Dalam al-Qur’an dan dalam Hadist Nabi memang ada yang membicarakan
soal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah
atau larangan melakukan peminangan. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya
tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya Mubah,
namun Ibnu Rusyd dalam Bidayatul al-Mujtahid yang menukil
pendapat Daud al- Azzahiry yang mengatakan hukumnya adalah Wajib.[1]
Berbicara
masalah halangan peminangan tentunya tidak lepas dari bahasan syarat peminangan
itu sendiri, karena antara dua pembahasan ini ada keterikatan yang akan
mengantarkan kepada pemahaman yang lebih kongkrit dan jelas.
Adapaun
mengenai persyaratan pemingangan ini jelas diuraikan dalam KHI yang termaktub
pada pasal 12 yang berbunyi:
1)
Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang
masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa Iddahnya.
2)
Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa Iddah
Raji’ah, haram dan dilarang untuk dipinang.
3)
Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang
orang lain, selama pinangan pria
tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
4)
Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.[2]
Dalam pasal 1
dan 2 dijelaskan bahwa wanita yang boleh dipinang itu adalah wanita yang masih Bikir (perawan) dan
wanita yang telah menjadi janda dan habis masa Iddahnya, dua pasal ini
dapat dipahami sebagai syarat peminangan, sedangkan di dalam pasal 3 dan 4 juga
mengemukakan mengenai
syarat peminganan tersebut.
Dalam Undang-Undang
Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin
disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan
perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13, keseluruhan
pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fiqh madzhab,
terutama Madzhab Syafi’i. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh
tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang dilakukan setelah
berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai permasalahan peminangan namun Undang-Undang ini
sedikit menyinggung terhadap larangan menikahi seorang wanita yang masih
terikat dalam tali perkawinan, sebagaimana dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
berbunyi:
Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal (4) Undang-Undang ini.[3]
Pasal 3 ayat 2 yang dimaksud dalam pasal ini adalah jika
ada izin dari pengadilan yang merupakan dispensasi bagi seseorang yang ingin
kembali menikah tentunya setelah melewati berbagai perosedur dan persyaratan.
Sedangkan di
dalam BW mengenai masalah peminangan ini juga tidak diatur secara jelas, sama
halnya dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 BW hanya menyinggung sedikit masalah syarat-syarat terhadap
sesuatu yang harus dipenuhi supaya bisa melangsungkan perkawinan, BW
mengaturnya di dalam pasal 27, 33, dan 34 yang berbunyi:
27. Pada waktu yang sama, seorang
lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan
seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
33.Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3 atau 4, tidak diperbolehkan untuk
kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak
pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil.
Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
34. Seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan
perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak
pembubaran perkawinan yang terakhir.[4]
Dalam pasal-pasal ini dijelaskan bahwa seseorang wanita
tidak boleh kawin dalam keadaan tertentu dan ditentukan dalam kurun waktu
tertentu, dapat dipahami bahwa tidak boleh juga meminang atau melamar
wanita-wanita yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut.
Dalam konteks Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia pasal-pasal
mengenai perkawinan pada Buku I BW ini tidak berlaku lagi dalam tataran Hukum
Nasional dikarenakan hal ini sudah diatur dalam sebuah Undang-Undang khusus yang berlaku Nasional
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pemberlakuan secara Nasional ini jelas termaktub di dalam Konsideran Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
Bahwa sesuai dengan Falsafah Pancasila serta cita-cita
untuk pembinaan Hukum Nasional perlu adanya Undang-Undang yang berlaku bagi semua
warga negara.[5]
Dan juga, ketentuan tidak berlakunya lagi beberapa pasal di dalam
BW ini juga diatur dalam ketentuan penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada
pasal 66 yang berbunyi:
Untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesiers S.'1933 No. 4), Peraturan Perkawinan Canipuran (Regeling op de gemengde Huwelijken
S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.[6]
Dengan berlakunya
ketentuan ini berlakulah kaedah hukum yang berlaku suatu Adagium Lex
Specialis Derogat Lagi Generali (Undang-Undang yang sifatnya lebih khusus
mengenyampingkan
Undang-Undang yang bersifat lebih umum).[7]
Dari ketiga
perbandingan aturan di atas (KHI, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, KUHPerdata/BW)
dapat kita ambil pemahaman bahwa wanita yang statusnya kebalikan dari apa yang dijelaskan
diatas adalah terlahalang untuk dipinang, dengan rincian sebagai berikut:
a. Terhalang meminang
jika seorang wanita masih berstatus sebagai istri orang lain.
b. Terhalang meminang
jika wanita tersebut dalam pinangan orang lain sebagai mana Hadist Rasulullah:
نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى
بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى
يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang
ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita
yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.”[8]
c. Terhalang meminang
jika wanita dalam masa iddah raj’i, atau perempuan yang mnejalani masa
tunggu raj’i, bekas suaminya-lah yang berhak merujukinya,[9]
sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( al-Baqarah:2: 228)
Dalam peminangan,
laki-laki yang meminang dapat melihat
wanita yang dipinangnnya, melihat (nazar)
hukumnya Sunnah. Dengan melihat dapat diketahui identitas dan
kepribadian si calon istri sebagaimana Sabda
Rasulullullah:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ،
فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا،
فَلْيَفْعَلْ
“Apabila
seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat
apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”[10]
Tentang
melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para
ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh
dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak
tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan
tetapi yang disepakati oleh para ulama jumhur adalah melihat muka dan kedua tangannya.
Diantara perbedaan itu sebagai berikut:
·
Jumhhur Ulama berpendapat boleh hanya melihat muka dan
telapak tangan.
·
Ulama lain seperti al-Awza’i berpendapat boleh melihat
bagian yang berdaging.
·
Daud Zahiri berpendapat boleh melihat seluruh badan,
karena Hadist Nabi yang membolehkan melihat waktu meminang tidak menyebutkan
batasan-batasannya.[11]
Adapun
waktu boleh melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyampaikan
pinangan, bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan
dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.[12]
Hal-hal yang
dibicarakan dalam Kitab-Kitab Fiqih tentang peminangan seperti hukum perkawinan
yang dilakukan setelah berlangsungnnya peminangan yang tidak menurut ketentuan,
melihat perempuan dan cara-caranya tidak diatur dalam KHI.
- Akibat Hukum
Peminangan
Pada dasarnya
apabila terjadi sebuah peminangan maka secara hukum ia belum masuk ke ranah
perkawinan, biasanya setelah peminagan barulah dilangsungkan akad perkawinan,
namun peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi,
laki-laki yang meminang atau pihak perempuan yang dipinang dalam masa menjelang
perkawinan dapat saja membatalkan perkawinan tersebut, meskipun dahulunya ia
menerima.
Walaupun
demikian pemutusan peminangan itu hendaknya dilakukan secara baik dan tidak
menyakiti pihak manapun, begitupun juga jika ada pemberian yang diberikan
kepada salah satu pihak dalam peminangan, pemberian itu tidak pula menyakut
apa-apa dengan mahar, dengan demikian pemberian tersebut dapat saja diambil
kembali bila pemingan itu tidak berlanjut ke tahapan akad nikah, pemberian ini
harus dibedakan dengan mahar, mahar adalah pemberian yang diucapkan di dalam
akad nikah nantinya, sementara pemberian ini termasuk dalam hadiah atau hibbah,
maka jika peminagan tidak berlanjut kepada aqad nikah hendaklah status
pemberian tiu diperjelas dan diselesaikan dengan cara musyawarah dan tidak
menimbulkan retaknya kerukunan.
Hubungan antara
laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah sebagai mana
hubungan laki-laki dengan perempuan yang bukan Mahram-nya (ajnaby dan ajnabiyah), oleh
karena itu belumlah berlaku hak dan kewajiban kepada keduanya, dan diantara
keduanya haram melakukan khalwat dan ikhtilath, sebagaimana
haramnya antara laki-laki yang belum menjadi suami istri.[13]
Sebagai mana
kutipan Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir, menyatakan Nabi SAW bersabda:
“barang siapa
yang beriman kepda Allah dan hari akhir, maka janganlah mereka bersepi-sepi
dengan perempuan yang tidak disertai mahramnnya, karena yang ketiga diantara
mereka adalah syaitan”
Namun, apabila
kita mencoba mengkaitnya dengan hak meminang
orang lain terhadap seseorang yang dipinang, maka berakibat terhadap tertutupnya
hak orang lain untuk meminang sampai orang yang pertama meminang memutuskan
pinagannya atau ada hal lain yang menyebabkan peminangan itu terputus.
Sebagaimana telah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, UU perkawinan tidak menjelaskan dan
mengutarakan aturan mengenai peminangan, ini disebabkan karena peminangan
tidaklah sebagai hubungan
yang mengikat seperti perkawinan, lain halnya dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI),
KHI mengatur pemingan dalam pasal 1, 11, 12, dan 13 keseluruhan pasal itu ditransformasikan
dari Fiqih Mazhab terutama Mazhab Syafi’i.
Mengenai akibat
hukum peminangan lebih tegas ditulis dalam pasal 13 KHI yang berbunyi:
1)
Peminangan
belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2)
Kebebasan
memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan Agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan
dan saling menghargai.[14]
Maka dapat
disimpulkan Akibat
Hukum daripemingan ini adalah sebagai berikut:
- Belum menimbulkan akibat hukum,
para pihak dapat memutuskan hubungan kapan saja.
- Kebebasan memutuskan hubungan
harus dilaksanakan dengan cara yang baik, yakni sesuai dengan tuntunan
agama dan tata cara se- tempat. (KHI, Pasal 13)
- Pemberian dalam pinangan harus dibedakan
dengan mahar.
[2] Instruksi
Presiden RI.No 1 Tahun 1991, Kompilasi
Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Islam, 1997. h.17
[4] Subekti Tjitrosudibio,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata( Burgerlijk Wetboek), Jakarta:Pt.Pradnya
Paramita:2008, Cet-39, h.8-9
[8] Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (No. 5142) dan Muslim (No. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallaahu
‘Anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[10] Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh
Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (No. 2082) dan al-Hakim (II/165), Dari shahabat
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘Anhuma.
[11] Jalaluddin Muhammad
bin
Ahmad Mahally, Minhajutthalibin(Mahally), Syarikah
Maktabah Muthba’ah:1393H,
Juzuk III, h.207-209
[12] Amir
Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:
Kencana, 2007. h.57
[14] Instruksi
Presiden RI.
No 1 Tahun 1991,
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 1997. h.17
Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!
BalasHapus