Minggu, 07 Februari 2016

HUKUM POSITIF INDONESIA DAN KEADILAN

HUKUM POSITIF INDONESIA DAN KEADILAN
            Banyak hal hukum yang terjadi di negara ini, karena negara Indonesia merupakan negara hukum. Hukum berperan sebagai pengatur atau tolak ukur dari perbuatan seseorang itu salah atau benar. Hukum mempunyai tujuan yang mulia, yaitu untuk mewujudkan kepastian hukum, manfaat dan keadilan. Iidealnya, hukum harus mengakomodasikan ketiga-tiganya. Diantara ketiga tujuan hukum tersebut, yang paling diutamaan adalah keadilan, ada juga yang mengatakan, bahwa tujuan hukum itu hanya satu, yaitu keadilan.
            Lalu, keadilan itu apa?
            Ulpanus (200 M), mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (justicia est constan et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi). Aristoteles mengatakan, bahwa adil mengandunng lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang ssemestinya[1].
            Namun di Indonesia sekarang ini, kepastian hukum memang ada, tetapai keadilan sangat jarang sekali ditemukan. Seperti kasus seorang nenek yang mengambil buah kakao hanya tiga buah, dijatuhi hukuman penjara. Dan banyak kasus lain yang hampir serupa dengan hal itu. Kasus tersebut sering menimpa oarang-orang yang “lemah”. Sedangakan kasus-kasus  besar yang mayoritas melibatkan orang-orang “besar”, malah mengaburkan kepastian hukum. Ini cuma sebagai perbandinagan.
            Nah, berarti pada permasalahan di atas, tidak tercapainya sesuatu yang dinamakan dengan keadilan. Kenapa? Kerena pada kasus pertama, seoranng nenek yang mengambil hanya tiga buah kakao, pasti nenek itu mempunyai alasannya sendiri kenapa ia mengambil buah itu. Pada masalah ini seorang hakim harus mengetahui dahulu latar belakang dari seorang nenek itu. Karena dengan latar belakang itu dapat diketahui siapa sebenarnya si nenek itu.
            Bismar Siregar (seorang hakim indonesia) mengatakan; “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”[2].
            Namun, di sini permasalahannya berada pada pengadilan, karena pengadilanlah yang akan memutuskan suatu hukum yang tetap. Dalam hal permasalahan di atas, tidak seharusnya seorang hakim berperan sebagai legalisme hukum.
            Dalam hal ini seorang hakim harus ber-epikea, yaitu seorang hakim harus mempunyai tentang apa yang adil, apa yang tidak, yakni apa yang pantas. Maka dalam teori ini epikea termasuk regulatif hukum. Aristoteles telah mempersepsi kesulitan yang timbul dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum pada perkara-perkara yang kongkrit. Maka untuk bertindak secara adil, seorang hakim harus menyelami secara sunggu-sungguh perkara-perkara yang kongkrit, seolah-olah ia menjadi saksi mata[3].
            Maka dalam hal ini, seorang hakim harus menjadikan hukum itu sebagai sarana untuk mencapaii tujuan, yaitu keadilan. Karena hukum posotif itu hanya sebagai patokan dan hanya perkiraan, tentunya hal ini tidak selalu sesuai dengan permasalahan yang kongkrit. Karena sesungguhnya yang membuat hukum itu adalah hakim. Kaedah-kaedah hukum tidak lain daripada suatu generalisasi kelakuan para hakim[4].
            Oliver Wenndell Holmes (1841-1935) berkata, bahwa melihat kelakuan hakim, menjadi jelas bahwa hukum adalah apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. :The patterns of behaviour”, yaitu para hakim menentukan apa itu hukum. Kaidah-kaidah hukum hanya memberikan bimbingnan. Moral hidup pribadi dan kepentingan sosial ikut menentukan putusan[5].
            Dari permasalahan dan pernyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang hakim harus kreatif dalam menetapkan suatu hukum, dalam artian seorang hakim harus mendalami permasalahan yang terjadi sehingga dapat tercapainya suatu keadilan dalam hukum. Hakim tidak boleh terpaku dengan peraturan yang ada. Hukum posotif hanya sebagai patokan dalam menjalankan hukum.
           





[1] Darji Darmodiharjo, Sidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukuam Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 156
[2] Ibid
[3] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cet I (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal.120
[4] Ibid, hal. 121
[5] Ibid, hal. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar