Senin, 15 Februari 2016

KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM PADA MASA DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 DAN DEMOKRASI TERPIMPIN

1.      Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Berawal dari pembuatan undang-undang dasar baru untuk pengganti UUDS 1950 dan di dalam konstituante terjadinya pertikaian antara golongan Nasionalis dengan golongan Islam dalam penetapan dasar Negara. Dan konstituante tidak memilih jalan kompromi karena diantara golongan yang bertikai tidak ada yang memilih sampai 2/3 dukungan suara[1].
Dan di dalam konstituante, ke dua golongan tersebut tidak mau mengalah telah membawa penilaian bahwa konstitusnte gagal dalam melaksanakan tugasnya setelah bersidang dalam kurun waktu dua setengah tahun. Kemacetan yang terjadi dalam sidang karena siakb bertahan tanpa kompromi itu disertai keadaan yang semakin ruwet, runcing, dan membahayakan Negara[2].
Demi menyelamatkan negara, maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara[3].
Isi dari dekrit tersebut adalah:
a.     Pembubaran konstituante
b.     Penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950
c.     Pembentukan MPRS dan DPAS
J.C.T. Simorangkir dalam disertasinya tentang “Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara” membuat dalil bahwa kegagalan konstituante hanyalah dalam arti bahwa konstituante tidak berhasil menyusun UUD yang tetap bagi bangsa Indonesia, sedangkan dalam bidang materi konstitusi, konstituante cukup banyak hasil karyanya. Pihak Angkatan Darat sangat menyukai gagasan kembali kepada UUD 1945, sehingga Nasution Kepala Staf Angkatan Darat pernah meminta kepada Dewan Nasional agar mendesak koinstituante kembali ke UUD 1945. AD menyambut baik UUD 1945 karena konstitusi memberi kemungkinan masuknya perwakilan kepentingan dalam MPR sehingga AD bias memainkan peran politiknya. Di lain pihak Suekarno yang semula menolak usulan tersebut kemudian mendukung karena ia membuka peluang tampilnya kabinet presidential yang kuat[4]. Menurut Budisetyo, dekrit itu sah secara yuridis karena pada tanggal 22 juli 1959, DPR secara aklamasi “menerima harapan presiden untuk terus bekerja dalam rangka UUD 195” (sesuai dengan isi dekrit). Jika DPR sudah setuju, maka pemegang kedaulatan telah setuju.
2.      Demokrasi Terpimpin
Dekrit presiden 5 juli 1959 telah menjadi gong penutup bagi kehidupan emokrasi liberal yang menganut system demokrasi parlementer. Demokrasi terpimpin akan mengolah proses pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat dan berdasarkan semangat gotong royong. Implikasi system ini dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 agustus 1959 yang diberi nama manifesto politik (manipol) yang rinciannya secara sistematis dikenal dengan akronim USDEK.
Selama kurun waktu 1959-1965 presiden Soekarno dengan system demokrasi terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya, kecuali PKI yang dapat memperluas pengaruhnya dengan berlindung dibawah kekuasaan Soekarno, sementara angkatan darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya. Sebenarnya gagasan Soekarno tentang demokrasi terpimpin telah dilontarkan kira-kira 2 tahun sebelum dekrit 5 juli 1959 diumumkan.  Ketika pemerintah demokrasi liberal yang terakhir jatuh pada tanggal 14 maret 1957, presiden menemukan jalan untuk menerapkan gagasan tentang demokrasi terpimpin, yang menurutnya bersumber pada kepribadian bangsa Indonesia yang mempunyai budaya gotong royong dan musyawarah-mufakat.
Secara agak rinci pengertian demokrasi terpimpin bias diambil dari pidato Soekarno dalam rangka HUT kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1957 dan 1958 yang pokok-pokonya adalah sebagai berikut:
1)     Ada rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan.
2)     Kegagalan tersebut dikarenakan menipisnya rasa nasionalisme.
3)     Suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula harus dilakukan dengan cara meninjau kembali system politik.
4)     Cara yang harus di tempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
·        Mengganti system free light-liberalism dengan demokrasi terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
·        Dewan perancang nasional akan membuat blue-print masyarakat yang adil dan makmur.
·        Hendaknya konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut.
·        Hendaknya konstituante meninjau dan memutuskan masalah demokrasi terpimpin dan masalah kepartaian.
·        Perlu penyederhanaan system kepartaian dengan mencabut maklumat pemerintah tanggal 3 november 1945 yang telah memberi jalan bagi system multipartai dan menggantinya dengan undang-undang kepartaian serta undang-undang pemilu.
Pada kesempatan lain Soekarno juga mengemukakan demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki liberalisme dan tanpa otokrasi dictator. “demokrasi kekeluargaan yang dimaksudkan adalah demokrasi yang mendasarkan system pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral ditangani dengan cara sesepuh, seorang tetua yang tidak mendiktatori teatapi memimpin dan mengayomi.  Yang dimaksud dengan sesepuh disini adalah dirinya sendiri (soekarno) sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia”.
Tak dapat dibantah memang, jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, garis politik yang ditempuh soekarno dapat memperlihatkan stabilitas terutama setelah dilakukannya penyederhanaan system kepartaian dan dibentukny front nasional.




[1] Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 133
[2] Ibid, hal. 134
[3] www.rinahistory.co.id
[4] Moh. Mahfud M.D., Op.cit, hal 134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar