Nazir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda waqaf. Kelompok disini adalah kelompok orang
yang merupakan suatu kesatuan atau merupakan suatu pengurus. Jadi bukan
seseorang, hal ini dimaksudkan supaya pengelolaan harta zakat dapat dilakukan
dengan baik, karena satu sama lainyya saling mengawasi, dan juga untuk
menghindari terulangnya pengalaman masa lampau, harta waqaf banyak yang hilang
bahkan menjadi milik perorangan nazir waqaf yang bersangkutan.
Menurut Saifi, wakaf dianggap sah apabila sudah dilaksanakan menurut
syariat dan wakaf yang telah dianggap sah menurut aturan yang telah disepakati
semua pihak tak dapat dibatalkan lagi. Hal ini, kata Saifi, terjadi apabila ada
pihak yang melanggar ketentuan maka konsekuensinya akan berhadapan dengan
Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, yang di dalamnya
menyebutkan ketentuan pidana.
Dijelaskannya, setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, menghilangkan dalam bentuk pengalihan hak, ancamannya dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Kemudian mengubah dengan sengaja peruntukan wakaf tanpa izin diancam pidana paling lama 4 tahun atau denda Rp 400 Juta[1]
Syarat-Syarat Nazir
Pasal 6 PP berbicara tentang syarat nazir, baik yang perorangan maupun
yang badan hukum.
Syarat nazir perorangan :
a)
Warga Negara Indonesia (WNI)
b)
Beragama Islam
c)
Dewasa
d)
Sehat jasmani dan rohani
e)
Tidak berada di bawah pengampuan
f)
Bertempat tinggal di kecamatan
yang tempat letaknya tanah yang diwaqafkan
Syarat nazir badan hukum :
a)
Badan hukum Indonesia , berkedudukan di Indonesia
b)
Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat
letaknya tanah yan diwaqafkan
c)
Sudah disahkan oleh Mentri
Kehakiman dan dimuat dalam Berita Negara
d)
Jelas tujuan dan usahanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperlan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama
Islam[2].
Nazir waqaf baik perorangan maupun badan hukum harus terdaftar di KUA di
kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan dari kepala KUA kecamatan yang
bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Waqaf. Pendaftaran ini dimaksudkan
untuk menghindari perbuatan pewaqafan yang menyimpang dari ketentuan perwaqafan
yang telah ditentukan (memudahkan pengawasan)
Jumlah nazir untuk suatu daerah tertentu ditetapkan oleh Mentri Agama.
Menurut Peraturan Mentri Agama No. 1 Tahun 1978, jumlah nazir perorangan untuk
satu kecamatan adalah sama denagn jumlah desa yang terdapat di kecamatan yang
bersangkutan. Di dalam setiap desa hanya ada satu nazir kelompok perorangan.
Tugas nazir[3]
1.
Mengurus dan mengawasi harta
kekayaan waqaf dan hasilnya, meliputi ;
a.
menyimpan lembar kedua Salinan
Akta Ikrar Waqaf
b.
memelihara tanah waqaf
c.
memanfaatkannya
d.
berusaha meningkatkan hasil waqaf
e.
menyelenggarakan pembukuan atau
administrasi perwaqafan dan memelihara buku catatan keadaan tanah waqaf serta
buku catatan tentang penggunaan hasil tanah waqaf
2.
Memberi laporan kepada Kepala KUA
kecamatan, tentang ;
a.
hasil pencatatan perwaqafan tanah
milik pejabat agraria
b.
perubahan status tanah milik yang
diwaqafkan dan perubahan penggunaannya karena;
1)
tidak sesuai lagi denagn tujuan
waqaf seperti diikrarkan oleh si waqif
2)
untuk kepentingan umum
c.
Pelaksanaan kewajiban mengurus dan
mengawasi harta kekayaan waqaf dan hasil tiap tahun sekali, pada akhir bulan
Desember ahun yang sedang berjalan
3.
Melaporkan anggota nazir yang
berhenti dari jabatannya
4.
Mengusulkan kepada kepala KUA
kecamatan anggota pengganti yang berhenti itu untuk disahkan anggotanya
Sebab-sebab pemberhentian nazir
a)
Meninggal dunia
b)
Mengundurkan diri, dibatalkan
kedudukannya sebagai nazir oleh kepala KUA, karena;
1)
Tidak memenuhi syarat
2)
Melakuan tindak pidana kejahatan
yang berhubunngan dengan jabatan nazir
3)
Tidak dapat lagi melakukan
kewajiban sebagai nazir
Nazir berwenang melakukan segala tindakan apa saja terhadap waqaf
tersebut yang mendatangkan kebaikan bagi waqaf yang bersangkutan dengan
senantiasa memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan oleh waqif.
Nazir tidak boleh menggadaikan harta waqaf atau dijadikan sebagai jaminan
hutang, baik untuk kepentingan harta waqaf itu sendiri maupun untuk menjadikan
jaminan yang lain. Karena dikhawatirkan amal harta waqaf itu akan berhenti
karena harta waqaf itu dijual atau disita untuk memenuhi hutang tersebut (A.A.
Bisyir, 1977:20)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar