Senin, 15 Februari 2016

IDDAH (MASA TUNGGU)

A.    Pengertian Iddah
      Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
  1. Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
  2. Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
  3. Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
  4. Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”
Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.[1]
B.     Macam-Macam Iddah
1.      Iddah karena cerai mati.
            Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan,  yaitu: Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah Ath-Thalaq ayat 4.
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ  
Artinya.: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq :4)
Demikian pula telah disebutkan dalam sebuah Hadits Rasulullah yang artinya :  “Kalau seorang perempuan melahirkan sedang suaminya meninggal belum dikubur, ia boleh bersuami.”  Tetapi jika tidak hamil, maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana disebutkan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 234.[2]
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Artinya.: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Al Baqarah  : 234)
2.      Iddah cerai hidup.
            Perempuan yang dicerai dalam posisi cerai hidup dalam hal ini ada tiga keadaan yaitu:
1)      Dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Ath-Thalaq ayat 4.
2)      Dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi) masa iddahnya tiga kali suci. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
Artinya.: “ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Baqarah : 228.)
3) Dalam keadaan belum dewasa (belum pernah menstruasi) atau sudah putus menstruasi (menopause), iddahnya adalah tiga bulan. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Ath Thalak ayat 4
3.      Iddah bagi perempuan yang belum digauli
            Maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Artinya  boleh langsung menikah setelah dicerai oleh suaminya. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ahzaab ayat 49.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ  
Artinya.: “. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”. (Al-Ahzaab : 49)
            Masa Tunggu (Iddah) diatur dalam UURI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang termaktub didalam pasal 11, yaitu:
            Pasal 11
(1)   Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka  waktu tunggu.
(2)   Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.[3]
            Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan, Iddah (masa tunggu) disebutkan didalam Pasal 39, yang berbunyi:Pasal 39
(1)   Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3(tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sebilan puluh) hari.
c.       Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2)   Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3)   Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.[4]
            Dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal 153 diatur mulai dari ayat (1) sampai dengan (6), berbunyi :
Pasal 153
(1)   Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami
(2)   Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari,  dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c.       Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.      Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3)   Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.
(4)    Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5)    Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
(6)    Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.[5]
C.    Eksistensi Iddah dalam Pernikahan
      Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya. Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
1.      Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
2.      Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
3.      Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2.      Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
3.      Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
4.      Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”
Selain apa yang dikemukakan di atas, adanya iddah itu mempunyai  manfaat sebagai berikut :
1.      Iddah untuk memastikan hamil atau tidaknya seseorang.
                  Diperlukannya iddah bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau hidup, salah satu manfaatnya adalah untuk mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan.
2.      Iddah sebagai masa berkabung.
            Bagi para wanita yang ditinggal oleh suaminya mati, wajib baginya berkabung. “Para ulama mazhab sepakat atas wajibnya wanita yang ditinggal mati suaminya untuk melakukan (hidad) berkabung, baik itu wanita itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun non muslimah. Kecuali Hanafi, mazhab ini mengatakan bahwa wanita zimmi dan masih kecil tidak harus menjalani hidad sebab mereka tidak dikenai kewajiban (gairu taklif).
Islam membatasi masa berkabung atau meratapi atas meninggalnya seseorang. Bagi orang lain selain istri atau suami masa berkabung dibolehkan hanya 3 hari,  namun bagi istri batas maksimal adalah 4 bulan sepuluh hari.
3.      Iddah sebagai saat strategis bagi pihak-pihak dan saat berpikir yang baik untuk dapat rujuk kembali
            Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.
Baik pengaruhnya  terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat, Terhadapadanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya   handai taulan, dan lain-lain. Dampak negatif tentunya  perlu ditekan semaksimal mungkin.
Adanya Iddah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjut nya.
4.      .Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah.
Selain tujuan-tujuan iddah sebagaimana diungkapkan diatas, pelaksanaan beriddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi  wanita muslim untuk mentaatinya.
Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki laki lain. Kemauan untuk mentaati  aturan beriddah inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilangar  dari Allah SWT

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Iddah merupakan batas menunggu bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami lagi.
2.      Lamanya iddah bagi wanita yang bercerai dengan suaminya, yaitu :  Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tiga bulan, Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (manoupuse) = tiga bulan. Iddah wanita hamil = sampai melahirkan dan Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
3.      Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah untuk:
a.       Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
b.      Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
c.       Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
d.      Tenggang waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan  ;
e.       Sebagai ujian terhadap kesabaran.




[1] www//masatunggudalamperspektif.com.(23/12/10)
[2] BasyirAzhar., Hukum Perkawinan Islam, , (2007 ,Yogyakarta: UII Press), hal.,112

[3] Subekti,., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , (2004,Jakarta: Pradnya Paramita).hal.541

[4] Subekti,., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , (2004,Jakarta: Pradnya Paramita).hal.573

[5] Tim Citra Umbara Kompilasi Hukum Islam., ( 2009,Bandung: Citra Umbara) hal.282

Tidak ada komentar:

Posting Komentar