Banyak hal hukum yang terjadi di
negara ini, karena negara Indonesia merupakan negara hukum. Hukum berperan
sebagai pengatur atau tolak ukur dari perbuatan seseorang itu salah atau benar.
Hukum mempunyai tujuan yang mulia, yaitu untuk mewujudkan kepastian hukum,
manfaat dan keadilan. Iidealnya, hukum harus mengakomodasikan ketiga-tiganya.
Diantara ketiga tujuan hukum tersebut, yang paling diutamaan adalah keadilan,
ada juga yang mengatakan, bahwa tujuan hukum itu hanya satu, yaitu keadilan.
Lalu, keadilan itu apa?
Ulpanus (200 M), mengatakan bahwa
keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada
masing-masing bagiannya (justicia est constan et perpetua voluntas ius suum
cuique tribuendi). Aristoteles mengatakan, bahwa adil mengandunng lebih
dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu
yang ssemestinya[1].
Namun di Indonesia sekarang ini,
kepastian hukum memang ada, tetapai keadilan sangat jarang sekali ditemukan.
Seperti kasus seorang nenek yang mengambil buah kakao hanya tiga buah, dijatuhi
hukuman penjara. Dan banyak kasus lain yang hampir serupa dengan hal itu. Kasus
tersebut sering menimpa oarang-orang yang “lemah”. Sedangakan kasus-kasus besar yang mayoritas melibatkan orang-orang “besar”, malah mengaburkan
kepastian hukum. Ini cuma sebagai perbandinagan.
Nah, berarti pada permasalahan di
atas, tidak tercapainya sesuatu yang dinamakan dengan keadilan. Kenapa? Kerena
pada kasus pertama, seoranng nenek yang mengambil hanya tiga buah kakao, pasti
nenek itu mempunyai alasannya sendiri kenapa ia mengambil buah itu. Pada
masalah ini seorang hakim harus mengetahui dahulu latar belakang dari seorang
nenek itu. Karena dengan latar belakang itu dapat diketahui siapa sebenarnya si
nenek itu.
Bismar Siregar (seorang hakim
indonesia) mengatakan; “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian
hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya
keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”[2].
Namun, di sini permasalahannya
berada pada pengadilan, karena pengadilanlah yang akan memutuskan suatu hukum
yang tetap. Dalam hal permasalahan di atas, tidak seharusnya seorang hakim berperan
sebagai legalisme hukum.
Dalam hal ini seorang hakim harus
ber-epikea, yaitu seorang hakim harus mempunyai tentang apa yang adil,
apa yang tidak, yakni apa yang pantas. Maka dalam teori ini epikea termasuk
regulatif hukum. Aristoteles telah mempersepsi kesulitan yang timbul dalam
menerapkan kaedah-kaedah hukum pada perkara-perkara yang kongkrit. Maka untuk
bertindak secara adil, seorang hakim harus menyelami secara sunggu-sungguh perkara-perkara
yang kongkrit, seolah-olah ia menjadi saksi mata[3].
Maka dalam hal ini, seorang hakim
harus menjadikan hukum itu sebagai sarana untuk mencapaii tujuan, yaitu
keadilan. Karena hukum posotif itu hanya sebagai patokan dan hanya perkiraan,
tentunya hal ini tidak selalu sesuai dengan permasalahan yang kongkrit. Karena
sesungguhnya yang membuat hukum itu adalah hakim. Kaedah-kaedah hukum tidak
lain daripada suatu generalisasi kelakuan para hakim[4].
Oliver Wenndell Holmes (1841-1935)
berkata, bahwa melihat kelakuan hakim, menjadi jelas bahwa hukum adalah apa
yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. :The patterns of behaviour”, yaitu
para hakim menentukan apa itu hukum. Kaidah-kaidah hukum hanya memberikan
bimbingnan. Moral hidup pribadi dan kepentingan sosial ikut menentukan putusan[5].
Dari permasalahan dan pernyataan di atas
dapat disimpulkan, bahwa seorang hakim harus kreatif dalam menetapkan suatu
hukum, dalam artian seorang hakim harus mendalami permasalahan yang terjadi
sehingga dapat tercapainya suatu keadilan dalam hukum. Hakim tidak boleh
terpaku dengan peraturan yang ada. Hukum posotif hanya sebagai patokan dalam
menjalankan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar