Senin, 15 Februari 2016

HALANGAN DAN AKIBAT HUKUM PEMINANGAN

1. Halangan Peminangan
Dalam al-Qur’an dan dalam Hadist Nabi memang ada yang membicarakan soal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya Mubah, namun Ibnu Rusyd dalam Bidayatul al-Mujtahid yang menukil pendapat Daud al- Azzahiry yang mengatakan hukumnya adalah Wajib.[1]
Berbicara masalah halangan peminangan tentunya tidak lepas dari bahasan syarat peminangan itu sendiri, karena antara dua pembahasan ini ada keterikatan yang akan mengantarkan kepada pemahaman yang lebih kongkrit dan jelas.
Adapaun mengenai persyaratan pemingangan ini jelas diuraikan dalam KHI yang termaktub pada pasal 12 yang berbunyi:
1)      Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa Iddahnya.
2)      Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa Iddah Raji’ah, haram dan dilarang untuk dipinang.
3)      Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain,  selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
4)      Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.[2]
Dalam pasal 1 dan 2 dijelaskan bahwa wanita yang boleh dipinang itu adalah wanita yang masih Bikir (perawan) dan wanita yang telah menjadi janda dan habis masa Iddahnya, dua pasal ini dapat dipahami sebagai syarat peminangan, sedangkan di dalam pasal 3 dan 4 juga mengemukakan mengenai syarat peminganan tersebut.
Dalam Undang-Undang Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13, keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fiqh madzhab, terutama Madzhab Syafi’i. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang dilakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai permasalahan peminangan namun Undang-Undang ini sedikit menyinggung terhadap larangan menikahi seorang wanita yang masih terikat dalam tali perkawinan, sebagaimana dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,  kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal (4) Undang-Undang ini.[3]
Pasal 3 ayat 2 yang dimaksud dalam pasal ini adalah jika ada izin dari pengadilan yang merupakan dispensasi bagi seseorang yang ingin kembali menikah tentunya setelah melewati berbagai perosedur dan persyaratan.
Sedangkan di dalam BW mengenai masalah peminangan ini juga tidak diatur secara jelas, sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BW hanya menyinggung sedikit masalah syarat-syarat terhadap sesuatu yang harus dipenuhi supaya bisa melangsungkan perkawinan, BW mengaturnya di dalam pasal 27, 33, dan 34 yang berbunyi:
27. Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
33.Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3 atau 4, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
34. Seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.[4]
Dalam pasal-pasal ini dijelaskan bahwa seseorang wanita tidak boleh kawin dalam keadaan tertentu dan ditentukan dalam kurun waktu tertentu, dapat dipahami bahwa tidak boleh juga meminang atau melamar wanita-wanita yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut.
Dalam konteks Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia pasal-pasal mengenai perkawinan pada Buku I BW ini tidak berlaku lagi dalam tataran Hukum Nasional dikarenakan hal ini sudah diatur dalam sebuah Undang-Undang khusus yang berlaku Nasional yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pemberlakuan secara Nasional ini jelas termaktub di dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
Bahwa sesuai dengan Falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan Hukum Nasional perlu adanya Undang-Undang yang berlaku bagi semua warga negara.[5]
Dan juga, ketentuan tidak berlakunya lagi beberapa pasal di dalam BW ini juga diatur dalam ketentuan penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 66 yang berbunyi:
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.'1933 No. 4), Peraturan Perkawinan Canipuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.[6]

Dengan berlakunya ketentuan ini berlakulah kaedah hukum yang berlaku suatu Adagium Lex Specialis Derogat Lagi Generali (Undang-Undang yang sifatnya lebih khusus mengenyampingkan Undang-Undang yang bersifat lebih umum).[7]

Dari ketiga perbandingan aturan di atas (KHI, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, KUHPerdata/BW) dapat kita ambil pemahaman bahwa wanita yang statusnya kebalikan dari apa yang dijelaskan diatas adalah terlahalang untuk dipinang, dengan rincian sebagai berikut:
a.       Terhalang meminang jika seorang wanita masih berstatus sebagai istri orang lain.
b.      Terhalang meminang jika wanita tersebut dalam pinangan orang lain sebagai mana Hadist Rasulullah:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”[8]

c.       Terhalang meminang jika wanita dalam masa iddah raj’i, atau perempuan yang mnejalani masa tunggu raj’i, bekas suaminya-lah yang berhak merujukinya,[9] sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( al-Baqarah:2: 228)
Dalam peminangan, laki-laki yang meminang dapat melihat wanita yang dipinangnnya,  melihat (nazar) hukumnya Sunnah. Dengan melihat dapat diketahui identitas dan kepribadian si calon istri sebagaimana Sabda Rasulullullah:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah![10]
Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama jumhur adalah melihat muka dan kedua tangannya.
Diantara perbedaan itu sebagai berikut:
·         Jumhhur Ulama berpendapat boleh hanya melihat muka dan telapak tangan.
·         Ulama lain seperti al-Awza’i berpendapat boleh melihat bagian yang berdaging.
·         Daud Zahiri berpendapat boleh melihat seluruh badan, karena Hadist Nabi yang membolehkan melihat waktu meminang tidak menyebutkan batasan-batasannya.[11]

Adapun waktu boleh melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyampaikan pinangan, bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.[12]
Hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab-Kitab Fiqih tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang dilakukan setelah berlangsungnnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, melihat perempuan dan cara-caranya tidak diatur dalam KHI.
  1. Akibat Hukum Peminangan
Pada dasarnya apabila terjadi sebuah peminangan maka secara hukum ia belum masuk ke ranah perkawinan, biasanya setelah peminagan barulah dilangsungkan akad perkawinan, namun peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi, laki-laki yang meminang atau pihak perempuan yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan perkawinan tersebut, meskipun dahulunya ia menerima.
Walaupun demikian pemutusan peminangan itu hendaknya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun, begitupun juga jika ada pemberian yang diberikan kepada salah satu pihak dalam peminangan, pemberian itu tidak pula menyakut apa-apa dengan mahar, dengan demikian pemberian tersebut dapat saja diambil kembali bila pemingan itu tidak berlanjut ke tahapan akad nikah, pemberian ini harus dibedakan dengan mahar, mahar adalah pemberian yang diucapkan di dalam akad nikah nantinya, sementara pemberian ini termasuk dalam hadiah atau hibbah, maka jika peminagan tidak berlanjut kepada aqad nikah hendaklah status pemberian tiu diperjelas dan diselesaikan dengan cara musyawarah dan tidak menimbulkan retaknya kerukunan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah sebagai mana hubungan laki-laki dengan perempuan yang bukan Mahram-nya   (ajnaby dan ajnabiyah), oleh karena itu belumlah berlaku hak dan kewajiban kepada keduanya, dan diantara keduanya haram melakukan khalwat dan ikhtilath, sebagaimana haramnya antara laki-laki yang belum menjadi suami istri.[13]
Sebagai mana kutipan Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir, menyatakan Nabi SAW bersabda:
“barang siapa yang beriman kepda Allah dan hari akhir, maka janganlah mereka bersepi-sepi dengan perempuan yang tidak disertai mahramnnya, karena yang ketiga diantara mereka adalah syaitan”
Namun, apabila kita mencoba mengkaitnya dengan hak meminang orang lain terhadap seseorang yang dipinang, maka berakibat terhadap tertutupnya hak orang lain untuk meminang sampai orang yang pertama meminang memutuskan pinagannya atau ada hal lain yang menyebabkan peminangan itu terputus.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, UU perkawinan tidak menjelaskan dan mengutarakan aturan mengenai peminangan, ini disebabkan karena peminangan tidaklah sebagai hubungan yang mengikat seperti perkawinan, lain halnya dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), KHI mengatur pemingan dalam pasal 1, 11, 12, dan 13 keseluruhan pasal itu ditransformasikan dari Fiqih Mazhab terutama Mazhab Syafi’i.
Mengenai akibat hukum peminangan lebih tegas ditulis dalam pasal 13 KHI yang berbunyi:
1)      Peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2)      Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan Agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.[14]
Maka dapat disimpulkan Akibat Hukum daripemingan ini adalah sebagai berikut:
  1. Belum menimbulkan akibat hukum, para pihak dapat memutuskan hubungan kapan saja.
  2. Kebebasan memutuskan hubungan harus dilaksanakan dengan cara yang baik, yakni sesuai dengan tuntunan agama dan tata cara se- tempat. (KHI, Pasal 13)
  3.  Pemberian dalam pinangan harus dibedakan dengan mahar.







[1] Ibnu Rusd Al-Qurtuby, Bidayatulmujtahid, 595 H,  Juzu’ II, h. 43
[2] Instruksi Presiden RI.No 1 Tahun 1991,  Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 1997.  h.17
[3] UU Nomor 1 Tahun 1974, Bandung :Citra Umbara, 2007, h. 6

[4] Subekti Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata( Burgerlijk Wetboek), Jakarta:Pt.Pradnya Paramita:2008, Cet-39, h.8-9
[5] UU Nomor 1 Tahun 1974, Op.Cit, h.1
[6] Loc.Cit. h. 26
[7] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Jakarta:Sinar Grafika Ofsert, 2008, h.8
[8] Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh al-Bukhari (No. 5142) dan Muslim (No. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallaahu ‘Anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1995, h.65
[10] Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (No. 2082) dan al-Hakim (II/165), Dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘Anhuma.
[11] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahally, Minhajutthalibin(Mahally), Syarikah Maktabah Muthba’ah:1393H, Juzuk III, h.207-209
[12] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007. h.57
[13] Ibid.
[14] Instruksi Presiden RI. No 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 1997. h.17

1 komentar:

  1. Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!

    BalasHapus