Senin, 15 Februari 2016

NAZIR WAQAF

Nazir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda waqaf. Kelompok disini adalah kelompok orang yang merupakan suatu kesatuan atau merupakan suatu pengurus. Jadi bukan seseorang, hal ini dimaksudkan supaya pengelolaan harta zakat dapat dilakukan dengan baik, karena satu sama lainyya saling mengawasi, dan juga untuk menghindari terulangnya pengalaman masa lampau, harta waqaf banyak yang hilang bahkan menjadi milik perorangan nazir waqaf yang bersangkutan.
Menurut Saifi, wakaf dianggap sah apabila sudah dilaksanakan menurut syariat dan wakaf yang telah dianggap sah menurut aturan yang telah disepakati semua pihak tak dapat dibatalkan lagi. Hal ini, kata Saifi, terjadi apabila ada pihak yang melanggar ketentuan maka konsekuensinya akan berhadapan dengan Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, yang di dalamnya menyebutkan ketentuan pidana.

Dijelaskannya, setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, menghilangkan dalam bentuk pengalihan hak, ancamannya dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Kemudian mengubah dengan sengaja peruntukan wakaf tanpa izin diancam pidana paling lama 4 tahun atau denda Rp 400 Juta[1]
Syarat-Syarat Nazir
Pasal 6 PP berbicara tentang syarat nazir, baik yang perorangan maupun yang badan hukum.
Syarat nazir perorangan :
a)      Warga Negara Indonesia (WNI)
b)      Beragama Islam
c)      Dewasa
d)     Sehat jasmani dan rohani
e)      Tidak berada di bawah pengampuan
f)       Bertempat tinggal di kecamatan yang tempat letaknya tanah yang diwaqafkan
Syarat nazir badan hukum :
a)      Badan hukum Indonesia, berkedudukan di Indonesia
b)      Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yan diwaqafkan
c)      Sudah disahkan oleh Mentri Kehakiman dan dimuat dalam Berita Negara
d)     Jelas tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperlan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam[2].
Nazir waqaf baik perorangan maupun badan hukum harus terdaftar di KUA di kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan dari kepala KUA kecamatan yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Waqaf. Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan pewaqafan yang menyimpang dari ketentuan perwaqafan yang telah ditentukan (memudahkan pengawasan)
Jumlah nazir untuk suatu daerah tertentu ditetapkan oleh Mentri Agama. Menurut Peraturan Mentri Agama No. 1 Tahun 1978, jumlah nazir perorangan untuk satu kecamatan adalah sama denagn jumlah desa yang terdapat di kecamatan yang bersangkutan. Di dalam setiap desa hanya ada satu nazir kelompok perorangan.
Tugas nazir[3]
1.      Mengurus dan mengawasi harta kekayaan waqaf dan hasilnya, meliputi ;
a.       menyimpan lembar kedua Salinan Akta Ikrar Waqaf
b.      memelihara tanah waqaf
c.       memanfaatkannya
d.      berusaha meningkatkan hasil waqaf
e.       menyelenggarakan pembukuan atau administrasi perwaqafan dan memelihara buku catatan keadaan tanah waqaf serta buku catatan tentang penggunaan hasil tanah waqaf
2.      Memberi laporan kepada Kepala KUA kecamatan, tentang ;
a.       hasil pencatatan perwaqafan tanah milik pejabat agraria
b.      perubahan status tanah milik yang diwaqafkan dan perubahan penggunaannya karena;
1)      tidak sesuai lagi denagn tujuan waqaf  seperti diikrarkan oleh si waqif
2)      untuk kepentingan umum
c.       Pelaksanaan kewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan waqaf dan hasil tiap tahun sekali, pada akhir bulan Desember ahun yang sedang berjalan
3.      Melaporkan anggota nazir yang berhenti dari jabatannya
4.      Mengusulkan kepada kepala KUA kecamatan anggota pengganti yang berhenti itu untuk disahkan anggotanya
Sebab-sebab pemberhentian nazir
a)      Meninggal dunia
b)      Mengundurkan diri, dibatalkan kedudukannya sebagai nazir oleh kepala KUA, karena;
1)      Tidak memenuhi syarat
2)      Melakuan tindak pidana kejahatan yang berhubunngan dengan jabatan nazir
3)      Tidak dapat lagi melakukan kewajiban sebagai nazir

Nazir berwenang melakukan segala tindakan apa saja terhadap waqaf tersebut yang mendatangkan kebaikan bagi waqaf yang bersangkutan dengan senantiasa memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan  oleh waqif.
Nazir tidak boleh menggadaikan harta waqaf atau dijadikan sebagai jaminan hutang, baik untuk kepentingan harta waqaf itu sendiri maupun untuk menjadikan jaminan yang lain. Karena dikhawatirkan amal harta waqaf itu akan berhenti karena harta waqaf itu dijual atau disita untuk memenuhi hutang tersebut (A.A. Bisyir, 1977:20)




[1] www.kaltimpost.net/index.php?mib=berita.detail&id=28440
[2] Muhammad Daud Ali, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Waqaf, UI-Press, 1988, hal: 112-113
[3] Ibid, hal114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar