Kata mahar berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi
bahasa Indonesia. Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan:
pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai
wanita ketika dilangsungkan akad nikah.[1]
Kemudian dijelaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 1 huruf d mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.[2]
Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan : mahar,
shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, uqar dan alaiq. Keseluruhan kata
tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang
diterima.[3]
Dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama
sekali mahar dalam perkawinan, namun KHI mengatur mahar secara panjang lebar
dalam pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38. yang hampir keseluruhannya
mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.
B.
Hukum Mahar
Dari definisi mahar tersebut jelaslah bahwa hukum
taklifi dari mahar adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang
perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang
tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.[4]
Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu terdapat dalam
surat Al Nisa ayat 4 :
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4
bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
Artinya : Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Adapun hadistnya yang berasal dari Sahal
bin Sa’ad al sa’idi dalam suatu kisah dalam bentuk hadist muttafaq ‘alaih :[5]
يا رسول الله ان لم ىكن لك بها
حا جة فزوجيها فقاال هل عند ك من شئ فقا ل لا و الله يا رسول الله فقا ل ا ا ذهب الي اهلك فا نظر هل تجد شئا فذهب ثم رجع فقا
ل لا و الله ما وجدت شئا فقا ل رسول الله ص م انظر ولو خا تما من حد يد
Artinya
: Ya Rasululah bila anda tidak punya
keinginan untuk mengawininya maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata : apa
kamu memiliki sesuatu , ia berkata : tidak ya Rasul, Nabi berkata : pergilah
kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. Kemudian dia pergi dan
segera kembali dan berkata tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasul, nabi berkata
: carilah walaupun hanya cincin besi.
Dari adanya perintah Allah dan Nabi untuk
memberikan mahar itu, maka para Ulama sepakat menetapkan hukumnya wajib memberi mahar kepada istri.Maka Ulama sepakat
menetapkannya sebagai syarat sah nikah dalam artian perkawinan tanpa mahar
adalah batal, pendapat ini juga didukung oleh ulama Zahiriah.
Dalam KHI pada pasal 30 dan 31 menjelaskan tentang kewajiban
membayar mahar. Adapun pada pasal 30 KHI
berisi : calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita
yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.. pasal 31 KHI
berisi tentang: penentuan besarnya mahar di dasarkan atas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.[6]
Pada kedua pasal ini dimaksudkan bahwa
tidak ada ketentuan hukum yang disepakati ulama tentang batas maksimal
pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya, yang jelas meskipun sedikit
ia wajib ditunaikan. Nabi tidak pernah memberikan batasan pada mahar lebih atau
kurang. Sebagaimana tidak memungkinkan untuk diberikan batasan terhadap harga
barang-barang yang disukai dengan batas tertentu, oleh karena itu, Rasulullah
bersabda :[7]
التمس ولو خا تما روا ه البخا ري
و احمد و ابن ما جه و التر مذ ي
Artinya
: langsungkanlah pernikahan meski hanya dengan mahar cincin yang terbuat dari
besi.( HR Bukhari, Ahmad, Ibnu Majjah, Turmudzi)
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa
tidak adnya batasan mengenai berapa jumlah minimal mahar diberikan mempelai
laki-laki kepada mempelai wanita, sekalipun mahar tersebut cincin yang terbuat
dari besi. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 31 KHI yaitu penentuan mahar
berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Kemudian pada pasal 32 KHI menjelaskan :
mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak
pribadinya. Kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 33 dalam KHI yaitu:[8]
1.
Penyerahan mahar
dilakukan dengan tunai
2.
Apabila calon
mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau untuk sebagainya. Mahar belum ditunaikan penyerahannya menjadi
utang bagi mempelai pria.
Pada
pasal 34 KHI menyebutkan:[9]
- Kewajiban penyerahan mahar bukan
merupakan rukun dalam perkawinan
- Kelalaian menyebut jenis dan jumlah
mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan begitu
pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang tidak mengurangi sahnya
perkawinan.
Maksud pada pasal tersebut yaitu pada saat
akad nikah berlangsung saat ijab oleh wali mempelai wanita dan dijawab oleh
mempelai laki-laki, oleh karenanya sifatnya bukan rukun dalam perkawinan, maka
kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak
menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu halnya dalam keadaan mahar masih
terutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.
C.
Hikmah
Diwajibkannya Mahar
Mahar itu merupakan pemberian pertama
seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan
yang pertama karena sesudah itu timbul beberapa kewajiban materil yang harus
dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup
perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan
untuk menghadapi materil berikutnya.[10]
D.
Berlakunya
kewajiban mahar
Tentang kapan berlakunya kewajiban
membayar mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad
nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar
ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau kematian
seorang di antara suami istri terjadi sebelum dukhull, namun suami telah wajib
membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad tentang kapan mahar wajib
dibayar keseluruhannya kelihatannya ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabalah sepakat tentang dua syarat : hubungan suami istri dan meninggalnya
salah seorang di antara keduanya setelah berlangsung akad nikah.
Pembayaran mahar yang ditangguhkan tersebut
tergantung pada persetujuan istri. Apabila mempelai laki-laki belum menyerahkan
mahar, mempelai wanita mempunyai hak untuk menolak berhubungan suami istri
sampai dengan dipenuhi mahar itu. Hal ini telah dirumuskan dalam KHI pasal 35
ayat 1 yaitu: suami yang mentalak istrinya qabla al dukhul wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Hal ini sejalan dengan
firman Allah surat Al Baqarah ayat 237:[11]
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& cqàÿ÷èt ÷rr& (#uqàÿ÷èt Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4
br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)G=Ï9 4
wur (#âq|¡Ys? @ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4
¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÌÐÈ
Artinya :. jika kamu
menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau
dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan
.
Pada pasal 35 ayat 2 dijelaskan apabila
suami meninggal dunia qabla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan
menjadi hak penuh istrinya. Pada ayat 3 dijelaskan juga bahwa apabila
perceraian terjadi qabla ala dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan,
maka suami wajib membayar mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar
yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya
adalah membayar mahar sebesar dipertimbangkan kelayakan yang umum mempelai
wanita itu tinggal.[12]
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga
kemungkinan yaitu:
1)
Dalam keadaan
suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya
2)
Suami menyebutkan
mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau
mahar tersebut cacat .
3)
Suami ada
menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami itu berselisih dalam jumlah
atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
E.
Bentuk,
Jenis, Dan Nilai Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk
materi, baik itu uang atau barang berharga lainnya. Apabila mahar itu dalam
bentuk barang syaratnya adalah:
1)
Jelas dan
diketahui bentuk dan sifatnya
2)
Barang itu milik
sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan manfaatnya
3)
Barang itu sesuatu
yang memenuhi syarat untuk diperjual belikan dalam arti barang yang tidak boleh
diperjual belikan tidak boleh dijadikan mahar
4)
Dapat diserahkan
pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan
F.
Hilang,
Rusaknya Atau Terjadinya Perselisihan Antara Suami Istri Dalam Mahar
Pada pasal 36 KHI menjelaskan apabila
mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat digantikan dengan barang lain
yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau
dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Meskipun mahar dijelaskan dalam bentuk,
jenis, dan nilainya dalam akad perkawinan, namun bila mahar tersebut tidak
diserahkan secara langsung dalam akad yang disaksikan dua orang saksi, maka
dalam perkawinan selanjutnya bisa terjadi perselisihan. Hal ini dapat
diselesaikan dengan cara yang dijelaskan pasal 37KHI yaitu apabila terjadi
selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan penyelesaiannya
ke Pengadilan Agama.
Pada
pasal 38 KHI menjelaskan :
a)
Apabila mahar yang
diserahkan mengandung cacat atau kurang tetapi calon mempelai wanita tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas
b)
Apabila istri
menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar
lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap
belum dibayar.
[1] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Dan Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: kencana, 2007, h 84
[2]
Instruksi Presiden RI no 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, h 227
[3] Amir
Syarifuddin, op.cit.,, h 84
[4] Ibid,
h 86
[5] Ibid,
h 86
[6] Instruksi Presiden RI no 1 tahun 1991, Kompilasi
Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Islam, h 237
[7] Syaikh
Kamil Muhammad Uwaidh, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 2009, h
436
[8]
Instruksi Presiden RI no 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Departemen agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, h238
[9] Ibid
[10] Amir
Syarifuddin, op.cit.,h 87
[11] Ahmad
Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: pt Raja Grafindo persada, 1995,
h 104
[12] Ibid,
h 105




Tidak ada komentar:
Posting Komentar