Berawal dari pembuatan
undang-undang dasar baru untuk pengganti UUDS 1950 dan di dalam konstituante
terjadinya pertikaian antara golongan Nasionalis dengan golongan Islam dalam
penetapan dasar Negara. Dan konstituante tidak memilih jalan kompromi karena
diantara golongan yang bertikai tidak ada yang memilih sampai 2/3 dukungan
suara[1].
Dan di dalam konstituante, ke dua
golongan tersebut tidak mau mengalah telah membawa penilaian bahwa konstitusnte
gagal dalam melaksanakan tugasnya setelah bersidang dalam kurun waktu dua
setengah tahun. Kemacetan yang terjadi dalam sidang karena siakb bertahan tanpa
kompromi itu disertai keadaan yang semakin ruwet, runcing, dan membahayakan
Negara[2].
Demi
menyelamatkan negara, maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No.
75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Tujuan
dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang
semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara[3].
Isi dari dekrit tersebut adalah:
a. Pembubaran
konstituante
b. Penetapan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950
c. Pembentukan
MPRS dan DPAS
J.C.T. Simorangkir dalam
disertasinya tentang “Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara”
membuat dalil bahwa kegagalan konstituante hanyalah dalam arti bahwa
konstituante tidak berhasil menyusun UUD yang tetap bagi bangsa Indonesia, sedangkan
dalam bidang materi konstitusi, konstituante cukup banyak hasil karyanya. Pihak
Angkatan Darat sangat menyukai gagasan kembali kepada UUD 1945, sehingga
Nasution Kepala Staf Angkatan Darat pernah meminta kepada Dewan Nasional agar
mendesak koinstituante kembali ke UUD 1945. AD menyambut baik UUD 1945 karena
konstitusi memberi kemungkinan masuknya perwakilan kepentingan dalam MPR
sehingga AD bias memainkan peran politiknya. Di lain pihak Suekarno yang semula
menolak usulan tersebut kemudian mendukung karena ia membuka peluang tampilnya
kabinet presidential yang kuat[4].
Menurut Budisetyo, dekrit itu sah secara yuridis karena pada tanggal 22 juli
1959, DPR secara aklamasi “menerima harapan presiden untuk terus bekerja dalam
rangka UUD 195” (sesuai dengan isi dekrit). Jika DPR sudah setuju, maka
pemegang kedaulatan telah setuju.
2. Demokrasi Terpimpin
Dekrit presiden 5 juli 1959 telah
menjadi gong penutup bagi kehidupan emokrasi liberal yang menganut system
demokrasi parlementer. Demokrasi terpimpin akan mengolah proses pengambilan
keputusan melalui musyawarah mufakat dan berdasarkan semangat gotong royong.
Implikasi system ini dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 agustus 1959
yang diberi nama manifesto politik (manipol) yang rinciannya secara sistematis
dikenal dengan akronim USDEK.
Selama kurun waktu 1959-1965
presiden Soekarno dengan system demokrasi terpimpinnya menjelma menjadi seorang
pemimpin yang otoriter. Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi
liberal secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya, kecuali PKI yang dapat
memperluas pengaruhnya dengan berlindung dibawah kekuasaan Soekarno, sementara
angkatan darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya. Sebenarnya
gagasan Soekarno tentang demokrasi terpimpin telah dilontarkan kira-kira 2
tahun sebelum dekrit 5 juli 1959 diumumkan.
Ketika pemerintah demokrasi liberal yang terakhir jatuh pada tanggal 14
maret 1957, presiden menemukan jalan untuk menerapkan gagasan tentang demokrasi
terpimpin, yang menurutnya bersumber pada kepribadian bangsa Indonesia yang
mempunyai budaya gotong royong dan musyawarah-mufakat.
Secara agak rinci pengertian
demokrasi terpimpin bias diambil dari pidato Soekarno dalam rangka HUT
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1957 dan 1958 yang pokok-pokonya
adalah sebagai berikut:
1) Ada
rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena
belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi seperti masalah kemakmuran dan
pemerataan keadilan.
2) Kegagalan
tersebut dikarenakan menipisnya rasa nasionalisme.
3) Suatu
koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula harus dilakukan
dengan cara meninjau kembali system politik.
4) Cara
yang harus di tempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
·
Mengganti system
free light-liberalism dengan demokrasi terpimpin yang lebih sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia.
·
Dewan perancang
nasional akan membuat blue-print masyarakat yang adil dan makmur.
·
Hendaknya
konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut.
·
Hendaknya
konstituante meninjau dan memutuskan masalah demokrasi terpimpin dan masalah
kepartaian.
·
Perlu
penyederhanaan system kepartaian dengan mencabut maklumat pemerintah tanggal 3
november 1945 yang telah memberi jalan bagi system multipartai dan menggantinya
dengan undang-undang kepartaian serta undang-undang pemilu.
Pada kesempatan lain Soekarno juga
mengemukakan demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang tanpa
anarki liberalisme dan tanpa otokrasi dictator. “demokrasi kekeluargaan yang
dimaksudkan adalah demokrasi yang mendasarkan system pemerintahan kepada
musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral ditangani dengan
cara sesepuh, seorang tetua yang tidak mendiktatori teatapi memimpin dan
mengayomi. Yang dimaksud dengan sesepuh
disini adalah dirinya sendiri (soekarno) sebagai penyambung lidah rakyatnya,
sebagai seorang ayah yang bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia”.
Tak dapat dibantah memang, jika
dibandingkan dengan masa sebelumnya, garis politik yang ditempuh soekarno dapat
memperlihatkan stabilitas terutama setelah dilakukannya penyederhanaan system
kepartaian dan dibentukny front nasional.
[1]
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2009, hal. 133
[2]
Ibid, hal. 134
[3]
www.rinahistory.co.id
[4]
Moh. Mahfud M.D., Op.cit, hal 134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar