Senin, 15 Februari 2016

LARANGAN PERKAWINAN

            Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan mahram. Larangan perkawinan ada dua macam, pertama larangan abadi (muabbad) dan kedua larangan dalam waktu tertentu [1]. Larangan abadi diatur dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ada beberapa penyebab dilarangnya perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, yaitu :[2]
      1.      Karena Pertalian Nasab
        a.   Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang melahirkannya ataupun yang memberikan keturunan untuknya
b.      Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.       Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita saudara dari yang melahirkannya
2.      Karena Pertalian Kerabat Semenda
a.       Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas isterinya
b.      Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya
c.       Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya sebelum dukhul
d.      Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita bekas isteri keturunannya
3.      Karena Pertalian Susunan
a.       Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.      Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
c.       Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita saudara dari sepersusuannya dan kemenakan sepersusuannya
d.      Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita bibi sepersusuan dan nenek bibi sepersusuan
e.       Apabila seorang laki-laki menikahi anak yang disusui istrinya dan keturunannya
Ketentuan pasal 39 KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah surat an-nisa’ 22-23 :
                                                          

Artinya :
“ Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh       ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”
Adapun larangan perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah (muaqqat) dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 kompilasi. Pasal 40 dijelaskan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu :[3]
a.       Apabila wanita yang bersangkutan masih terikat suatu perkawinan dengan pria lain
b.      Apabila Seorang wanita  masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
Adapun pasal 41 menjelaskan bahwa larangan perkawinan karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini atau karena sepersusuan, lebih jelasnya berbunyi sebagai berikut : [4]
(1)   Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sepersusuan dengan isterinya, seperti :
a.       Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
b.      Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
(2)   Larangan pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’I tetapi masih dalam masa iddah. Ketentuan pada pasal 40 dan 41 tersebut didasarkan kepada firman allah surat an-nisa’ ayat 24 :
Artinya :
“ Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (allah telah menetapkan hokum itu) sebagai ketetapannya atas kamu”
            Ada satu hal lagi yang juga dibicarakan dalam kompilasi mengenai larangan perkawinan yang berhubungan dengan situasi ini, yaitu pada pasal 54 kompilasi yang menjelaskan sebagai berikut : [5]
(1)   Selama  seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah
(2)   Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam keadan ihram, perkawinannya tidak sah
Pernyataan pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa salah satu keabsahan perkawinan menurut kompilasi yaitu bahwa orang yang menikah dan menikahkan tidak sedang dalam keadaan ihram, baik ihram haji atau ‘umrah.
Larangan perkawinan juga berlaku pada seorang laki-laki yang telah beristeri empat dan masih terikat dalam tali perkawinan atau dithalak raj’i masih dalam masa iddah. Ini diatur dalam pasal 42 yang berbunyi :
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai empat orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau dithalak raj’I ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa ‘iddah thalak raj’i.
Larangan perkawinan berikutnya adalah antara seorang laki-laki dengan bekas isterinya yang telah dithalak tiga atau dilian. Lian adalah tuduhan seorang suami terhadap isterinya bahwa isterinya telah melakukan zina. Caranya dijelaskan dalam surat an-nur ayat 6-9 yang berbunyi :



Artinya :
“ Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah atas nama Allah, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar, Dan (sumpah) yang kelima, bahwa la’nat allah atasnya jika dia termasuk orang yang berdusta “
Maka apabila istri yang dituduh oleh suaminya itu mengingkari, maka ia juga diminta bersumpah empat kali dan yang kelima ia siap menerima laknat allah apabila ia berdusta.
Larangan perkawinan terhadap istri yang telah ditalak tiga dan yang dili’an diatur dalam pasal 43 kompilasi, yaitu :[6]
(1)   Dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria :
a.       Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b.      Dengan wanita bekas istrinya yang dili’an
(2)   Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istri tadi kawin dengan pria lain kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya
Selanjutnya pasal 44 KHI menegaskan bahwa “seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam” [7]. Pasal ini mengisyaratkan agar kepada umat islam sedapat mungkin tidak melakukan perkawinan antar agama, karena pertimbangan mudharatnya lebih besar dari manfaatnya. Karena antara pemeluk islam dan selain islam terdapat perbedaan prinsip yang tidak jarang justru jadi pemicu munculnya konflik dalm rumah tangga. Ini tentu tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Masih ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam dalam KHI yaitu nikah mut’ah. Nikah Mut’ah disebut juga al-zawaj al-muaqqat atau al-zawaj al-munqati’ adalah perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang dibatasi, misalnya satu hari, satu minggu, satu bulan atau dalam satuan waktu tertentu [8].
Dari berbagai sumber sunni disebutkan bahwa nikah mut’ah disepakati keharamannya oleh imam-imam mazhab. Menurut sayyid sabiq, nikah mut’ah adalah nikah bathil yang dilarang oleh islam. Dan Ibnu rusyd lebih tegas lagi menegaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan berdasarkan riwayat yang mutawatir, yang artinya sebagai berikut :
“ Wahai manusia aku pernah mengizinkan kalian kawin mut’ah dengan wanita dan sungguh allah telah mengharamkan yang demikian sampai hari kiamat, barangsiapa yang memiliki istri maka hendaklah ditutup jalannya, dan janganlah kalian ambil apa-apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikitpun ”(Riwayat Muslim)





[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta , 2000, h. 122
[2] KHI, h.239-240
[3] Ibid, h. 241
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, h.242
[7] Ibid
[8] Amir Syarifuddin, Hukum Pererkawinan Islam di Indonesia, 2006, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h.65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar