Senin, 15 Februari 2016

TASYRI’ PADA MASA RASULULLAH SAW

A.    Tasyri’ Pada Masa Rasulullah Saw
At- Tasyri’ dari segi terminologinya adalah penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan penyusunan perundang-undangan. At- tasyri’ juga disebut dengan istilah teknis tentang proses pembentukan fiqh atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu ia mencakup produk dan proses pembentukan fiqh atau peraturan perundang-undangan. Dalam mengkaji dasar-dasar fiqh al-Qur’an dan sunnah, kita akan mendalami proses pembentukan al-Qur’an dan sunnah, ilmu sebab zuzul  dan sabab wurud merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan.[1]
Dengan diturunkannya wahyu kepada Muhammad (Rasullah saw) mulailah tarikh tasyri’ Islami. Sumber tarikh tasyri’ islami adalah wahyu (Kitabullah dan Sunnah Rasul). Ayat-ayat mengenai  tasyri’ kebanyakan ayat Madaniyah, setelah Rasul Hijrah ke Madinah, ayat-ayat Ahkam sekitar 200-300 ayat dibandingkan dengan 6348 ayat al-Qur’an.
Ayat tasyri’ tidak datang sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan bertahap (Tadrij). Tadrij ini berhubungan dengan adat-adat bangsa Arab meninggalkan adat-adat yang lama, mengganti hukum yang baru (hukum Islam).
Nabi sebagai ummi, tidak menuliskan kitab al-Qur’an. Al-Qur;an dituliskan oleh para sahabat penulis wahyu dan dihafal oleh segenap kaum Muslimin. Selain al-Qur’an da Sunnah Rasul, nabi sendiri member contoh berijtihad apabila tiada nash al-Qur’an, sedangkan persoalan harus segera diselesaikan, yaitu ketika menyelesaikan masalah tawaanan Perang Badar, walaupun ijtihad Rasul itu dibatalkan oleh ayat al-Qur’an.
Pada zaman ini beliaulah yang menjadi imam al-ummah, menjadi hakim dan mufti akbarnya. Adat-adat jahiliyah ada yang dihapuskan, ada yang diakui dan ditetapkan dengan nash sebagai hukum islam. Adapun yang tidak disebut dihapus, atau diakui merupakan masalah sunnah taqriyah karena Rasul tidak melarangnya.
Pada masa Rasulullah saw, tasyri’ Islami merupakan peletakkan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum (al-mabadi’ al-ammah dan quwa’id al-assiyah). Istilah fiqh pada masa itu merupakan pemahaman ilmu agama secara keseluruhan, termasuk tauhid,akhlak, dan hukum.[2]
Penulis-penulis sejarah hukum islam telah mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Pembagian ke dalam beberapa tahap itu tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pertahapan itu. Ada yang membaginya ke dalam 5, 6, atau 7 tahap. Namun pada umumnya tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam adalah 5  masa sebagai berikut:
1.      Masa Nabi Muhammad ( 610 M- 632 M )
2.      Masa Khulafa Rasidin ( 632 M- 662 M )
3.      Masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad VII-X M)
4.      Masa kelesuan Pemikiran (abad X M- XIX M )
5.      Masa kebangkitan Kembali ( abad XIX M sampai sekarang).[3]
Namun di sini kita akan fokum membahas tasyri’  pada masa Rasullah saw.  Pertumbuhan fiqh pada masa ini tidak terhindar  peran Nabi Muhammad Saw, baik sebagai pemimpin keagamaan (Rasul), maupun pemimpin militer. Periode pertumbuhan fiqh atau periode Nabi adalah masa ketika fiqh mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yag ada dalam periode ini adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Pada periode ini, karena persoalan yang muncul dikembalikan kepada Nabi Saw untuk diselesaikan, nabi menjadi satu-satunya sumber hukum. Dalam arti lain, secara laangsung pembuat hukum adalah Nabi Saw, sedangkan tuhan membuat hukum secara tidak langsung. Hal ini karena tugas Nabi adalah menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan Tuhan. Setelah Nabi wafat, para sahabat berpegang  pada al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan  Nabi Saw. Oleh karena itu, sumber hukum yang ditinggalkan Nabi untuk masa-masa selanjutnya adalah al-Qur’an dan Sunnah.

B.     Tasyri’ di Mekah
Masa Nabi ini  terbagi menjadi dua periode, Mekah dan Madinah. Periode Mekah berlangsung selama 12 tahun dan beberapa bulan semenjak wahyu pertama hingga Nabi hijrah ke Madinah. Dalam periode ini, Nabi Saw telah mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat Arab dengan menanamkan akidah (tauhid) ke dalam jiwa serta memalingkannya dan memperhamba diri kepada selain Allah.
Oleh kerena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Mekah sebelum hijrah berisi tentang laragan unutk menyekutukan Tuhan, dan merayu mereka dengan menerangkan paraa Nabi terdahulu dan sejarah dari umat-umat yang lalu mengajarkan mereka untuk meninggalkan tradisi-tradisi buruk yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, serta mengajarkan mereka untuk bersikap baik terhadap sesamany. Oleh sebab itu, kebanyakan ayat Makiyah berisikan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan keyakinan, akhlak dan sejarah masa lalu.
Muhammad Hadlori menjelaskan bahwa periode Mekah dapat dilihat dari ayat-ayatnya sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat Makkiyah tidak menjelaskan secara rinci tentang aspek hukum, tetapi terfokus pada tujuan agama, yakni tauhidullah.
2.      Penegakan dalil-dalil keberadaan Tuhan.
3.      Peringatan akan azab Allah dan sifat-sifat hari kiamat.
4.      Mengajak pada akhlak mulia sebagaimana Nabi saw, diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
5.      Berkenaan dengan umat terdahulu yang ditimpa musibah kerana tidak taat kepada Nabi sebelumnya.
Dengan kata lain, periode Mekah merupakan periode revolusi akidah untuk            mengubah system kepercayaan masyarakat Jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semeta, suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.

C.    Tasyri’ di Madinah
Periode Madinah berlangsung selama 10 tahun, sejak Nabi Hijrah sampai beliau wafat pada tahun 11 H. Dalam periode ini, umat islam berkembang dengan pesat. Pengikutnya terus menerus bertambah. Di Madinah ini, Nabi mulai membentuk suatu masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan yang gemilang. Kemudia dibuat peraturan-peraturan karena masyarakat membutuhkannya untuk mengatur hubungan antar mereka dan hubungan mereka dengan umat lainnya, baik dalam keadaan damai maupun keadaan perang.[4]
Untuk kebutuhan ini, disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang mengatur segala keperluan mereka, baik yang berhubungan dengan masyarakat, seperti masalah ibadah, muamalah, jihad, jinayat, waris, perkawinan dan berbagai permasalahan lainnya. Oleh itu, surat-surat Madaniyah, banyak menagndung ayat hukumm, disamping mengandung ayat akidah, akhlak dan sejarah. Lebih jelasnya, hukum yang disyariatkan pada fase Madinah adalah:
ü  Muamalat
ü  Jihad
ü  Jinayat
ü  Mawaris
ü  Wasiat
ü  Thalaq
ü  Sumpah
ü  Peradilan
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun social. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.

D.    Perbedaan Tasry’ makky dan madany`
Telah ditemukan bahwa masa turunnya Al-qur’an itu ada dua yaitu masa sebelum hijrah dan masa sesudah hijrah. Bagi masing-masing makky dan madany mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu adalah:
1.      Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah didahului dengan ya ayyuhan nas (hai orang-orang beriman) sedangkan ayat-ayat yang turun di Madinah didahului dengan kata-kata ya ayyuha llazi na amanu (hai orang-orang yang beriman.
2.      Ayat-ayat yang turun di Mekkah sekarang terdapat dibagian belakang Al-qur’an,sedangkan ayat-ayat yang turun di Madinah dibagian belakang Al-qur’an.
3.      Ayat-ayat Makkiyah biasanya pendek, berbeda dengan ayat Madaniyah yang sangat panjang sesuai dengan tabiat setiap fase. Pendeknya ayat-ayat Makkiyah agar mudah dihafal, disukai dan menceritakan surga dan neraka.
4.      Sedangkan panjangnya ayat Madaniyah sesuai dengan kebutuhan perundang-undangan secara lebih rinci dan panjang, apalagi   kaum muslimin sudah terbiasa dengan hafalan.
5.      Setiap surat yang ada ayat sajdahnya maka termasuk surah Makkiyah kecuali Surat Al-Hajj, ia termasuk surat madaniyah menurut pendapat yang lebih kuat menurut para ulama.
6.      Ayat-ayat Makiyah mengandung  tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sedangkan Madaniyah ayat-ayatnya mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik,kecuali surat Al-Ankabut: 29.
7.      Ayat Makkiyah membahas tentang pembentukan akidah yang bersih,mengajak bertauhid kepadaAllah, menghilangkan kesyirikan,memberikan dalil tentang wujud Allah,membangun keimanan kepada malaikat,kitab suci, rasul dan hari akhirat selain mengajak kepada akhlak yang mulia dan meninggalkan perilaku tercela. Sedangkan ayat Madaniyah lebih menitikberatkan pada aspek taklif (pembebanan) dan merincikan hukum-hukum,mengatur hubungan sesama manusia,menjelaskan aturan berkomunikasi yang baik, dan meletakkan prinsip keadilan dalam setiap aspek hubungan sosial.[5]
E.     Pemegang Tasyri’ di Zaman Nabi Muhammad Saw
Nabi Muhammad Saw, menjelaskan dan menyelesaikan persoalan yang diahadapi didasarkan kepada wahyu, baik wahyu al-mathluww, yaitu al-Qur’an maupun wahyu ghair al-mathluww, yaitu as-Sunnah. Para sahabat menaati dan menuruti keputusan Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk pertama al-wahy al-mathluww maupun dalam bentuk kedua al-wahy ghair al-mathluww. Al-Qur’an dan sunnah adalah marja’ , bagi sahabat, dan ia (al-Qur’an dan Sunnah) adalah dalil hukum zaman Nabi Muhammad Saw.
Patut diketahui bahwa pada Masa Nabi Saw ini, tasry’ Islamy merupakan peletakkan dasar-dasar pokok-pokok dan prinsip-prinsip umum (mabdi-ammah dan qawaid asasiyyah). Selain itu, istilah fiqh pada periode ini merupakan pemahaman ilmu agama secara keseluruhan. Hal ini berbarengan diketahui bahwa ilmu-ilmu keagamaan, seperti teologi,, kalam dan tasawuf, berkembang secara keilmuan pada abad ke dua Hijriah.
Analisis G.E Von Grunebaum menjelaskan bahwa di akhir tahun masa Nabi saw, baik periode Makkah ataupun Madinah, beberapa hukum keluarga dibentuk sebagai berikut:
1.      Pembatasan poligami dalam struktur keluarga patrilineal (jalur bapak).
2.      Pengatur kewarisan yang difokuskan pada hak individu
3.      Pembentukan adat yang religious dan pada saat yang sama diperkenalkan pelarangan tradisi penyembahan berhala dan minuman keras, dan larangan memakan babi.
4.      Tradisi sunatan diizinkan dan selanjutnya menjadi ajaran penting dalam Islam.
5.      Perubaha kalender tahunan dari tradisi kalender Komariah (perpuataran bulan) dan tahun berdasarkan perputaran matahari (tahun syamsiah).
6.      Praktik shalat dan penyempurnaan haji.
Dengan demikian, dapat dipahami pada periode Nabi Saw, keadaan fiqh memang masih sederhana, berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam ruag dan waktu tertentu. Paling tidak, ada tiga aspek yang bisa ditarik dari proses pengembangan syariat pada periode Nabi, baik di Mekah maupun di Madinah, sebagai berikut:
1.      Metode Nabi Saw, dalam menerapkan hukum. Dalam banyak hal, syariat Islam turun secara global, terutama, pada periode Mekah. Nabipun tidak banyak menerangkan perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan hukumnya. Ketika Nabi Saw shalat para sahabat melihat Nabi dan menirunya tanpa menanyakan lebih dalam tata cara shalat.
2.      Sebagian disyariatkan, sebagia tidak. Ada hukum yang disyariatkan untuk persoalan yang dihadapi masyarakat maupun para sahabat, dan pada saat itu Nabi mensyaratkannya. Dan ada pula yang tidak ditanyakan oleh masyarakat, Nabi mensyariatkan, terutama pada periode Mekah, misalnya tauhid, ibadah dan berbagai larangan lainnya.
3.      Turunnya syariat secara bertahap. Pertama, tahapan dalam menerapkan kekuasaan hukukm Islam, seperti shalat disyariatkan pada malam Isra’ Mi’raj (satu tahun Hijriyah), azan pada tahun kedua, hukum waris pada tahun ketiga dan seterusnya. Kedua, tahapan berlanjut, misalnya shalat pada awalnya diwajibkan dua rakaat. Setelah Hijrah ke Madinah, shalat diwajibkan sempat rakaat, terutama penahapan pengharaman khamar.
Secara singkat, keadaan fiqh pada masa Rasulullah saw adalah kekuasaan pembentukan hukum berada ditangan Rasulullah Saw. Sumber hukum Islam ketika itu adalah al-Qur’an. Apabila ayat al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, dengan bimbingan Allah SWT, ia menetapkan hukum sendiri. Inilah yang dinamakan Sunnah Rasullah Saw. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. Ilmu dan fiqh pada masa Rasullah Saw, mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Pengertian fiqh dizaman Rasullah Saw, adalah semua yang dapat dipahami dari nash baik yang berkaitan dengan masalah aqidah,hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, fiqh periode ini bersifat actual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru sitentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu.


F.     Sumber-Sumber Tasyri'
1.      Al-Qur’an
Kata القران  adalah mashdar dari قرأ , sewazan dengan kata فعلان , yang secara etimologis berarti bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya, atau melihat dan menelaahnya. Kata Al-Qur’an digunakan untuk maksud nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Pengertian Al-Qur’an secara terminologis antara lain dikemukakan oleh al-Syaukani sebagai berikut :

االقران قهو الكلام المنزل على الرسول المكتوب فى المصاحف والنقل متواتر
Artinya:
“ kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Rasulullah, tertulis dalam mushaf dan dinukilkan secara mutawatir."”

Al-Qur’an  telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, namun seperti kata Mahmud  Syalthut hasil terjemahan bukanlah Al-Qur’an suci yang memiliki kemukjizatan tak tertandingi, bahkan ia tak dapat dijadikan sumber syariat karena sebuah terjemahan hanya mencerminkan pemahaman si penerjemah tehadap Al-Qur’an. Menurut Hitti, tidak ada kitab di dunia ini yang menyerupai Al-Qur’an meskipun sudah banyak ahli bahasa dengan mengerahkan kekuatan waktu dan uang untuk membuat ayat yang bisa menandingi Al-Qur’an. Al-Qur’an dijaga secara amat ketat. Walaupun termuda Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling banyak dibaca.[6]
Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tanggal 17 Ramadhan, ketika sedang bertahanuts (beribadah) di gua hiro, tahun ke 41 dari kelahiran beliau.[7] Tentang turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firmanNya :
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏÏù ãb#uäöà)ø9$#

Artinya:
“ Bulan Ramadhan,di dalamnya di turunkan(permulaan) Al-Qur’an''(QS. Al-Baqarah; 185) [8]

2.      As-Sunnah
Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah menurut etimologi adalah jalan baik, buruk seperti sabda Nabi SAW
من سن سنة حسنة فله أجرهاوأجر من عمل بها إلى يوم القيامة ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها
ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة
Artinya:
“Barang siapa mengadakan sunnah/ jalan yang baik maka baginya pahala atas jalan yang ditempuhnya itu, di tambah lagi pahala orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat dan barang siapa mengadakan sunnah/ jalan yang buruk maka atasnya dosa karena jalan buruk yang ditempuhnya, ditambah orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”

Secara terminologi Sunnah dapat di lihat dari tiga aspek yaitu, ilmu hadis, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu segalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan, akhlak maupun ketetapan ataupun sifatnya. Sunnah menurut ulama ushul fiqh adalah segalah sesuatu yang diriwayatkan oleh Rosullullah berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan Sunnah menurut perspektif ulama fiqh adalah sikap hukum terhadap suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti, dengan pengertian diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.[9]
Jadi maksudnya dengan Sunnah Rasulullah SAW adalah kumpulan perkataan, perbuatan atau ketetepan yang dikeluarkan oleh Nabi SAW dan tidak diragukan bahwa Rasulullah SAW adalah penyampainya dari Allah SWT.  Jika demikian Sunnah itu adalah penjelasan Al-Qur’an yang menjelaskan globalnya, membatasi kemutlakannya, dan menta’wili kesamarannya. Didalam Sunnah tidak ada sesuatu kecuali Al-Qur’an telah menunjukkan pengertiannya dengan penunjukan global (ijmaliyah) atau terperinci (tafsiliyah). Penunjukan itu dari beberapa segi, sebagiannya menunjukkan yang sangat umum yaitu kewajiban mengikuti Rasulullah SAW yang datang dari Al-Qur’an.

G.    Kedudukan Ijtihad Sahabat di Zaman Nabi Saw
Ayat tasyri’ tidak datang sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur dan bertahap (tadrij). Tadrij ini berhubungan dengan adat-adat bansa Arab dalam rangka meninggalkan adat-adatnya yang lama, mengganti dengan hukum baru (hukum Islam).
Selain al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, Nabi sendiri telah memberikan contoh berijtihad apabila nash al-Qur’an tidak dijumpai hukumnya, sedangkan persoalan tersebut harus segara diselesaikan. Hal ini terjadi pada saat Nabi hendak menyelesaikan masalah tawanan perang badar. Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi ini kemudian juga dibenarkan dalam al-Qur’an.
Pada zaman itu beliaulah meruapkan imam al-ummah menjadi hakim dan mufti akbar. Adat-adat jahiliyah ada yag dihapuskan, ada yang diakui dan ada yang ditetapkan dengan nash, ada yang diakui dan ada yang ditetapkan dengan nash sebagai hukum Islam. Adapun yang tidak disebut dihapus, atau diakui merupakan masalah sunnah taqririyah karena arsul tidak melarangnya.[10]
Permasaalahan ijtihad pada masa Rasulullah ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi ijtihad yang menyangkut dengan kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang jelas dilakukan oleh Nabi. Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz.
Saat itu Rasulullah saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah swt yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]: 67) 
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah saw. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun tidak kontinyu, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun hanya sebuah kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.
H.    Prinsip-Prinsip Umum Tasyri’
1.      Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam a-Quran,
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya……”(QS. Al-Baqarah: 286)

Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja.
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.
2.      Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ムãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇÊÉÊÈ  
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).
3.      Penetapan Hukum secara Periodik
Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial uamt. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kesua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir. Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39.
÷ŽÉ9ô¹$$sù 4n?tã $tB šcqä9qà)tƒ ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u Ÿ@ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# Ÿ@ö6s%ur É>rãäóø9$# ÇÌÒÈ  
Artinya: “ Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”. (Q.S al-Qaf ayat 39)
4.      Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’I menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut.
5.      Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam.
Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya: “ …....dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. ….” (Q.S An-Nisa’ ayat 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidakdapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah).[11]




[1] Dedy Supriadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2007), h. 32
[2] Juhaja S Praja, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994), h.2
[3] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 153
[4] Dedy Supriadi, Op Cit, h. 61-63    
[5] Muhammad Zuhri,TerjemahTarikh  Al-Tasyri` Al-Islami (DarulIkhya) hal.29-30
[6] Philip K. Hitti, History of  the Arabs,(London: The Macmillan Press,1974), h, 126.
[7] Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri' al-Islami,terj Drs.Mohammad Zuhri(Darul Ikhya,1980), h, 5.
[8] Departemen Agama RI. Al Qur’an.......h, 22.                                  
[9] M Ali As-Sayis, Tarikh Al-Islam Al-Islamiah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2003), h,  46.
[10] Abdhul Ghofur Anshori, Hukum Islam, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta, Kreasi Total Media, 2008), h. 55-56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar