Senin, 15 Februari 2016

HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN KEKUATAN HUKUMNYA

A. Latar Belakang Keberadaan Hukum Islam di Indonesia
Abdul wahab khalaf merinci sebagai berikut[1] :
1. Hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan lainnya. Ayat al-qur’an yang membicarakan masalah ini sekitar 70 ayat.
2. Hukum Sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti : jual beli,sewa menyewa,utang piutang,dan lain-lain,agar tercipta hubungan yang harmonis di dalam masyarakat. Ayat al-qur’an mengaturnya dalam 70 ayat.
3. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk kejahatan atau pelanggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk memelihara kehidupan manusia ,harta,kehormatan,hak serta membatasi hubungan perbuatan pidana dan masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam 30 ayat.
4. Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat) yaitu hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur cara beracara di lembaga peradilan. Tujuannya ayat al-qur’an mengatur masalah ini dalam 13 ayat.
5. Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan dengan sistem hukum yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang dikuasai atau rakyatnya,hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat,diatur dalam 10 ayat.
6. Hukum Internasional (al-ahkam al-duwaliyah) mengatur hubungan antar negara islam dengan negara lainnya dan hubungan dengan non muslim, baik dalam masa damai atau dalam masa perang. Al-qur’an mengaturnya dalam 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi (al-ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah). Hukum ini mengatur hak-hak seorang pekerja dan orang yang mempekerjakannya,dan mengatur sumber keuangan negara dan perindustriannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Diatur dalam al-qur’an sebanyak 10 ayat.
Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya memeliki kedudukannya yang amat penting. Namun sebagian besar, menurut Abdurahman Wahid kini sebagian besar merupakan proyeksi teoritis dan pengkajiannya lebih bersifat ‘pertahanan’ daripada kemusnahan, Bekas-bekasnya dan pengaruhnya yang masih tampak,lambat laun terjadi proses yang menuntut adanya penilaian ulang agar hukum islam tidak kehilangan elan vitalnya dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat yang terus menerus berkembang munculnya imam-imam mazhab, masih menurut Abdurrahman Wahid, tidaklah dengan sendirinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Islam.[2]
Di Indonesia, hukum Islam pernah dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski didominasi oleh fiqh syafi’i. Hal ini, kata Rahmat djatnika, fiqh Syafi’iyah lebih banyak dan dekat dengan kepribadian Indonesia.[3]
Hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum islam. Di wjo misalnya,hukum waris hukum islam dan hukum adat ,keduannya menyatu dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum islam. Sosialisasi hukum islam pada zaman Sultan Agung sangat hebat, sampai ia menyebut dirinnya sebagai”Abdul Rahman Khalifatullah sayidina Pantagama”, Demikian juga di Banten Pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa hukum adat dan hukum agama tidak ada bedanya. Juga di sulawesi. Kenyataan semacam ini diakui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. Dibawah ini akan di kemukakan teori-teori berlakunya hukum islam di Indonesia.[4]
1. Teori Receptio in Complexu
Teori ini dimunculkan oleh Van Den Berg,berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam di terima (diresepsi) secara menyeluruh oleh ummat Islam.
2. Teori Receptie
Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang hukum berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat . jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
3. Teori Receptie Exit Atau Receptie a Contrario
Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.yaitu hukum Islam dapat dilaksanakan ,apabila diterima (diresepsi) hukum adat, maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan hukum Islam harus dikeluarkan ,dilawan atau di tolak.[5]
B.  Hukum Islam di Indonesia Dan kekuatan Hukumnya
Membicarakan kekuatan hukum dari Hukum Islam di Indonesia perlu dipahami dari macam produk pemikiran Hukum Islam itu sendiri. Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa setidaknya ada empat produk hukum pemikiran hukum Islam yang telah berkembang dan berlaku di Indonesia, seiring pertumbuhan dan perkembangannya. Empat produk pemikiran hukum Islam tersebut adalah fiqih,Fatwa ulama, hakim,keputusan pengadilan, dan perundang-undangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para hakim dan para pihak yang berperkara dengan berlakunya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, terikat dan berkewajiban untuk sepenuhnya melaksanakan isinya. Dalam konteks tertentu, sebagai hakim dengan kewenangan ijtihad yang dimilikinya, dapat menyempurnakannya melalui keputusan-keputusan yang dikeluarkannya sebagai yurisprudensi hukum.
Hukum Islam dalam bentuk fatwa, seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia, sifatnya kasuistik. Ia merupakan respons atau jawaban terhadap pertanyaan yang di ajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Berikutnya produk pemikiran hukum Islam berupa keputusan Pengadilan Agama. Keputusan Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara. Akan halnya produk pemikiran hukum Islam yang berbentuk perundang-undangan, bersifat mengikat dan bahkan daya ikatnya lebih luas. Dinamikianya agak lamban, karena sebagai peraturan organik, kadang tidak cukup elastis untuk mengantisipasi tuntunan waktu dan perubahan. Dengan mengambil contoh Undang-undang perkawinan misalnya, yang didalamnya terdapat muatan-muatan hukum Islamnya, ia mengikat semua warga masyarakat Indonesia.




[1] . Abdul Wahab al-Khalaf, ‘ilm usul al-fiqh, Jakarta : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,1410/1990,cet.8,hlm.96
[2] . Abdurrahman Wahid, menjadikan Hukum Islam sebagai penunjang Pembangunan, dalam Tjun surjaman(ed) Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung : Rosda Karya,1991,hlm.3.
[3] . Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo,1995, hlmn.12
[4] .ibid. hlmn.13
[5] . Sajuti ,Receptio A contrario,Jakarta: Bina Aksara,1982,hlm.65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar