Larangan perkawinan dalam bahasa
agama disebut dengan mahram. Larangan
perkawinan ada dua macam, pertama larangan abadi (muabbad) dan kedua larangan dalam waktu tertentu [1].
Larangan abadi diatur dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ada
beberapa penyebab dilarangnya perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita, yaitu :[2]
1.
Karena Pertalian
Nasab
a. Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita yang melahirkannya ataupun yang memberikan
keturunan untuknya
b.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita saudara dari yang melahirkannya
2.
Karena Pertalian
Kerabat Semenda
a.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas isterinya
b.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya
c.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya sebelum dukhul
d.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita bekas isteri keturunannya
3.
Karena Pertalian
Susunan
a.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas
b.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah
c.
Apabila seorang laki-laki
menikahi seorang wanita saudara dari sepersusuannya dan kemenakan
sepersusuannya
d.
Apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita bibi sepersusuan dan nenek bibi sepersusuan
e.
Apabila seorang
laki-laki menikahi anak yang disusui istrinya dan keturunannya
Ketentuan
pasal 39 KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah surat an-nisa’ 22-23 :
Artinya
:
“ Dan janganlah kamu
mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”
Adapun
larangan perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah (muaqqat) dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 kompilasi. Pasal 40
dijelaskan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu, yaitu :[3]
a.
Apabila wanita
yang bersangkutan masih terikat suatu perkawinan dengan pria lain
b.
Apabila Seorang
wanita masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain
Adapun
pasal 41 menjelaskan bahwa larangan perkawinan karena pertalian nasab dengan
perempuan yang telah dikawini atau karena sepersusuan, lebih jelasnya berbunyi
sebagai berikut : [4]
(1)
Seorang pria
dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sepersusuan dengan isterinya, seperti :
a.
Saudara kandung,
seayah atau seibu serta keturunannya
b.
Wanita dengan
bibinya atau kemenakannya
(2)
Larangan pada
ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’I tetapi
masih dalam masa iddah. Ketentuan pada pasal 40 dan 41 tersebut didasarkan
kepada firman allah surat an-nisa’ ayat 24 :
Artinya
:
“ Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki
(allah telah menetapkan hokum itu) sebagai ketetapannya atas kamu”
Ada
satu hal lagi yang juga dibicarakan dalam kompilasi mengenai larangan
perkawinan yang berhubungan dengan situasi ini, yaitu pada pasal 54 kompilasi
yang menjelaskan sebagai berikut : [5]
(1)
Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak
boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali
nikah
(2)
Apabila terjadi
perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam keadan
ihram, perkawinannya tidak sah
Pernyataan
pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa salah satu keabsahan perkawinan
menurut kompilasi yaitu bahwa orang yang menikah dan menikahkan tidak sedang
dalam keadaan ihram, baik ihram haji atau ‘umrah.
Larangan
perkawinan juga berlaku pada seorang laki-laki yang telah beristeri empat dan
masih terikat dalam tali perkawinan atau dithalak raj’i masih dalam masa iddah.
Ini diatur dalam pasal 42 yang berbunyi :
Seorang
pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria
tersebut sedang mempunyai empat orang isteri yang keempat-empatnya masih
terikat tali perkawinan atau dithalak raj’I ataupun salah seorang di antara
mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa ‘iddah
thalak raj’i.
Larangan
perkawinan berikutnya adalah antara seorang laki-laki dengan bekas isterinya
yang telah dithalak tiga atau dilian.
Lian adalah tuduhan seorang suami terhadap isterinya bahwa isterinya telah
melakukan zina. Caranya dijelaskan dalam surat an-nur ayat 6-9 yang berbunyi :
Artinya
:
“ Dan orang-orang yang
menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain
diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah atas
nama Allah, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar, Dan (sumpah) yang
kelima, bahwa la’nat allah atasnya jika dia termasuk orang yang berdusta “
Maka
apabila istri yang dituduh oleh suaminya itu mengingkari, maka ia juga diminta
bersumpah empat kali dan yang kelima ia siap menerima laknat allah apabila ia
berdusta.
Larangan
perkawinan terhadap istri yang telah ditalak tiga dan yang dili’an diatur dalam
pasal 43 kompilasi, yaitu :[6]
(1)
Dilarang
melangsungkan perkawinan seorang pria :
a.
Dengan seorang
wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b.
Dengan wanita
bekas istrinya yang dili’an
(2)
Larangan
tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istri tadi kawin dengan pria
lain kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa
iddahnya
Selanjutnya
pasal 44 KHI menegaskan bahwa “seorang wanita islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam” [7]. Pasal
ini mengisyaratkan agar kepada umat islam sedapat mungkin tidak melakukan
perkawinan antar agama, karena pertimbangan mudharatnya lebih besar dari
manfaatnya. Karena antara pemeluk islam dan selain islam terdapat perbedaan
prinsip yang tidak jarang justru jadi pemicu munculnya konflik dalm rumah
tangga. Ini tentu tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dalam mengarungi
bahtera rumah tangga.
Masih
ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam dalam KHI yaitu
nikah mut’ah. Nikah Mut’ah disebut
juga al-zawaj al-muaqqat atau al-zawaj al-munqati’ adalah perkawinan
seorang laki-laki dan perempuan yang dibatasi, misalnya satu hari, satu minggu,
satu bulan atau dalam satuan waktu tertentu [8].
Dari
berbagai sumber sunni disebutkan bahwa nikah mut’ah disepakati keharamannya
oleh imam-imam mazhab. Menurut sayyid sabiq, nikah mut’ah adalah nikah bathil
yang dilarang oleh islam. Dan Ibnu rusyd lebih tegas lagi menegaskan bahwa
nikah mut’ah diharamkan berdasarkan riwayat yang mutawatir, yang artinya
sebagai berikut :
“ Wahai manusia aku
pernah mengizinkan kalian kawin mut’ah dengan wanita dan sungguh allah telah
mengharamkan yang demikian sampai hari kiamat, barangsiapa yang memiliki istri
maka hendaklah ditutup jalannya, dan janganlah kalian ambil apa-apa yang telah
kalian berikan kepada mereka barang sedikitpun ”(Riwayat Muslim)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar