Senin, 15 Februari 2016

MAHAR

A.    Pengertian Mahar
Kata mahar berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia. Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan: pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita ketika dilangsungkan akad nikah.[1]
Kemudian dijelaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf d mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[2]
Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, uqar dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[3]
Dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama sekali mahar dalam perkawinan, namun KHI mengatur mahar secara panjang lebar dalam pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38. yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.

B.     Hukum Mahar
Dari definisi mahar tersebut jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.[4]
Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu terdapat dalam surat Al Nisa ayat 4 :
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
Artinya :  Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Adapun hadistnya yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al sa’idi dalam suatu kisah dalam bentuk hadist muttafaq ‘alaih :[5]
 يا رسول الله ان لم ىكن لك بها حا جة فزوجيها فقاال هل عند ك من شئ فقا ل لا و الله يا رسول الله فقا ل ا  ا ذهب الي اهلك فا نظر هل تجد شئا فذهب ثم رجع فقا ل لا و الله ما وجدت شئا فقا ل رسول الله ص م انظر ولو خا تما من حد يد
Artinya : Ya Rasululah  bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata : apa kamu memiliki sesuatu , ia berkata : tidak ya Rasul, Nabi berkata : pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. Kemudian dia pergi dan segera kembali dan berkata tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasul, nabi berkata : carilah walaupun hanya cincin besi.

Dari adanya perintah Allah dan Nabi untuk memberikan mahar itu, maka para Ulama sepakat menetapkan hukumnya wajib  memberi mahar kepada istri.Maka Ulama sepakat menetapkannya sebagai syarat sah nikah dalam artian perkawinan tanpa mahar adalah batal, pendapat ini juga didukung oleh ulama Zahiriah.
Dalam KHI pada  pasal 30 dan 31 menjelaskan tentang kewajiban membayar mahar. Adapun pada pasal 30  KHI berisi : calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.. pasal 31 KHI berisi tentang: penentuan besarnya mahar di dasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.[6]
Pada kedua pasal ini dimaksudkan bahwa tidak ada ketentuan hukum yang disepakati ulama tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya, yang jelas meskipun sedikit ia wajib ditunaikan. Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar lebih atau kurang. Sebagaimana tidak memungkinkan untuk diberikan batasan terhadap harga barang-barang yang disukai dengan batas tertentu, oleh karena itu, Rasulullah bersabda :[7]
 التمس ولو خا تما روا ه البخا ري و احمد و ابن ما جه و التر مذ ي

Artinya : langsungkanlah pernikahan meski hanya dengan mahar cincin yang terbuat dari besi.( HR Bukhari, Ahmad, Ibnu Majjah, Turmudzi)

Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa tidak adnya batasan mengenai berapa jumlah minimal mahar diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai wanita, sekalipun mahar tersebut cincin yang terbuat dari besi. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 31 KHI yaitu penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Kemudian pada pasal 32 KHI menjelaskan : mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 33 dalam KHI yaitu:[8]
1.      Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
2.      Apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagainya. Mahar belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang bagi mempelai pria.
Pada pasal 34 KHI menyebutkan:[9]
  1. Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan
  2. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Maksud pada pasal tersebut yaitu pada saat akad nikah berlangsung saat ijab oleh wali mempelai wanita dan dijawab oleh mempelai laki-laki, oleh karenanya sifatnya bukan rukun dalam perkawinan, maka kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu halnya dalam keadaan mahar masih terutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.

C.     Hikmah Diwajibkannya Mahar
Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu timbul beberapa kewajiban materil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi materil berikutnya.[10]

D.     Berlakunya kewajiban mahar
Tentang kapan berlakunya kewajiban membayar mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau kematian seorang di antara suami istri terjadi sebelum dukhull, namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad tentang kapan mahar wajib dibayar keseluruhannya kelihatannya ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabalah sepakat tentang dua syarat : hubungan suami istri dan meninggalnya salah seorang di antara keduanya setelah berlangsung akad nikah.
Pembayaran mahar yang ditangguhkan tersebut tergantung pada persetujuan istri. Apabila mempelai laki-laki belum menyerahkan mahar, mempelai wanita mempunyai hak untuk menolak berhubungan suami istri sampai dengan dipenuhi mahar itu. Hal ini telah dirumuskan dalam KHI pasal 35 ayat 1 yaitu: suami yang mentalak istrinya qabla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al Baqarah ayat 237:[11]





bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÌÐÈ    
Artinya :. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan
.
Pada pasal 35 ayat 2 dijelaskan apabila suami meninggal dunia qabla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. Pada ayat 3 dijelaskan juga bahwa apabila perceraian terjadi qabla ala dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar dipertimbangkan kelayakan yang umum mempelai wanita itu tinggal.[12]
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan yaitu:
1)      Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya
2)      Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat .
3)      Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami itu berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.

E.     Bentuk, Jenis, Dan Nilai Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik itu uang atau barang berharga lainnya. Apabila mahar itu dalam bentuk barang syaratnya adalah:




1)      Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya
2)      Barang itu milik sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan manfaatnya
3)      Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjual belikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjual belikan tidak boleh dijadikan mahar
4)      Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan

F.      Hilang, Rusaknya Atau Terjadinya Perselisihan Antara Suami Istri Dalam Mahar
Pada pasal 36 KHI menjelaskan apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat digantikan dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Meskipun mahar dijelaskan dalam bentuk, jenis, dan nilainya dalam akad perkawinan, namun bila mahar tersebut tidak diserahkan secara langsung dalam akad yang disaksikan dua orang saksi, maka dalam perkawinan selanjutnya bisa terjadi perselisihan. Hal ini dapat diselesaikan dengan cara yang dijelaskan pasal 37KHI yaitu apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan penyelesaiannya ke Pengadilan Agama.
Pada pasal 38 KHI menjelaskan :
a)      Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas
b)      Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap belum dibayar.




[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: kencana, 2007, h 84
[2] Instruksi Presiden RI no 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, h 227
[3] Amir Syarifuddin, op.cit.,, h 84
[4] Ibid, h 86
[5] Ibid, h 86
[6]  Instruksi Presiden RI no 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, h 237
[7] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidh, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 2009, h 436
[8] Instruksi Presiden RI no 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, h238

[9] Ibid
[10] Amir Syarifuddin, op.cit.,h 87
[11] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: pt Raja Grafindo persada, 1995, h 104
[12] Ibid, h 105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar