Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang
berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan
pengertian sebagai berikut :
- Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj
mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang
perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas
meninggal suaminya.
- Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi
memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu,
hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
- Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan
pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan
sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
- Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa
lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah
kematian suaminya.”
Selain
pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang
diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir
bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang
perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh
kawin lagi.[1]
B. Macam-Macam Iddah
1. Iddah karena cerai mati.
Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu
ada dua keadaan, yaitu: Jika perempuan
tersebut hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam surah Ath-Thalaq ayat 4.
Ï«¯»©9$#ur
z`ó¡Í³t
z`ÏB
ÇÙÅsyJø9$#
`ÏB
ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS
ÈbÎ)
óOçFö;s?ö$#
£`åkèE£Ïèsù
èpsW»n=rO
9ßgô©r&
Ï«¯»©9$#ur
óOs9
z`ôÒÏts
4 àM»s9'ré&ur
ÉA$uH÷qF{$#
£`ßgè=y_r&
br&
z`÷èÒt
£`ßgn=÷Hxq
4 `tBur
È,Gt
©!$#
@yèøgs
¼ã&©!
ô`ÏB
¾ÍnÍöDr&
#Zô£ç
ÇÍÈ
Artinya.: “dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq :4)
Demikian
pula telah disebutkan dalam sebuah Hadits Rasulullah yang artinya : “Kalau
seorang perempuan melahirkan sedang suaminya meninggal belum dikubur, ia boleh
bersuami.” Tetapi jika tidak hamil, maka masa iddahnya empat bulan
sepuluh hari. Hal ini sebagaimana disebutkan firman Allah pada surah Al Baqarah
ayat 234.[2]
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya.: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
(Al Baqarah : 234)
2. Iddah cerai hidup.
Perempuan yang dicerai dalam posisi cerai hidup dalam hal
ini ada tiga keadaan yaitu:
1)
Dalam keadaan
hamil iddahnya sampai melahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
pada surah Ath-Thalaq ayat 4.
2)
Dalam keadaan
sudah dewasa (sudah menstruasi) masa iddahnya tiga kali suci.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya.: “ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
(Al Baqarah : 228.)
3)
Dalam keadaan belum dewasa (belum pernah menstruasi) atau sudah putus
menstruasi (menopause), iddahnya adalah tiga bulan. Perhatikan pula
firman Allah dalam surah Ath Thalak ayat 4
3. Iddah bagi perempuan yang belum digauli
Maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Artinya
boleh langsung menikah setelah dicerai oleh suaminya. Perhatikan firman Allah
dalam surah Al-Ahzaab ayat 49.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
Artinya.: “. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.
(Al-Ahzaab
: 49)
Masa Tunggu (Iddah) diatur dalam UURI Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang termaktub didalam pasal 11, yaitu:
Pasal
11
(1) Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang
waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.[3]
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9
Tahun 1975 Tentang Perkawinan, Iddah (masa tunggu) disebutkan didalam Pasal 39,
yang berbunyi:Pasal 39
(1)
Waktu tunggu
bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
ditentukan sebagai berikut:
a.
Apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga
puluh) hari.
b.
Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan ditetapkan 3(tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sebilan puluh)
hari.
c.
Apabila
perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
(2)
Tidak ada waktu
tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3)
Bagi perkawinan
yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.[4]
Dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah
diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal 153 diatur mulai dari ayat
(1) sampai dengan (6), berbunyi :
Pasal 153
(1)
Bagi seorang
isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla
al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami
(2)
Waktu tunggu
bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.
Apabila
perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.
Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh)
hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c.
Apabila
perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.
Apabila
perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3)
Tidak ada waktu
tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda
tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.
(4)
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5)
Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid
sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga
kali waktu suci.
(6)
Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena
menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu
tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.[5]
C.
Eksistensi
Iddah dalam Pernikahan
Sebagaimana pertanyaan yang sering
dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik
karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah,
dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya. Adanya iddah itu ada beberapa
tujuan diantaranya sebagai berikut:
Menurut
Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
1. Bagi
suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan
istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
2. Bagi
istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya; yaitu
sedang hamil atau tidak sedang hamil.
3. Sebagai
masa transisi.
Menurut
KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk
menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2. Peristiwa
perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar
kekal.
3. Dalam
perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa
berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
4. Bagi
perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan
kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”
Selain
apa yang dikemukakan di atas, adanya iddah itu mempunyai manfaat sebagai
berikut :
1. Iddah untuk memastikan hamil atau tidaknya
seseorang.
Diperlukannya iddah bagi
perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau hidup,
salah satu manfaatnya adalah untuk mengetahui kekosongan rahim seorang wanita
dari kehamilan.
2. Iddah sebagai masa berkabung.
Bagi para wanita yang ditinggal oleh suaminya mati, wajib
baginya berkabung. “Para ulama mazhab sepakat atas wajibnya wanita yang
ditinggal mati suaminya untuk melakukan (hidad) berkabung, baik itu
wanita itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun non muslimah.
Kecuali Hanafi, mazhab ini mengatakan bahwa wanita zimmi dan masih kecil tidak
harus menjalani hidad sebab mereka tidak dikenai kewajiban (gairu
taklif).
Islam membatasi masa
berkabung atau meratapi atas meninggalnya seseorang. Bagi orang lain selain
istri atau suami masa berkabung dibolehkan hanya 3 hari, namun bagi istri
batas maksimal adalah 4 bulan sepuluh hari.
3. Iddah sebagai saat strategis bagi pihak-pihak dan
saat berpikir yang baik untuk dapat rujuk kembali
Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya,
maka ia akan merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya.
Sebelumnya seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah
dengan istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya
lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat
inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk
baiknya bercerai itu.
Baik
pengaruhnya terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat,
Terhadapadanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan
negatifnya handai taulan, dan
lain-lain. Dampak negatif tentunya perlu ditekan semaksimal mungkin.
Adanya
Iddah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan
masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang terbaik
untuk kehidupan mereka selanjut nya.
4. .Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah.
Selain
tujuan-tujuan iddah sebagaimana diungkapkan diatas, pelaksanaan beriddah juga
merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni
Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita
muslim untuk mentaatinya.
Apabila
wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati.
Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki
laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beriddah inilah yang merupakan
gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung
nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan
manfaat beriddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala
apabila ditaati dan berdosa bila dilangar dari Allah SWT
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah di
atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Iddah
merupakan batas menunggu bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik
karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami lagi.
2. Lamanya
iddah bagi wanita yang bercerai dengan suaminya, yaitu : Iddah wanita
yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tiga bulan, Iddah
wanita yang telah lewat masa iddahnya (manoupuse) = tiga bulan. Iddah wanita
hamil = sampai melahirkan dan Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan
sepuluh hari.
3. Manfaat
dari adanya iddah diantaranya adalah untuk:
a. Mengetahui
kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
b. Gambaran
nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
c. Lamanya
batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
d. Tenggang
waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau
meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan ;
e. Sebagai
ujian terhadap kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar