenai masalah bacaan al-Qur`an. Sehingga mengarah pada permusuhan umat Islam. Hingga akhirnya Ustman menertibkan bacan al-Qur`an dengan meminta kepada Hafsah istri Nabi untuk menyerahkan Mushaf yang dikumpulkan pada khalifah Abu Bakar dengan menyuruh penulis al-Quran misalnya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk menertibkan bacaanal-Qur`an.
Pada waktu berakhirnya khalifah Ustman setelah wafat, maka secara spontan Ali lah yang menggantikannya (656 M). Karena kedekatannya dengan Nabi adalah sepupu dan menantu Nabi. Sehingga banyak orang beranggapan yang berhak menggantikan posisinya dari pada sahabat yang lain yang dikenal dengan paham Syi`ah. Tetapi dalam periode ini terjadi polemik yang besar dengan terbunuhnya Ustman membuat politik pemerintahan bertambah kacau. yang lebih memprihatinkan lagi Ibu mertua Beliau, Siti Aisyah bersama Zubair dan Tholkhah untuk memerangi Ali, karena menuntut terbunuhnya `Ustman. Yang terkenal dengan sebutan perang jamal (unta). Sedangkan dalam waktu yang sama Ali juga menggempur orang-orang pro dengan `Ustman di Negeri Syam, di bawah pimpinan Muawiyah. akhirnya peperangan ini dimenangi oleh pasukan Ali, kemudian dilanjutkan dengan perang melawan Mu`awiyah yang terkenal dengan perang Siffin. Yang sebenarnya kemenangan berada pada Ali, tetapi karena kecerdikan Muawiyah dengan dalih damai dan Ali menerimanya, tetapi hak ini hanya sebagai tipu daya saja. Sebenarnya banyak pengikut Ali yang tidak setuju dengan pendapat Ali. Akhirnya pengikut Ali terpecah menjadi tiga golongan yaitu :
Golongan Syiah : golongan yang setia dengan Ali dan menentang Muawiyah
Golongan Khawarij : golongan yang mulanya setia dengan Ali, tetapi karena tidak setuju dengan genjatan senjata untuk berunding dengan Mu`wiyah. Karena mereka lebih senang peperangan dengan Mu`awiyah.
Golongan Jumhur atau golongan ASWAJA ialah golongan Muslim yang bercorak moderat dan tidak memihak kepada golongan yang manapun.
Sehingga akibat dari perpecahan ini, adalah sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan hukum Islam. Karena didasarkan dengan perbedaan pendapat baik dari para perawi hadis maupun fatwa-fatwa mereka. Misalnya golongan syiah hanya menerima sumber hukum dari golongan mereka sendiri, yang lebih utama adalah hadis dan fatwa yang datang dari Ali dan para sahabatnya. Kemudian golongan Khawarij tidak menerima hadis ataupun fatwa yang datang dari golongan atau para sahabat yang mendukung `Ustman, Ali, maupun Mu`awiyah. Sedangkan golongan Jumhur menerima segala macam sumber hukum yang datang dari manapun asalkan sumbernya jelas.
Perlu menjadi catatan penting, bahwa kasus pembunuhan khalifah `Ustman bukanlah atas perbuatan Ali. Tetapi perbuatan keji dari golongan ketiga yang ingin merebut kedudukan dengan politik adu domba antara khalifah `Ustman dengan pendukungnya Ali. Hingga akhirnya Ibnu Muljam yang anti dengan Ali dapat membunuh sewaktu dia shalat subuh tahun 661 M. sehingga Ali hanya menjabat sebagai Khalifah selamakuranglebih5tahun.
Pada periode khulafaurrasyidun ini kaitannya dengan pembentukan sistem fiqh masih belum terbentuk. Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu. Hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat Nabi (khulafaurrasyidun) adalah : pertama, karena sifat dari al-Qur`an sendiri, kedua, sifat dari as-Sunnah (berbeda dalam menangkap hadis Rasulullah), ketiga, perbedaan dalam penggunaan ra`yu (akal).

C.    Periode Tabi`in
Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain.
Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
Dalam pengambilan sumber hukum pada era sahabat dan tabi`ien, merujuk pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan keduanya mereka merujuk ijtihad para sahabat dan baru setelah itu mereka melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Dalam perkembangannya banyak terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan sumber hukumnya. Antara lain beberapa para Fuqaha yang berada di kota Irak yang banyak menggunakan rasionalitas. Mereka juga bukan hanya menggunakannya sebatas pengambilan hukumnya saja, tetapi beberapa peristiwa yang belum terjadi pun dapat diprediksikan dan diambil hukumnya yang dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakh`ie yang banyak mewariskan pemikiran fiqh rasionalitas kepada Abu Hanifah. Tetapi yang perlu digaris bawahi disini adalah aliran rasionalitas tidak dapat berjalan dengan mulus. Karena banyak mengundang pertentangan dan reaksi. Diantaranya adalah ulama-ulama Hijaz (Madinah) yang beranggapan aliran ini menyeleweng dari Manhaj para sahabat hingga berpaling dari ajaran Rasulullah. Tetapi bukannya fragmentasi fiqhiyah pada periode "memasung" perkembangan fiqh, sebab apresiasi yang diambil dari gagasan Ibrahim dan Ulama-ulama Irak banyak mengadakan pertemuan dan dialog untuk membicarakan persoalan yang berkembang. Hingga pada akhirnya perkembangan berikutnya terjadi pembaruan pluralisme, heterogenitas pemikiran baik di Irak maupun Hijaz sendiri yang sangat membantu Tsarwah Fiqhiyah.
Berangkat dari perbedaan pemikiran tadi muncul banyak perbedaaan ikhtilafiyah. Hingga Dr. Thaha Jabir dalam bukunya Adabul Ikhtilaf Fil Islam, menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan ketiga, yaitu `Ustman bin Affan.
`Ustman adalah khalifah pertama yang memerintahkan para sahabatnya untuk menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari sekitar 300 sahabat pergi ke Basyrah dan Kuffah, sebagian lagi ke Mesir dan Syam. penyebaran ini hingga meluas pada para tabi`ien dapat dipahami karena setiap daerah masing-masing mempunyai perbedaan situasi, kebiasan dan kebudayaan, disamping dari kapasitas pemahaman para Fuqaha. Menurut pendapat Ibnul Qayyim mencatat bahwa perkembangan fiqh pada periode ini disebarkan oleh empat Fuqaha sahabat terkemuka. Antara lain pengikut Ibnu Mas`ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang madinah misalnya banyak mengikuti pendapat fiqh dari pengikut Zaid bin tsabit dan Abdullah bin Umar. Sedangkan orang-orang Mekkah mengikuti pendapatnya dari Abdullah bin Abbas dan di Irak diwarisi oleh fiqh Ibnu Mas`ud.
Selain dari perbedaan pendapat antara ulama Irak dan Hijaz dan muncul aliran maupun sekte dalam Islam, dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis.
Dan tradisi ini menjadi amat penting dalam perkembangan fiqh dan hadis. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah ke delapan dari bani Umayah sering disebut-sebut khalifah pertama yang sering banyak mengumpulkan hadis dan menuliskannya.

D.    Periode Abbasiyyah
Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata bani abbas dalam sejarah lebih banyak berbuat dari pada bani Ummayah. Pergantian dinasti Ummayah kepada dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah mengubah, menoreh wajah dunia islam dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada bani Abbasiyah merupakan pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M) ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang. Perpustakaan terbesar dan dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan.
a.      Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
Khalifah ini dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H, beliau adalah seorang putra dari Al-Mahdi dan Khai Zuran, beliau diangkat sebagai khalifah secara resmi pada tahun 170 H. ketika Harun Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan. Luas wilayahnya mulai dari afrika utara hingga ,ke India. Pada masanya hidup pula para filosof, punjaga, ahli baca Al-Qur’an, dan para ulama dibidang agama. Didirikan pula perpustakaan yang di beri nama Baitul Hikmah, didalamnya orang-orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Keagungan Pemerintah Di Zaman Harun Al-Rasyid. Pemerintah khalifah Harun Al-Rasyid merupakan pemerintahan yang baik dan terhormat, bersih dan penuh kebijakan serta paling luas daerah pemerintahannya. Beliau adalah seseorang sastrawan pencipta cerita-cerita lama dan syair-syair. Di zaman pemerintahannya itu baitul mal di tugaskan menanggung nara pidana dengan memberikan makanan pada setiap orang.
Penyebab kekhalifahan Harun Al-Rasyid menjadi masyhur adalah naungannya ke atas ilmu pengetahuan, dan mendirikan Baitul Hikmah yang merupakan sebuah institusi kebudayaan dan pikiran cemerlang ketika itu, dan merintis jalan ke arah kebangkitan eropa.
Dan yang paling utama adalah buku “Seribu Satu Malam” yang telah menduduki tempat paling atas dibidang kesusastraan dunia.



b.      Al-Ma’mun (813-833)
Khalifah Al-Ma’mun lahir pada tahun 170 H / 786 M. bertepatan dengan di angkatnya bapaknya yaitu Harun Al-Rasyid menjadi khalifah Bani Abbasiyah yang ke enam.
Abdullah Al-Makmun diangkat menjadi khalifah Bani Abbasiyah yang ke delapan setelah saudaranya yaitu Al-Amin meninggal dunia. Beliau di lantik oleh khalifah Harun Al-Rasyid, Al-Ma’mun menyandang gelar khalifah pada tahun 198 H. di zaman Al-Ma’mun itu bermulalah kerajaan Tahiriyah, hasil dari pelantikan terhadap Thahir bin Al-Husain sebagai Amir atau pemerintah bagi wilayah Khurrosan pada tahun 205 H. kerajaan Tahiriyah ini berkelanjutan hingga tahun 259 H. di zaman itu juga bermula kerajaan Ziyadiyah hasil pelantikan terhadap muhammad bin Ibrahim As-Ziadi, sebagai Amir di negeri Yaman dan Tihamah pada tahun 203 H untuk menumpaskan golongan Syiah di sana.
Al-Ma’mun merupakan salah seorang tokoh khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka, intelektualnya dan kecintaan kepada ilmu pengetahuan serta jasa-jasanya dibidang tersebut yang telah meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah. Di Baitul Hikmah beliau mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, dan memerintahkan supaya dibeli dan dikumpulkan untuknya buku-buku karya beberapa bangsa asing, dan memerintahkan supaya diterjemahkan kedalam bahasa arab. Pada zaman itulah muncul filsafat arab yang agung, yaitu Al-kindi yang menulis mengenai beberapa ilmu pengetahuan. Al-Hajaj bin Yusuf bin Matr telah menerjemahkan untuk Al-Ma’mun beberapa buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy.
Di masa kehalifahaan Al-Ma’mun terdapat dua blok kekuatan utama di kerajaan tersebut. Salah satunya adalah lingkungan aristokrasi di istana dan yang lain adalah blok egalitarian dan “Konstitu-Sionalis” yang berdasarkan syari’ah.
Faham yang dianut oleh khalifah Abdullah Al-Ma’mun adalah faham Mu’tazilah, yang mana faham tersebut dijadikan sebagai faham resmi negara. Beliau mengemukakan faham Mu’tazilah sebagai faham resmi negara pada tahun 827 M.
Ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbasiyah yang tidak terdapat di zaman Ummayah: :
1)      Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh arab. Sedangkan dinasti Bani Ummayah sangat berorientasi kepada arab.
2)      Dalam penyelenggaraan negara, kepada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala departemen.
3)      Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas.

Lembaga-lembaga yang menjalani perkembangan pada masa pemerintahan Bani Abbas diantaranya :
a)      Maktab / kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan, dan tulisan dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqh, dan bahasa.
b)      Perpustakaan dan akademi, perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.

Ø  Masa keemasan.
Melihat perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal tersebut sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa arab, baik sebagai bahsa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Ummayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga terdapat faktor-faktor pendukung antara lain, yaitu :
a.       Terjadinya asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Pengaruh Persia sangat kuat dibidang pemerintahan, selain itu juga berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutamailmufilsafat.
b.      Gerakan terjemah yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Harun Al-Rasyid, dalam menerjemah karya-karya di bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Pemerintahan Daulah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah Bani Umayah yang telah runtuh di Damaskus. Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa daulah ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Keluarga Abbas, Imam Muhammad bin Ali berpendapat bahwa pemindahan kekuasaan dari keluarga yang satu ke keluarga yang lain harus memiliki kesiapan jiwa dan semangat rakyat. Dia menyadari bahwa perubahan secara tiba-tiba, bisa berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu, sangat diperlukan pemikiran yang dapat memperhitungkan keadaan untuk melancarkan propaganda (gerakan yang menentang pemerintahan untuk memperoleh kekuasaan) dengan atas nama orang yang terpilih dari keluarga Nabi Muhammad.
Muhammad bin Ali meminta kepada masyarakat pendukungnya untuk membantu keluarga Nabi. Propaganda ini dilakukan dengan cara yang sangat cermat, sehingga banyak tokoh masyarakat dan tokoh agama yang tertarik dengan propaganda itu.
Muhammad bin Ali menjadikan kota Kufah dan Khurasan sebagai pusat kekuatan penyebaran propagandanya. Dua kota ini dianggap sangat strategis sebagai benteng pertahanan bila terjadi serangan dari Bani Umayah. Di dalam kedua kota itu banyak bermukim masyarakat Islam yang bukan Arab. Mereka sangat tidak puas terhadap kebijakansanaan pemerintahan Bani Umayah.




[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal 35
[2] Ibid.
[3] Prof. dr. Abdul Wahab Alkhallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan hokum Islam, Rajawali Pres, Jakarta, 2002, hal 13
[4] Op.cit. hal 36
[5] Ibid, hal 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar