A.
Periode Rasulullah saw ( 11 H / 610-632 M).
·
Hukum Islam Pada Fase Mekkah Dan Madinah
Perbaikan
akidah ini diharapkan dapat menyelamatkan ummat islam dari kebiasaan membunuh,
berzina, mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Dalam masa
ini banyak fakta0fakta ynag membangkitkan Nabi kupada mengadakan hukum-hukum.
Karena itu tidaklah terdapat dalam surat Makiyyah ayat-ayat hukum. Kebanyakan
ayat-ayat Makiyyah berisikan tentang keperayaan dan aqidah, akhlak dan sejarah.[1]
Setelah
Nabi Muhammad saw berada di Madinah barulah beliau mengarahkan tenaganya kepada
membina hukum – hukum pergaulan atau kemasyarakatan seperti: muamalat, jihad, jinayat,
mawarits, wasiat, talak, sumph, dan peradilan. Kerena pada fase madinah ini
islam tidak lagi lemah, adanya ajakan untuk mengamalkan syari’at islam dalam
rangka memperbaikai hidup bermasyarakat dan membentuk aturan damai dan perang. periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai
periode revolusi sosial dan politik
Kekuasaan
tasyri’iyyah pada masa itu dipegang oleh Nabi sendiri, walawpun dalam hal yang
mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihat seperti Ali Thali
Dikala perjalanan
menuju Yaman, Muaz Ibnu Jabal ketika menjadi hakim di Yaman dan lain-lain.[2]
·
Dalil-Dalil Hukum Pada Masa Rasulullah saw
Sumber
hukum pada masa itu adal;ah Alquran dan ijtihad nabi (sunnah). Apabila terjadi
suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukum, maka Allah menurunkan wahyu
kapada beliau, dan wahyu inilah yang akanmenjadi hukum atau undang-undang yang
wajib dilaksanakan. Dan apabila Allah tidak menurunkan wahyu, maka nabi
berijtihat untuk menetapkan hukum, dan pun ijtihat Nabi tersebut juga wajib
dilakukan.[3]
Walaupun
nabi berijtihat untuk menetapkan hukum tetapi itu adalah atas petunjuk yang
diberikan Allah kepada beliau dan juga bimbingan dari wahyu. Tegasnya smber
yang pokok di masa Rasul adalah wahyu.[4]
·
Hukum-hukum yang diakup oleh Al Quran :
1. Hukum keyakinan
(ahkam al-i’tiqadiyyah) yaitu kewajiban bagi mukalaf untuk percaya pada Allah
swt,malaikt-malaikat,kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari kiamat.
2. Hukum Akhlak (ahkam
al-khuluqiyyah), yaitu kewajiban bagi mukalaf untuk berbuat
kebaikansebanyak-banyaknya dan menjauhkan diri dari kejelekan.
3. Hukum Amaliah (ahkam
al-‘amaliyyah), yaitu kewajiban bagi mukalaf, baik dalam perkataan, perbuatan
maupun tasharrufat. Inilah menurut Abd Wahhab Khallaf disebut fiqh Al-Qur’an.[5]
Hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua : yaitu ibadah dan
muamalah. Yang termasuk ibadah adalah shalat zakat haji dan Nazar. Adapun
muamalah adalah hukum yang menurut Abd Wahhab Khallaf dan Kamil Musa yaitu:
Hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyyah) sekitar 70 ayat, Hukum kebendaan
(ahkam madaniyyah) sekitar 70 ayat, Hukum jinayah (ahkam jina’iyyah) sekitar 30
ayat, Hukum peradilan (ahkam murafa’at) sekitar 10 ayat, Hukum dusturi (ahkam
dusturiyyah) sekitar 10 ayat, Hukum negara (al-ahkam dauliyyah) baik regeonal
dan internasional sekitar 25 ayat, dan Hukum ekonomi (ahkam al-iqtishadiyyah)
sekitar 10 ayat. Al-qur’an terdiri atas 30 juz 114 surat dan sekitar 6.000
ayat. Sedangkan ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Menurut Harun Nasution
berkesimpulan bahwa dari sekitar 368 ayat tersebut hanya 228 ayat atau 3,5 %
yang berkenaaan dengan kemasyarakatan.
·
Penjelasan Sunnah
ما اضف الي النبي صلي الله عليه وسلم من قول اوفعل اوتقرير
Artinya: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw baik berupa
perkataan,perbuatan,maupun ketetapan (taqrir)
As-Sunnah
adalah anak kunci pembuka Al-qur’an dan merupakan pelita yang dengan dialah kita
dapat menyingkap haqiqat-haqiqat Al-qur’an. Hadits dipahami sebagai sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan maupun taqrir. Apabila penyandaran ini diriwayatkan oleh mayoritas
ulama yang mustahil berdusta, hadits itu berkualitas mutawatir, semakin rendah
kualitas penyandarnnya, akan semakin rendah pula kualitasnya; pengkategoriannya
menjadi hadits masyhur dan hadits ahad. Kualitas hadits ahad diklasifikasi lagi
menjadi shahih, hasan, dan dha’if. Apabila penyandaran itu terbukti bohong,
riwayat tersebut termasuk maudhu’.
·
Ijtihad Pada Zaman Nabi Muhammad Saw
Para ulama
berkhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad saw terhadap sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dari Allah swt. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama
Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muahammad saw tidak boleh melakukan ijtihad
terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan tentang
amaliah halal dan haram sedangkan ulama ushul seperti Abu Yusuf al-Hanafi dan
al-Syafi’i membolehkannya. Sebagian sahabat al-Syafi’i, al-Qadhi ‘Abd al-Jabar,
dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw melakukan ijtihad
dalam perang bukan dalam bidang hukum .
Menurut
sebagian ulama, Nabi Muhammad saw tiadak berijtihad sebab perkataan, perbuatan,
dan ketetapannya adalah al-Sunnah karena ini sumber hukum islam kedua setelah
Alqur’an dan juga berdasarkan firman Allah swt Surat al-Najm : 3 – 4
وما ينطق عن الهوي . ان هو الا وحي يوحي
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya.
Ikhtilaf
diatas tersebut menimbulkan berbagai komentar antara lain dari ulama Mesir,
Muhammad Salam Madkur mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw melakuakan ijtihad
dalam urusan keduniaan seperti ijtihad beliau dalam mengatur strategi perang.
Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm , Ibn Khaldun dan al-Kamal ibn
al-Hamam berpendapat bahwa Nabi Muahammad saw melakukan shalat. Salah satu
contohnya adalah ijtihad beliau tentang panggilan dan pemberitahuan untuk
melaksanakan shalat. Sebagian sahabat menganjurkan bahwa sebaiknya menggunakan
lonceng seperti lonceng Nashara, sebagian lagi menganjurkan menggunakan
terompet seperti terompet yahudi. Kemudian Umar bertanya keoada Rasulullah saw
“mengapa Tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat..?” Nabi Muahammad
saw bersabda: “hai Bilal, berdirilah dan ajaklah shalat”
B.
Periode Khulafaurrasyi
Periode ini merupakan kedua dalam perkembangan tasyri`
Islami, dimulai wafatnya Rasulullah pada tahun 11 H (632 M-661 M). dan berakhir
pada tahun 41 H ketika Mu`awiyah menjabat sebagai khalifah. Periode ini
hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka sebagai penerus perjuangan Nabi yaitu
mulai khalifah abu Bakar, Umar, Ustman,dan Ali R.A.
Pada periode ini merupakan peranan yang sangat penting
di dalam membela dan mempertahankan agama, dengan memperluas dakwahnya hingga
ke negeri Persia ,
Irak, Syam, dan Mesir. Sehingga dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang
cukup rumit. Karena perluasan wilayah, sehingga perbedaan kultural, tradisi,
situasi dan kondisi membuat para Fuqaha membuat aturan hukum yang muncul
belakangan. Pada saat-saat seperti inilah muncul perbedaan pendapat dan
pemahaman terhadap Nash. Akibat yang lain dari perluasan wilayah inilah
bercampurnya antara orang Arab dengan yang lain. Berbagai ragam pemeluknya
sehingga dibutuhkan aturan yang mengatur antara muslim dengannonmuslim.
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun
tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan
kesepakatan bersama yangdisebutdenganIjma`danQiyas.
·
Pengumpulan al-Qur`an
Sepeninggalan Nabi, al-qur`an belum tersusun secara
rapi masih tertulis pada lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara pada awal
pemerintahan Abu Bakar seringkali terjadi kegoncangan misalnya peperangan
dengan penduduk yamamah yang murtad pimpinan Musailamah. Sehingga sekitar 500
sahabat banyak yang meninggal diantaranya 70 dari Huffadz al-Qur`an. Sehingga
terjadilah kekhawatiran dalam benak Umar bin Khattab yang mengakibatkan
hilangnya warisan al-Qur`an. Hingga akhirnya Umar mengusulkan untuk segera
mengumpulkan al-Qur`an dalam satu muhaf dengan memerintahkansahabatZaidbinTsabit.
Pada masa khalifah yang ke tiga, yaitu periode Ustman
bin Affan muncul perbedaan yang cukup tajam, mengenai masalah bacaan al-Qur`an.
Sehingga mengarah pada permusuhan umat Islam. Hingga akhirnya Ustman
menertibkan bacan al-Qur`an dengan meminta kepada Hafsah istri Nabi untuk
menyerahkan Mushaf yang dikumpulkan pada khalifah Abu Bakar dengan menyuruh
penulis al-Quran misalnya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash
dan Abdurrahman bin harits untuk menertibkan bacaanal-Qur`an.
Pada waktu berakhirnya khalifah Ustman setelah wafat,
maka secara spontan Ali lah yang menggantikannya (656 M). Karena kedekatannya
dengan Nabi adalah sepupu dan menantu Nabi. Sehingga banyak orang beranggapan
yang berhak menggantikan posisinya dari pada sahabat yang lain yang dikenal
dengan paham Syi`ah. Tetapi dalam periode ini terjadi polemik yang besar dengan
terbunuhnya Ustman membuat politik pemerintahan bertambah kacau. yang lebih
memprihatinkan lagi Ibu mertua Beliau, Siti Aisyah bersama Zubair dan Tholkhah
untuk memerangi Ali, karena menuntut terbunuhnya `Ustman. Yang terkenal dengan
sebutan perang jamal (unta). Sedangkan dalam waktu yang sama Ali juga
menggempur orang-orang pro dengan `Ustman di Negeri Syam, di bawah pimpinan
Muawiyah. akhirnya peperangan ini dimenangi oleh pasukan Ali, kemudian
dilanjutkan dengan perang melawan Mu`awiyah yang terkenal dengan perang Siffin.
Yang sebenarnya kemenangan berada pada Ali, tetapi karena kecerdikan Muawiyah
dengan dalih damai dan Ali menerimanya, tetapi hak ini hanya sebagai tipu daya
saja. Sebenarnya banyak pengikut Ali yang tidak setuju dengan pendapat Ali.
Akhirnya pengikut Ali terpecah menjadi tiga golongan yaitu :
Golongan Syiah : golongan yang setia dengan Ali dan
menentang Muawiyah
Golongan Khawarij : golongan yang mulanya setia dengan
Ali, tetapi karena tidak setuju dengan genjatan senjata untuk berunding dengan
Mu`wiyah. Karena mereka lebih senang peperangan dengan Mu`awiyah.
Golongan Jumhur atau golongan ASWAJA ialah golongan
Muslim yang bercorak moderat dan tidak memihak kepada golongan yang manapun.
Sehingga akibat dari perpecahan ini, adalah sangat
besar pengaruhnya terhadap pembentukan hukum Islam. Karena didasarkan dengan
perbedaan pendapat baik dari para perawi hadis maupun fatwa-fatwa mereka.
Misalnya golongan syiah hanya menerima sumber hukum dari golongan mereka
sendiri, yang lebih utama adalah hadis dan fatwa yang datang dari Ali dan para
sahabatnya. Kemudian golongan Khawarij tidak menerima hadis ataupun fatwa yang
datang dari golongan atau para sahabat yang mendukung `Ustman, Ali, maupun
Mu`awiyah. Sedangkan golongan Jumhur menerima segala macam sumber hukum yang
datang dari manapun asalkan sumbernya jelas.
Perlu menjadi catatan penting, bahwa kasus pembunuhan
khalifah `Ustman bukanlah atas perbuatan Ali. Tetapi perbuatan keji dari
golongan ketiga yang ingin merebut kedudukan dengan politik adu domba antara
khalifah `Ustman dengan pendukungnya Ali. Hingga akhirnya Ibnu Muljam yang anti
dengan Ali dapat membunuh sewaktu dia shalat subuh tahun 661 M. sehingga Ali
hanya menjabat sebagai Khalifah selamakuranglebih5tahun.
Pada periode khulafaurrasyidun ini kaitannya dengan
pembentukan sistem fiqh masih belum terbentuk. Sebagai pengganti Nabi dalam
mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari
al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil
musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu.
Hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat Nabi (khulafaurrasyidun)
adalah : pertama, karena sifat dari al-Qur`an sendiri, kedua, sifat dari
as-Sunnah (berbeda dalam menangkap hadis Rasulullah), ketiga, perbedaan dalam
penggunaan ra`yu (akal).
C.
Periode Tabi`in
Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak
pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga
sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas
teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan
bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara
kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas
teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh
berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada
pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa
mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain.
Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika
pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga
awal abad kedua Hijrah.
Dalam pengambilan sumber hukum pada era sahabat dan
tabi`ien, merujuk pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan
keduanya mereka merujuk ijtihad para sahabat dan baru setelah itu mereka
melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Dalam perkembangannya banyak terjadi perbedaan
pendapat dalam pengambilan sumber hukumnya. Antara lain beberapa para Fuqaha
yang berada di kota
Irak yang banyak menggunakan rasionalitas. Mereka juga bukan hanya
menggunakannya sebatas pengambilan hukumnya saja, tetapi beberapa peristiwa
yang belum terjadi pun dapat diprediksikan dan diambil hukumnya yang dipelopori
oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakh`ie yang banyak mewariskan pemikiran fiqh
rasionalitas kepada Abu Hanifah. Tetapi yang perlu digaris bawahi disini adalah
aliran rasionalitas tidak dapat berjalan dengan mulus. Karena banyak mengundang
pertentangan dan reaksi. Diantaranya adalah ulama-ulama Hijaz (Madinah) yang
beranggapan aliran ini menyeleweng dari Manhaj para sahabat hingga berpaling
dari ajaran Rasulullah. Tetapi bukannya fragmentasi fiqhiyah pada periode
"memasung" perkembangan fiqh, sebab apresiasi yang diambil dari
gagasan Ibrahim dan Ulama-ulama Irak banyak mengadakan pertemuan dan dialog untuk
membicarakan persoalan yang berkembang. Hingga pada akhirnya perkembangan
berikutnya terjadi pembaruan pluralisme, heterogenitas pemikiran baik di Irak
maupun Hijaz sendiri yang sangat membantu Tsarwah Fiqhiyah.
Berangkat dari perbedaan pemikiran tadi muncul banyak
perbedaaan ikhtilafiyah. Hingga Dr. Thaha Jabir dalam bukunya Adabul Ikhtilaf
Fil Islam, menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf sebenarnya telah
tumbuh pada masa pemerintahan ketiga, yaitu `Ustman bin Affan.
`Ustman adalah khalifah pertama yang memerintahkan
para sahabatnya untuk menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari sekitar 300
sahabat pergi ke Basyrah dan Kuffah, sebagian lagi ke Mesir dan Syam.
penyebaran ini hingga meluas pada para tabi`ien dapat dipahami karena setiap
daerah masing-masing mempunyai perbedaan situasi, kebiasan dan kebudayaan,
disamping dari kapasitas pemahaman para Fuqaha. Menurut pendapat Ibnul Qayyim
mencatat bahwa perkembangan fiqh pada periode ini disebarkan oleh empat Fuqaha
sahabat terkemuka. Antara lain pengikut Ibnu Mas`ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Umar, dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang madinah misalnya banyak mengikuti
pendapat fiqh dari pengikut Zaid bin tsabit dan Abdullah bin Umar. Sedangkan
orang-orang Mekkah mengikuti pendapatnya dari Abdullah bin Abbas dan di Irak
diwarisi oleh fiqh Ibnu Mas`ud.
Selain dari perbedaan pendapat antara ulama Irak dan Hijaz dan muncul aliran maupun sekte dalam Islam, dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis.
Selain dari perbedaan pendapat antara ulama Irak dan Hijaz dan muncul aliran maupun sekte dalam Islam, dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis.
Dan tradisi ini menjadi amat penting dalam
perkembangan fiqh dan hadis. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz sebagai
khalifah ke delapan dari bani Umayah sering disebut-sebut khalifah pertama yang
sering banyak mengumpulkan hadis dan menuliskannya.
D.
Periode Abbasiyyah
Dari
perjalanan dan rentang sejarah, ternyata bani abbas dalam sejarah lebih banyak
berbuat dari pada bani Ummayah. Pergantian dinasti Ummayah kepada dinasti
Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah
mengubah, menoreh wajah dunia islam dalam refleksi kegiatan ilmiah.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada bani Abbasiyah merupakan pengembangan
wawasan dan disiplin keilmuan.
Kontribusi
ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun
(813-833 M) ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat
peneropongan bintang. Perpustakaan terbesar dan dilengkapi pula dengan lembaga
untuk penerjemahan.
a.
Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809
M)
Khalifah
ini dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H, beliau adalah seorang putra dari
Al-Mahdi dan Khai Zuran, beliau diangkat sebagai khalifah secara resmi pada
tahun 170 H. ketika Harun Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,
kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan. Luas
wilayahnya mulai dari afrika utara hingga ,ke India . Pada masanya hidup pula para
filosof, punjaga, ahli baca Al-Qur’an, dan para ulama dibidang agama. Didirikan
pula perpustakaan yang di beri nama Baitul Hikmah, didalamnya orang-orang dapat
membaca, menulis dan berdiskusi.
Keagungan
Pemerintah Di Zaman Harun Al-Rasyid. Pemerintah khalifah Harun Al-Rasyid
merupakan pemerintahan yang baik dan terhormat, bersih dan penuh kebijakan
serta paling luas daerah pemerintahannya. Beliau adalah seseorang sastrawan
pencipta cerita-cerita lama dan syair-syair. Di zaman pemerintahannya itu
baitul mal di tugaskan menanggung nara
pidana dengan memberikan makanan pada setiap orang.
Penyebab
kekhalifahan Harun Al-Rasyid menjadi masyhur adalah naungannya ke atas ilmu
pengetahuan, dan mendirikan Baitul Hikmah yang merupakan sebuah institusi
kebudayaan dan pikiran cemerlang ketika itu, dan merintis jalan ke arah
kebangkitan eropa.
Dan
yang paling utama adalah buku “Seribu Satu Malam” yang telah menduduki tempat
paling atas dibidang kesusastraan dunia.
b.
Al-Ma’mun (813-833)
Khalifah
Al-Ma’mun lahir pada tahun 170 H / 786 M. bertepatan dengan di angkatnya
bapaknya yaitu Harun Al-Rasyid menjadi khalifah Bani Abbasiyah yang ke enam.
Abdullah
Al-Makmun diangkat menjadi khalifah Bani Abbasiyah yang ke delapan setelah
saudaranya yaitu Al-Amin meninggal dunia. Beliau di lantik oleh khalifah Harun
Al-Rasyid, Al-Ma’mun menyandang gelar khalifah pada tahun 198 H. di zaman Al-Ma’mun
itu bermulalah kerajaan Tahiriyah, hasil dari pelantikan terhadap Thahir bin
Al-Husain sebagai Amir atau pemerintah bagi wilayah Khurrosan pada tahun 205 H.
kerajaan Tahiriyah ini berkelanjutan hingga tahun 259 H. di zaman itu juga
bermula kerajaan Ziyadiyah hasil pelantikan terhadap muhammad bin Ibrahim
As-Ziadi, sebagai Amir di negeri Yaman dan Tihamah pada tahun 203 H untuk
menumpaskan golongan Syiah di sana.
Al-Ma’mun
merupakan salah seorang tokoh khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka, intelektualnya
dan kecintaan kepada ilmu pengetahuan serta jasa-jasanya dibidang tersebut yang
telah meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah. Di
Baitul Hikmah beliau mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, dan
memerintahkan supaya dibeli dan dikumpulkan untuknya buku-buku karya beberapa
bangsa asing, dan memerintahkan supaya diterjemahkan kedalam bahasa arab. Pada
zaman itulah muncul filsafat arab yang agung, yaitu Al-kindi yang menulis
mengenai beberapa ilmu pengetahuan. Al-Hajaj bin Yusuf bin Matr telah
menerjemahkan untuk Al-Ma’mun beberapa buah buku karya Euclides dan buku
Ptolemy.
Di
masa kehalifahaan Al-Ma’mun terdapat dua blok kekuatan utama di kerajaan
tersebut. Salah satunya adalah lingkungan aristokrasi di istana dan yang lain
adalah blok egalitarian dan “Konstitu-Sionalis” yang berdasarkan syari’ah.
Faham
yang dianut oleh khalifah Abdullah Al-Ma’mun adalah faham Mu’tazilah, yang mana
faham tersebut dijadikan sebagai faham resmi negara. Beliau mengemukakan faham
Mu’tazilah sebagai faham resmi negara pada tahun 827 M.
Ciri-ciri
menonjol dinasti Bani Abbasiyah yang tidak terdapat di zaman Ummayah: :
1)
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad ,
pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh arab. Sedangkan dinasti
Bani Ummayah sangat berorientasi kepada arab.
2)
Dalam penyelenggaraan negara,
kepada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala departemen.
3)
Ketentaraan profesional baru
terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas.
Lembaga-lembaga
yang menjalani perkembangan pada masa pemerintahan Bani Abbas diantaranya :
a)
Maktab / kuttab dan masjid, yaitu
lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
hitungan, dan tulisan dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama
seperti tafsir, hadits, fiqh, dan bahasa.
b)
Perpustakaan dan akademi,
perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana
orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Ø
Masa keemasan.
Melihat
perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan. Hal tersebut sangat ditentukan oleh perkembangan
bahasa arab, baik sebagai bahsa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman
Bani Ummayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan
itu paling tidak, juga terdapat faktor-faktor pendukung antara lain, yaitu :
a.
Terjadinya asimilasi antara bangsa
arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang
ilmu pengetahuan, asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
Pengaruh Persia
sangat kuat dibidang pemerintahan, selain itu juga berjasa dalam perkembangan
ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh yunani masuk melalui
terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutamailmufilsafat.
b.
Gerakan terjemah yang berlangsung
dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Harun
Al-Rasyid, dalam menerjemah karya-karya di bidang astronomi dan mantiq. Fase
kedua, berlangsung mulai masa khalifah Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. buku-buku
yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase
ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pemerintahan
Daulah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah Bani Umayah yang
telah runtuh di Damaskus. Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah karena para pendiri
dan penguasa daulah ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad saw.
Keluarga Abbas, Imam Muhammad bin Ali berpendapat bahwa pemindahan kekuasaan
dari keluarga yang satu ke keluarga yang lain harus memiliki kesiapan jiwa dan
semangat rakyat. Dia menyadari bahwa perubahan secara tiba-tiba, bisa berakhir
dengan kegagalan. Oleh karena itu, sangat diperlukan pemikiran yang dapat
memperhitungkan keadaan untuk melancarkan propaganda (gerakan yang menentang
pemerintahan untuk memperoleh kekuasaan) dengan atas nama orang yang terpilih dari
keluarga Nabi Muhammad.
Muhammad
bin Ali meminta kepada masyarakat pendukungnya untuk membantu keluarga Nabi.
Propaganda ini dilakukan dengan cara yang sangat cermat, sehingga banyak tokoh
masyarakat dan tokoh agama yang tertarik dengan propaganda itu.
Muhammad
bin Ali menjadikan kota
Kufah dan Khurasan sebagai pusat kekuatan penyebaran propagandanya. Dua kota ini dianggap sangat
strategis sebagai benteng pertahanan bila terjadi serangan dari Bani Umayah. Di
dalam kedua kota
itu banyak bermukim masyarakat Islam yang bukan Arab. Mereka sangat tidak puas
terhadap kebijakansanaan pemerintahan Bani Umayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar