Rabu, 16 Maret 2016

SIDANG KELILING DAN KESADARAN HUKUM

BAB II
SIDANG KELILING DAN KESADARAN HUKUM
A.    Sidang Keliling
Sekilas tentang Peradilan Agama, bahwa pada masa Rasulullah, jika ada orang yang berperkara ataupun mempunyai masalah satu sama lain maka orang-orang yang berperkara itu akan mengadukan perkaranya kepada Rasul dan meminta pendapat serta keputusan dari Rasul. Karena Rasul terkenal dengan sifatnya yang adil, tidak memihak
dan keputusannya pun berdasarkan al-Quran. Keputusan-keputusan Rasul tersebut yang kemudian menjadi bahan acuan bagi orang Islam untuk menyelesaikan perkara. Kemudian adanya qadhi yang akan menyelesaikan perkara umat muslim. Hal inilah yang diteruskan oleh sahabat Rasul sampai masa tabi’ dan tabi’ tabi’in[1], bahkan sampai saat sekarang yang kita kenal dengan peradilan.
Semenjak Islam dikenal dan diterima di nusantara, sejak itu juga Peradilan Agama telah ada dan proses persidangan telah berjalan, satu contoh di kerajaan Mataram kurang lebih pada tahun 1610-1645 dikenal Peradilan Serambi[2], karena tempat mengadili (persidangan) diadakan di serambi mesjid, dan hakim-hakimnya diangkat oleh sultan.[3] Pengakuan berlakunya hukum Islam yang telah ada sejak lama di wilayah Nusantara ini pada masa lalu tercermin dalam kegiatan peradilan di beberapa Kerajaan/ Kesultanan.[4]
  Ada beberapa alasan mengapa serambi mesjid dijadikan sebagai tempat peradilan:
a.       Meskipun masjid (termasuk serambinya) merupakan sarana tempat ibadah umat Islam, namun fungsionalnya tidak hanya digunakan untuk ibadah (seperti shalat dan tempat mengaji) akan tetapi digunakan juga untuk seluruh macam dan ragam aktifitas masyarakat muslim yang positif termasuk tempat untuk bermusyawarah, sekaligus sarana penyelesaian sengketa.
b.      Orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan masalah/perkara (hakim) ketika itu umumnya berasal dari kalangan penghulu/ulama yang notabene adalah orang yang sangat dekat dan melekat dengan masjid serta tokoh yang kredibilitas keilmuan, integritas moral dan rekam jejaknya sudah diakui oleh masyarakat muslim.
c.       Sebenarnya tempat lain juga bisa digunakan untuk proses persidangan (misalnya balai rakyat) namun menggunakan serambi masjid untuk menyelesaikan perkara memiliki makna tersendiri. Mengingat masjid adalah identitas yang kuat bagi umat Islam. Sehingga secara psikologis, orang Islam akan lebih nyaman berada di masjid bila dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain, sekalipun sedang memiliki permasalahan.[5]
Seiring dengan berjalannya waktu, peradilan dirancang dengan begitu baik dalam mengatasi perkara masyarakat. Khusus untuk umat Islam, penyelesaian perkara dilakukan di Pengadilan Agama. Oleh sebab itu perlu diatur dengan baik pelayanan sebuah pengadilan kepada masyarakat pencari keadilan agar urusan perkara berjalan dengan baik, benar, tepat dan mendapatkan putusan yang benar dan adil serta institusi pengadilan dihormati dan disegani oleh masyarakat/rakyat pencari keadilan.[6] Dalam hai ini sudah ada pedoman dasar bagi aparatur pengadilan dalam melayani pencari keadilan yang disebut dengan asas hukum Peradilan Agama.
Salah satu wujud untuk menciptakan pelayanan yang baik, benar dan tepat itu adalah dengan dibentuknya sidang keliling oleh Pengadilan Agama. Dibentuknya sidang keliling ini didasari oleh beberapa hal, seperti pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum. Kemudian didasari juga dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, terkadang hubungan antara pulau tersebut sulit untuk dilakukan karena kurangnya sarana transportsi. Ditambah lagi letak kantor Pengadilan Agama yang terletak di pusat ibu kota kabupaten atau kota yang menyebabkan sulitnya masyarakat yang berada di wilayah pelosok kabupaten kota tersebut untuk pergi ke Pengadilan Agama.
1.   Pengertian dan Dasar Hukum Sidang Keliling
Kebijakan negara akan arah pembangunan semakin menegaskan pentingnya akses ke pengadilan bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan. Negara juga semakin mengukuhkan pentingnya bantuan hukum sebagai strategi pencapaian akses terhadap pengadilan tersebut.
Menurut temuan penelitian tahun 2007, masyarakat miskin menghadapi hambatan utama  dalam masalah keuangan  untuk mengakses Pengadilan Agama  yang berkaitan dengan biaya perkara dan ongkos transportasi untuk datang ke pengadilan. Temuan tersebut kemudian direspon oleh Mahkamah Agung dengan memberikan perhatian besar untuk terselenggaranya sidang keliling dan pembebasan biaya perkara dengan proses prodeo.[7]
Prodeo dan Sidang Keliling sudah mulai berjalan di hampir seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Namun demikian, bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu tidak hanya sebatas pada pemberian kedua fasilitas tersebut. Masyarakat miskin biasanya identik dengan tingkat pendidikan  rendah  yang  berimplikasi pada minimnya pengetahuan mereka  terhadap masalah hukum ketika harus membawa perkaranya ke pengadilan.
Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan sering kali  dihadapkan pada  aturan dan bahasa hukum yang  kadang terkesan  kaku dan prosedural.  Baik dalam tahapan litigasi maupun non litigasi semuanya harus  dilakukan sesuai dengan  aturan  hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan  padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.
Undang-Undang Dasar  1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama  di hadapan hukum.  Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan.
Pasal 56 Undang-Undang No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 60B Undang-Undang No. 50/2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 Undang-Undang No. 48/2009 dan Pasal 60 (c) Undang-Undang No. 50/2009  juga mengatur bahwa di setiap Pengadilan dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Ayat berikutnya disebutkan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan secara cuma-cuma  pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan hal tersebut, dalam konteks inilah pedoman pemberian bantuan hukum  salah satunya sidang keliling  diperlukan sebagai bentuk pelaksanaan amanat Undang-Undang dan rujukan dalam menjamin optimalisasi akses masyarakat miskin dan termarjinalkan terhadap Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
   Sidang keliling adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap (berkala) atau sewaktu-waktu oleh pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi di luar tempat kedudukan pengadilan[8]. Sidang keliling merupakan sebuah upaya bantuan hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, karena aparat peradilan melaksanakan sidang di luar gedung pengadilan yang pastinya tempat tersebut adalah tempat yang jauh dari pengadilan. Dengan arti kata, bahwa peradilan memberikan kemudahan jarak tempuh bagi pencari hukum untuk mendapatkan hak mereka di pengadilan.
Sidang keliling ini merupakan salah satu penjabaran dari acces to justice, yang telah menjadi komitmen masyarakat hukum di banyak negara. Sidang keliling ini merupakan langkah untuk mendekatkan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat. Sebagai program pengembangan dari acces to justice, sidang keliling mesti mendapat perhatian dari semua pihak yang terkait, sehingga keadilan dapat terjangkau oleh semua pihak.[9]
Sidang keliling ini bukan berarti Pengadilan Agama mencari-cari orang yang rumah tangganya bermasalah lalu menyelesaikan masalah tersebut. Karena bahwa asas hukum acara peradilan bahwa pengadilan bersifat pasif, yaitu pengadilan menunggu perkara dari masyarakat dan masyarakat tersebut yang datang ke pengadilan untuk berperkara. Pendahuluan buku pedoman sidang keliling Peradila Agama, tepatnya pada angka 9 menjelaskan bahwa pada prinsipnya pengadilan hanya bersifat menunggu orang datang ke pengadilan untuk menyelesaikan perkaranya. Pengadilan tidak mencari perkara. Namun demikian, masih banyak masyarakat yang mengalami kesulitan datang ke pengadilan, padahal mereka sangat membutuhkan pelayanan hukum dan keadilan menjadi gagal karena terkendala oleh kondisi geografis, transportasi, sosial maupun ekonomi.[10] Maka dengan hal ini pengadilan memberikan solusi bagi masyarakat yang tidak mampu menjangkau pengadilan berdasarkan kendala tesebut dengan dilakukannya sidang keliling atau sidang di luar gedung pengadilan di tempat masyarakat tersebut.
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2014 telah mengeluarkan sebuah peraturan, yaitu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, sebagian isinya mebahas mengenai sidang keliling. Dengan adanya bantuan hukum berdasarkan PERMA ini, tentunya mempermudah orang-orang yang ingin berperkara di pengadilan.
PERMA ini mengacu kepada ketentuan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Pasal 56 dan 57, Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Pasal 68 B dan 69 C, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Pasal 60 B dan 60 C, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Pasal 144 C dan 144 D yang mengatur tentang hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.[11]
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan peradilan-peradilan yang berada di bawahnya memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mencari keadilan, termasuk akses untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu. Kemudian untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat yang tidak mampu tersebut, dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum. Untuk memberi pelayanan hukum dan keadilan kepada setiap orang tersebut menjadi kewajiban negara.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tentunya terdiri dari ribuan pulau. Hubungan antara pulau satu dengan pulau yang lain terkadang sulit dilakukan, karena masih banyaknya sarana dan prasarana yang belum terpenuhi. Sementara itu, keberadaan kantor Pengadilan Agama/Syar’iyah yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota, banyak menimbulkan kesulitan bagi masyarakat yang ingin mengajukan perkara mareka ke pengadilan yang berada di wilayah yang jauh, bahkan terkadang ditambah dengan keadaan jalan yang tidak bagus serta medan jalan yang cukup sulit. Seperti daerah nagari Pagadih Kec. Palupuh, bahwa daerah ini merupakan daerah yang sulit untuk ditempuh, karena medan jalan yang curam serta ditambah dengan keadaan jalan yang belum diaspal dan sulit ditempuh.
Selain keadaan jalan yang cukup sulit, mereka juga dihadapkan kepada tingginya biaya untuk pergi ke pengadilan tersebut, bahkan mereka terkendala terhadap biaya perkara yang menurut mereka sulit untuk dipenuhi. Seperti yang diungkapkan oleh Yusri Elfinar,[12] bahwa untuk menyediakan uang senilai 100.000,- sangatlah sulit. Sedangkan dia adalah merupakan warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara Indonesia lainnya yang mudah mendapatkan keadilan. Problema hukum yang mereka hadapai yang seharusnya mendapat kepastian hukum dan keadilan, menjadi gagal akibat berbagai kesulitan tersebut terutama bagi mayarakat miskin (justice for the poor).
Hal demikian dijelaskan pada pasal 14 BAB IV PERMA No. 1 tersebut, yaitu; “Pengadilan dapat melaksanakan layanan sidang di luar gedung pengadilan untuk mempermudah setiap warga negara yang tidak mampu atau sulit mencapai lokasi kantor Pengadilan karena hambatan biaya atau hambatan fisik atau hambatan geografis”. Pada PERMA ini mengatur mengenai sidang keliling pada BAB IV, tujuh pasal, yaitu pasal 14 sampai pasal 21.
2.      Bentuk dan Tujuan Sidang Keliling
Sidang keliling ada dua bentuk, yaitu sidang keliling tetap dan sidang keliling insidentil, berikut penjelasannya;
a.       Sidang keliling tetap, yaitu sidang keliling yang dilaksanakan secara berkala di suatu tempat yang telah ditetapkan dan diadakan secara rutin setiap tahun. Untuk melakukan sidang keliling tetap harus dipenuhi kriteria antara lain:
1)      Daerah terpencil, yakni daerah yang jauh dari lokasi kantor gedung pengadilan di dalam wilayah kabupaten/kota di mana gedung pengadilan tersebut berkedudukan,
2)      Daerah kabupaten lain yang belum ada  kantor pengadilan, yang masih dalam wilayah yurisdiksinya,
3)      Daerah yang fasilitas sarana transportasinya sangat sulit terjangkau,
4)      Daerah yang lokasinya jauh dan sulit serta mengakibatkan tingginya biaya pemanggilan ke wilayah tersebut,
5)      Perkara masuk dari wilayah tersebut berdasarkan data perkara selama 3 (tiga) tahun terakhir.[13]
b.      Sidang keliling insidentil, adalah sidang keliling yang dilakukan sewaktu-waktu di luar sidang keliling tetap atas permintaan atau usulan dari:
1)      Masyarakat setempat
2)      Pemerintah daerah setempat, atau kepala desa/kelurahan
3)      Instansi pemerintahan lainnya
4)      Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewakili masyarakat setempat; atau Perguruan tinggi di daerah hukum pengadilan setempat.[14]
Keputusan sidang keliling insidentil ditetapakan oleh Ketua Pengadilan dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Keputusan sidang keliling insidentil dengan memperhatikan kriteria sebagaimana sidang keliling tetap. Khusus sidang keliling insidentil di luar negeri yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Jakarta pusat dilakukan atas permintaan Kementrian Luar Negeri RI. Pada sidang keliling yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Bukittinggi merupakan sidang keliling insidentil.[15]
Berdasarkan yang telah disebutkan pada bab I, bahwa tujuan dari sidang keliling ada tiga, yaitu:
a.       Memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan dalam mendapatkan pelayanan hukum dan keadilan (justice for all dan justice for poor).
b.      Mewujudkan proses keadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
c.       Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum Islam yang penegakannya menjadi tugas dan wewenang pengadilan.[16]
Seharusnya ada ditambah satu lagi tujuan dari sidang keliling ini, yaitu untuk memperkenalkan apa sebenarnya lembaga peradilan itu ke pada masyarakat. Karena salah satu masalah yang paling ditakutkan oleh masyarakat Palupuh adalah pengadilan.[17] Tidak hanya di Palupuh ini, sebenarnya masih banyak masyarakat yang takut mendengar kata “pengadilan” ini. Karena masyarakat takut ke pengadilan, maka masyarakat akan atakut juga untuk menyelesaikan perkara perkawinan mereka ke pengadilan.
3.      Persiapan dan Pelaksanaan Sidang Keliling
Sidang keliling ini dapat dilakukan di kantor pemerintah setempat seperti kantor kecamatan atau kelurahan, gedung milik Pengadilan Negeri, kantor perwakilan Negara RI di luar negeri atau tempat gedung lainnya yag dimungkinkan bisa dipakai untuk sidang keliling.
Persiapan mengenai perlengkapan dan alat-alat untuk keperluan sidang, hal ini disesuaikan dengan keperluan dan keadaan setempat. Kelengkapan alat-alat sidang tentunya seperti perlengkapan sidang biasa yang dilakukan di kantor pengadilan. Jenis perkara yang dapat dilakukan pada sidang keliling diantaranya adalah isbat nikah, cerai gugat, cerai talak, pengggabungan perkara isbat dan cerai gugat/cerai talak apabila pernikahan tidak ada bukti dan menngajukan perceraian, hak asuh anak dan penetapan ahli waris.
Apabila ada suatu perkara yang sedang disidangkan dalam sidang keliling tapi belum selesai, sedang anggaran DIPA untuk pelaksanaan sidang keliling tersebut telah habis sehingga tidak ada sidang keliling lanjutan, maka pemerikasaan dilanjutkan di gedung pengadilan di mana pengadilan itu berkedudukan. Sepertinya ini akan menjadi masalah, karena pastinya masyarakat yang berperkara tersebut akan kecewa dengan pengadilan yang seolah-olah menggantungkan perkara mereka.
Petugas dalam pelaksanaan sidang keliling ini minimal terdiri dari satu majelis hakim (tiga orang hakim), seorang panitera pengganti dan seorang petugas administrasi. Dalam hal-hal tertentu sidang keliling mengikutsertakan seorang hakim mediator, seorang pejabat penanggung jawab dan seorang jurusita/jurusita pengganti.
Pelaksaanaan sidang keliling ini dapat dilaksanakan di Kantor Pemerintah, gedung milik Pengadilan Negeri, kantor perwakilan Negara Republik di luar negeri, atau di tempat gedung lainnya. Sidang keliling yang diliaksakan Pengadilan Agama Bukittinggi di palupuh bertempat di Kantor Urusan Agama. Mengenai masalah keamanan pada pelaksanaan sidang keliling ini tidak memakai perangkat keamanan seperti polisi atau Linmas, hanya mengandalkan jurusita pengganti.[18]

B.    Kesadaran Hukum
1.      Konsep Kesadaran Hukum
Perubahan-perubahan pada umumnya adalah ciri yang melekat pada masyarakat. Pada hakikatnnya pembangunan juga merupakan perubahan (yang direncanakan) dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan, baik di bidang struktural maupun spritual, misalnya hakim, polisi, jaksa, pejabat-pejabat administrasi dan lain-lain. Bila pandangan pejabat hukum terhadap suatu peristiwa yang diatur di dalam undang-undang (hukum) berubah, maka sesungguhnya hukum juga telah berubah walaupun bunyinya tetap sama. Dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan-pandangan hukum pejabat-pejabat hukum tesebut adalah perwujdan dari kesadaran hukum dari pejabat-pejabat hukum yang bersangkutan.[19]
Sumber satu-satunya hukum dan kekuatan yang mengikat adalah kesadaran hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum dan keyakinan hukum individu pada masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya, dinyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari kesadaran-kesadaran hukum individu mengenai suatu peristiwa tertentu. Pendapat tersebut pada hakikatnya menyatakan, hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa hukum ditentukan dan tergantung pada praktek-praktek sehari-hari dari pada pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban hukum. Kedua kesadaran hukum tersebut sejalan, akan tetapi dalam kenyataan tidak selalu demikian prosesnya. Padahal, kepastian hukum dan ketertiban umum selalu menuntut agar ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati.[20]
Kata kesadaran yang asal katanya sadar, yang berarti merasa tahu dan mengerti. Orang yang sadar berarti bukan orang yang sekedar tahu akan apa yang ia lakukan, bahkan ia juga mengerti tentang apa yang ia lakukan. Sedangkan hukum dapat diartikan sebagai norma-norma, norma-norma itu sendiri adalah nilai-nilai. Jadi istilah kesadaran hukum itu merupakan pemaknaan dari kesadaran atau nilai-nilai yang terdalam pada diri manusia, mengenai peraturan atau tentang sesuatu yang diharapkan ada.[21]
Kesadaran hukum terbagi menjadi dua, yaitu; pertama, kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum, dan kedua, kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum.[22] Seseorang yang mengetahui akan suatu peraturan hukum, mengetahui maksud dari hukum tersebut, namun orang itu tidak mau mematuhi aturan itu, maka seseorang itu mempunyai kesadaran hukum yang negatif. Maka kesadaran hukum itu menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tersebut  dipatuhi atau tidak. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, yaitu:
a.    Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukum  atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang  melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibat kepatuhan hukum  akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
b.    Identification,  terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intriksinya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut.  Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut sehingga  kepatuhan tergantung pada baik buruknya interaksi  tadi.
c.    Internatization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara instrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilai diri pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya.
d.   Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.[23]
Ewick dan Silbey sebagai mana yang dikutip di dalam buku Achmad Ali, dia membagi kesadaran hukum itu menjadi tiga jenis, yait; consciousness as attitude (kesadaran sebagai sikap), consciousness as epiphenomenon (kesadaran sebagai epiphenomenon) dan consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktik kultural).
a.    consciousness as attitude (kesadaran sebagai sikap)
Beberapa ilmuan mengungkapkan konsep kesadaran sebagai gagasan-gagasan dan sikap-sikap dari individu-individu yang menentukan bentuk dan tesktur kehidupan sosial. Secara singkat konsep tentang kesadaran ini, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial dari semua ukuran dan tipe (keluarga-keluarga, kelompok-kelompok sebaya, kelompok-kelompok kerja, perusahaan-perusahaan, komunitas-komunitas, institusi-institusi hukum, dan masyarakat-masyarakat), muncul dari tindakan-tindakan bersama dari individu-individu.[24]
Tradisi liberal klasik, baik dalam teori politik maupun teori hukum, mengunakan konsep kesadaran ini. Menurut pendekatan ini, masyarakat politis adalah... suatu asosiasi individu-individu yang menentukan dirinya sendiri, yang menyatukan keinginan-keinginan mereka dan mengumpulkan kekuasaan mereka di dalam negara, untuk tujuan-tujuan kepentingan diri sendiri yang sama-sama menguntungkan. Dalam hal ini kesadaran terdiri atas baik nalar maupun keinginan (hasrat), meskipun demikian, menurut ideologi liberal, keinginan, yang tetap tidak dikaji dan tidak dijelaskan adalah bagian yang menggerakkan aktif, atau primer diri dari ... Apa yang membedakan seseorang dari orang lain, bukanlah bahwa mereka memahami duia secara berbeda, tatapi karena menginginkan hal-hal secara berbeda, bahkan ketika mereka berbagi pemahaman yang sama tentang dunia tersebut. Di sini, personalitas manusia menjadi terlepas dari sejarah; manusia dapat dan membuat sejarah.[25]
Dengan mengikuti konsep sikap tentang kesadaran hukum ini, banyak ilmu sosial Amerika pasca-Perang Dunia II yang berusaha untuk mendokumentasikan variasi dalam keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan tindakan-tindakan di antara para warga Amerika, sebagai suatu sarana untuk menjelaskan bentuk dari institusi-institusi hukum Amerika. Ironisnya, meskipun terdapat fokus sentral pada kapasitas dari keinginan-keinginan, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap individual, untuk membentuk dunia, tetapi riiset yang dihasilkan, bukannya mengambarkan variasi individual, sebaliknya konsensus normatif mendalam, yang berbasis luas. Sementara para warga mengekspresikan skeptisme yang permanen tentang keadilan institusi-institusi hukum, mereka tampak terikat, baik terhadap disukainya maupun terhadap kemungkinan merealisasikan ideal-ideal hukum untuk perlakukan yang sama dan adil.[26]
Belakangan, Tom Tyler dan Alan Lind, telah mendokumentasi keterikatan warga Amerika kepada ideal-ideal keadilan dan due proces yang sama, tentang apa yang ditandai sebagai keadilan prosedural. Mereka berdua menunjukkan bahwa orang-orang yang megevaluasi pengalaman-pengalaman hukum mereka ,dalam kerangka proses-proses dan bentuk-bentuk interaksi, ketimbang hasil-hasil dari iteraksi-intertaksi tersebut. Dengan perkataan lain, sikap-sikap tentang hukum, berkorelasi kuat denga putusan-putusan tentang keadilan prosedur yang digunakan oleh otoritas-otoritas hukum, ketimbang dengan apakah orang menjadi menang dan kalah dalam proses tersebut. Orang-orang peduli untuk memiliki otoritas-otoritas yang netral dan jujur yang memberikan merekauntuk mengemukakan pandangan-pandangan mereka dan yang memperlakukan mereka dengan bermartabat dan hormat. Riset ini menunjukkan bahwa orang-orang kaya lebih tampil kedepan (the haves come out ahead) ketimbang orang miskin, dan hal itu disebabkan karena warga menimbang prosedur lebih besar ketimbang substansi. Struktur hukum yang terstratifikasi dengan demikian ditopang oleh suatu procedural consciousness (kesadaran prosedural) yang dipresentasikan dalam komitmen-komitmen warga negara terhadap  substantive equality (persamaan sunstantif).[27]
b.    consciousness as epiphenomenon (kesadaran sebagai epiphenomenon)
Di ujung lain dari continuum konsep-konsep kesadaran, beberapa ilmuwan menganggap kesadaran sebagai produk samping dari operasi struktur-struktur sosial, ketimbang agen formatif dalam membentuk struktur-struktur. Dengan demikian para ilmuwan strukturlis dan Marxis, beragumentasi bahwa individu-individu adalah pembawa dari hubungan-hubungan sosial, dan sebagai konsekwensinya adalah hubungan-hubungan sosial bukannya indovidu-individu, itulah yang merupakan objek analisis yang tepat.[28]
Mengikuti perspektif ini, maka beberapa ilmuan memandang hukum maupun kesadaran hukum sebagai ephiphenomeon, yaitu suatu struktur ekonomi terpenting untuk memproduksi suatu tertib hukum yang berkaitan atau yang tepat. Karya ini sering menggambarkan bagaimana kebutuhan-kebutuhan produksi dan reproduksi kapitalis membentuk perilakuk dan kesadaran hukum . kajian-kajian menfokuskan pada produksi dan praktik hukum akomodasi kepentingan-kepentingan kelasnya dan stratifikasi serta ketidakadilan-ketidakadilan  yang dihasilkan.[29]
Riset belakangan dalam perspektif strukturalis ini menunjukkan bahwa tertib hukum berkembang sebagai tanggapan terhadap konflik-konflik dan ketidakkonsistenan yang dihasilkan oleh mode produksi kapitalis, ketimbanng sebagai suatu instrumen langsung dari kepentingan-kepentingan kelas tertentu. Untuk meligetimasi ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan dan irasional-irasional yang dilahirkan dari kontradiksi-kontradiksi sistem ekonomi, maka tertib hukum membentuk mitos-mitos, menciptakan lembaga-lembaga penindas dan berusaha unutk mmengharmonisasikan eksploitasi dengan kebebasan, perampasan dengan pilihan, kesepakatan-kesepakatan kontrak yang secara inheren tidak adil, dengan suatu ideoligi kemauan bebas. Meskipun demikian, bahkan di dalam formulasi yang lebih kompleks ini, hukum dan kesadaran hukum, masih merupakan produk-produk ketimbang produsen-produsen hubungan sosial.[30]
Dalam kaitan itu, beberapa literatur telah menfokuskan kepada false cinsciousness (kesadaran palsu) atau the inability of subjects (ketidak mampuan para subjek), khususnya para anggota dari kelas pekerja, untuk mepersepsi minat-minat mereka yang sebenarnya atau menggali kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Suatu pandangan alternatif di dalam tradisis strukturalis, memandang bahwa kesadaran hukum adalah salah satu dari cara-cara yang di dalamnya organisasi sosial-sosial menghasilakan sarana-sarana untuk mewenangkan, menopang, dan memproduksi dirinya sendiri. Dengan menfokuskan pada pelegitimasian fungsi-fungsi hukum, maka riset memberi gambaran tentang cara-cara yang di dalamnya hukum membantu orang-orang untuk memandang dunia-dunia mereka, baik privat maupun publik sebagai suatu yang alami, ketimbang sebagai sesuatu yang dibentuk melalui interaksi sosial.[31] Jadi, tentunya keadaan perekonomian secara tidak langsung akan mempengaruhi terhadap kesadaran hukum, perekonomian yang baik akan menghilangkan konflik-konflik yang akan berujung pada kesadaran terhadap hukum.
c.    consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktik kultural)
Ewick dan Susan berpendapat sebagaimana yang dikutib oleh Achmad Ali, bahwa:
We conceive of consciousness as part of a reciprocal proces in wich the meaning given by individuals to their world, and law and legal institution as part of the world, become repeated, patterned and stabilized, and those institutionalized strictures become part of the meaning employed by individuals...”
(Kita menganggap kesadaran sebagai bagian dari suatu proses timbal balik, yang di dalamnya makna-makna yang diberikan oleh individu-individu kepada dunia mereka, hukum serta institusi-institusi hukum sebagai bagian dari dunia tersebut, menjadi berulang, berpola dan sistabilkan, dan struktur-struktur yang dilembagakan tersebut menjadi begian dari sitem-sistem makna yang digunakan oleh individu-individu...)[32]

Lalu mengacu kepada Gordon Marshall yang menuturkan bahwa “we understand consciousness to be formed within and changed by social action...” (kita memahami kesadaran sebagia sesuatu yang terbentuk di dalam dan diubah oleh tindakan sosial...). selanjutnya mengacu kepada Rick Fantasia yang menjelaskan bahwa “it is, then, less a matter of disembodied mental attitude than a boarder set of practices and repertoires” (dengan demikian, ini lantas kurang menjadi persoalan sikap mental yang tidak termanifestasikan, ketimbang suatu perangkat praktik-praktik dan reportoire yang lebih luas). Kemudian mengacu kepada pendapat Ann Swidler yan g menyatakan bahwa kesadaran merupakan “inventories the are available for empirical investigation” (inventaris-inventaris) yang tersedia untuk penyelidikan empiris).[33]
Selanjutnya Ewick dan Silbey, menguraikan bahwa:
Conceptualized in this way, consciousness in neither fixed, stable, unitary, not consistent. Instead, we see legal consciousness as something local, contextual, pluralistic, actions and ways of operating that collectifely respresent a person’s legal consciousness may very across time (to reflect learning and experience) or across interactions (to reflect different object, relationship or purpose). To the extent that consciousness is emergent in social practice and forged in and around situated evend and interactions (a dispute with a neighbor, a criminal case, a plumber who seemed to work few hours but charged for many), a person may express, through words or actions, a multi-faceted, contradictory and variable consciousness.
(Jika dikonseptualisasikan dengan cara ini, maka kesadaran tidaklah permanen, tidak stabil, tidak uniter atau tidak konsisten. Sebagai gantinya kita melihat kesadaran hukum sebagai sesuatu yang bersifat lokal, kontekstual, pluralistis, yang diisi dengan konflik dan kontradiksi. Gagasan-gagasan, interpretasi-interpretasi, tindakan-tindakan dan cara-cara beroperasi yang secara kolektif mempresentasikan kesadaran hukum seseorang dapat berfariasi sepanjang masa (untuk mencerminkan pembelajaran dan pengalaman) atau di seluruh interaksi (untuk mencerminkan objek-objek, hubungan-hubungan atau tujuan-tujuan yang berbeda). Hingga kadar bahwa kesadaran muncul dalam praktik sosial dan ditempa di dalam dan di sekitar peristiwa-peristiwa dan interaksi-interaksi yang disituasikan (sengketa dengan tetanggga, kasus pidana, tukang leding yang tampaknya hanya bekerja beberapa jam, tetapi menuntut banyak  jam), seseorang mungkin mengekspresikan melalui kata-kata atau tindakan-tindakan kesadaran yang multifacet, kontradiktif dan bermacam ragam)[34]
Ewick dan Silbey lebih jauh mengemukakan bahwa, meskipun kesadaran hukum dapat muncul menurut perspektif ini, merupakan kemunculan baru, bersifat kompleks dan bergerak, tetapi juga harus diketahui bahwa kesadaran hukum mempunyai bentuk dan pola. Variasi-variasi yang memungkinkan dalam kesadaran hukum dibatasi secara situasional dan organisasional. Ketimbang berbicara tentang makna sebagai suatu proses yang diindividualkan, kita menekankan bahwa di setiap situasi atau lingkungan, hanya terdapat sejumlah sejumlah terbatas, interpretasi-interpretasi yang tersedia untuk melekatkan makna kepada hal-hal dan peristiwa-peristiwa. Sama halnya akses ke dan pengalaman dengan situasi-situasi yang darinyalah interpretasi-interpratasi muncul dan tersedia secara berbeda. Dalam halini, perhatian kepada kesadaran, menekankan konstrusi kolektif dan penghalang-penghalang yang bekerja di setiap lingkungan atau komonitas dan juga kerja subjek dalam membuat interpretasi-interpretasi dan melekatkan makna-makna.[35]
Ide tentang kesadaran hukum warga-warga masyarakat sebagai sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang rechtsgefuhl atau rechtsbewustszijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yanng mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum.[36]
Masalah kesadaran hukum di Indonesia mendapat tempat yang sangat penting dalam politik hukum khususnya, serta dalam pembangunan pada umumnya yang merupakan suatu perubahan yang direncanakan. Masalah kesadaran hukum dianggap sebagai variabel bebas, sedangkan tingkat ketaatan merupakan variabel tergantung.[37]
2.      Indikator-Indikator Kesadaran Hukum
Indikator-indikator dari kesadaran hukum merupakan petunjuk-petunjuk yang kongkrit tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Dengan adanya indikator-indikator tersebut, seseorang yang menaruh perhatian terhadap kesadaran hukum akan dapat mengetahui apa yang sesungguhnya merupakan kesadaran hukum. Berikut adalah indikator-indikator kesdaran hukum:
a.    Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum
Merupakan pengetahuan seseorang mengenai beberapa tindakan yang diatur sedemikian rupa oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan  dengan tindakan yang dilarang maupun yang diperbolehkan oleh hukum, serta aturan mengenai sebuah alur hukum seperti administrasi dan sebagainya. Pengetahuan hukum positif erat kaitannya dengan asumsi, bahwa  masyarakat dianggap mengetahui suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah di undangkan.
Menurut Otje Salman pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud di sini hukum tertulis dan tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perlilaku yang dilarang dan diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri dan lain sebagainya dilarang oleh hukum.[38]
Bila suatu peraturan perundangan-undangan telah diundangkan dan diterbitkan menurut peraturan yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa sitiap warga masyarakat mengetahui adanya undang-undang tersebut. Seperti Undang-Undang tentang Perkawinan, sepertinya undang-undang ini telah diketahui oleh masyarakat secara luas, dikarenakan undang-undang ini telah ada sejak tahuan 1974, berarti kurang lebih 41 tahun undang-undang ini telah diundangkan.
Pengetahuan masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai peraturan hukum tertantu seperti Undang-Undang Perkawinan ini. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pengetahuan hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat dikatakan masyarakat itu belum atau kurang mempunyai pengetahuan hukum.[39]
b.    Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (pemahaman  hukum)
Merupakan sejumlah pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai isi  peraturan terhadap suatu hukum tertentu. Bisa diartikan dengan suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya di atur oleh peraturan tersebut. Sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan arti kata lain, pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu hukum tertentu, baik  tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.[40]
Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyarakatkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, terutama kaitannya dengan norma-norma yang ada pada masyrakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.
Pemahaman hukum itu dapat diperoleh salah satunya melalui pengetahuan tentang isi dari hukum, sehingga dapat diketahui maksud dan tujuan dari peraturan itu dibuat, serta manfaat dari peraturan itu dapat diketahui oleh masyarakat, maka dengan hal ini cita-cita hukum dapat tercapai. Seperti dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-perundangan yang berlaku” dan dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”, dengan masyarakat mengetahui adanya peraturan seperti ini, maka masyarakat akan paham bahwa salah satu tujuan peraturan itu adalah untuk menjamin ketertiban dalam administrasi.
Peraturan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, tentunya masyarakat akan mendapatkan pemahaman hukum yang mudah, namun terkadang ada peraturan yang membuat masyarakat berbeda persepsi megenai maksud dan makna dari sebuah peraturan sehingga harus adanya penjelasan dari pakar hukum (sebagai contoh) untuk menjelaskannya, seperti ayat (1) dan (2) pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; yaitu
(1)   Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu
(2)   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada sebagian masyarakat yang hanya mengamalkan ayat (1), sehingga mereka tidak melakukan pencatatan pernikahan mereka, karena mereka menganggap telah menjalankan undang-undang sesuai yang diatur pada ayat (1) tersebut.
c.     Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum
Merupakan suatu kecendrungan untuk menerima  hukum karena adanya penghargaan terhadap  hukum sebagai suatu bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum  akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat  menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami dan mentaatinya. Artinya ia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut dapat menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia akan tetapi juga dari segi batiniah.[41]
Kecendrungan masyarakat untuk menerima menghargai hukum ini dipengaruhi oleh:
1)      Ketentuan-ketentuan hukum tertulis tidak sapat mengikuti perubahan-perubahan masyarakat yang terjadi
2)      Hukum tidak sesuai dengan sistim yang berlaku
3)      Khususnya mengenai hukum baru, dapat timbul perbedaaan oleh karena hukum tadi belum berhasil mengubah pendapat umum masyarakat
4)      Adanya perbedaan-perbedaan antara apa yang dikehendaki hukum dengan apa yang dikendaki masyarakat umum.[42]
d.    Pola-pola perikelakukan hukum
Pola-pola perikelakukan hukum atau kepatuhan  terhadap hukum , hal ini merupakan hal utama dalam kesadaran hukum, karena dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat dan apakah peraturan itu dilaksanakan atau diabaikan saja oleh masyarakat. Dengan demikian, sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.
Kepatuhan atau ketaan kepada hukum ada berbagai sebab yang mempengaruhinya sehingga hukum tersebut dipatuhi:
1)      Takut karena sanksi negatif apabila hukum dilanggar
2)      Untuk menjaga hubungan baik dengan pengusaha
3)      Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
4)      Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
5)      Kepentingnannya terjamin.[43]
Secara teoritis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal itu disebabkan faktor pertama, kedua dan ketiga, penerapan hukum senantiasa diawasi oleh petugas-petugas tertentu, agar hukum itu benar-benar ditaati di dalam kenyataannya. Seperti pada peraturan perkawinan, bahwa masalah perkawinan ini masih banyak yang diselewengkan oleh masyarakat dikarenakan tidak adanya faktor yang pertama, yaitu adanya sanksi apabila peraturan mengenai perkawinan dilanggar.
Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia baik secara individu maupun kolektif. Oleh karenanya jarang kesadaran hukum lebih menitik beratkan kepada nilai-nilai yang berlaku kepada masyrakat. Sistem-sistem nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan sikap mental menusia, sikap mental yang ada pada hakikatnya merupakan kecendrungan untuk bertingkah laku dan membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah.[44]
Berdasarkan uraian tersebut, maka keempat indikator kesadaran hukum tersebut akan menunjukkan tingkatan-tingkatan pada kesadaran hukum seseorang. Apabila seseorang hanya memenuhi indikator yang pertama, yaitu menngetahui tentang suatu peraturan hukum, maka kesadaran hukumnya sangatlah rendah, begitu seterusnya dengan indikator kedua dan ketiga, tentunya indikator yang keempat yaitu pola-pala perikelakukan hukum atau ketaatan hukum adalah sebuah penilaian terhadap kesadaran hukum yang tinggi. Tingginya kesadaran hukum masyrakat, membuat masyarakat pastinya akan mentaati peraturan-peraturan yang berlaku. Begitu pun sebaliknya, apabila kesadaran hukum rendah, maka kemungkinan kecil hukum akan ditaati.
Apabila konsepsi dari kesadaran hukum dipandang sempit, maka seakan mensyaratkan di dalamnya terdapat peraturan-peraturan hukum terlebih dahulu sebelum kesadaran-kesadaran hukum itu timbul. Dalam sudut pandang yang lebih luas, konsepsi ini dapat diterapkan dari dua titik pusat. Apabila titik pusat kesadaran hukum adalah peraturan-peraturan hukum, maka melalui konsepsi ini dapat dilihat sampai sejauh mana efektifitas peraturan-peraturan hukum itu dalam masyarakat.
Namun apabila titik pusat kesadaran hukum adalah fakta-fakta sosial yang berada di tengah masyrakat, maka fakta-fakta sosial itu akan menjadi proses dari pembentukan hukum.[45] Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini merupakan kesadaran hukum yang bertitik pusat pada fakta-fakta sosial pada masyarakat, karena penelitian ini diharapkan bisa merubah kebijakan yang ada di Pengadilan Agama Bukittinggi khususnya, umumnya tentu kepada semua Pengadilan Agama, serta Mahkamah Agung.





[1] Masa tabi’ adalah masa setelah masa Khulafah Rasyidin, sedangkan masa tabi’ tabi’in adalah masa setelah masa tabi’in, tepatnya pada masa imam mazhab.
[2] Beranda atau selasar yang agak panjang bersambung dengan bangunan induk masjid. peradilan serambi adalah proses peradilan yang dilakukan di beranda atau selasar masji.
[3] Basiq Jalil, Peradialan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 33
[4] Sulaiki Lubis dkk, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.1
[5] Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 2-3
[6] Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 79
[7] SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, Lampiran B, Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, Bab I Pendahuluan
[8] Pasal 1 angka 8 SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, Lampiran B Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama
[9] Pedoman Sidang Keliling Pengadilan Agama, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Tahun 2013, h. 3-4
[10] Ibid, h. 4
[11] Konsideran PERMA No. 1 Tahun 2014, poin a
[12] Yusri Elfinar, warga Sipisang, Nagari Nan Tujuah, wawancara, tgl. 15 Agustus 2015
[13] Ibid, h. 9
[14] Ibid, h. 10
[15] Ibid, h. 10
[16] Ibid, h. 7
[17] Iing SM., wawancara, Wali Jorong Paninggiran bawah, 18 Agustus 2015
[18] Yongki Candra, Tata Usaha Kantor Urusan Agama Palupuh, wawancara,
[19] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), h. 166
[20]Ibid, h. 167
[21]Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2012), h. 299
[22]Ibid, h. 298
[23] Otje Salman dan Anton F. Susanto, , Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan   Membuka Kembali. (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h. 153 – 154.
[24] Achmad Ali, Op,cit, h. 314-315
[25] Ibid
[26] Ibid, h. 315-316
[27] Ibid, h. 316
[28] Ibid
[29] Ibid, h. 317
[30] Ibid
[31] Ibid, h. 317-318
[32] Ibid, h. 319
[33] Ibid, h. 319-320
[34] Ibid, h. 320-321
[35]Ibid, h. 321
[36] Ahmad Tholabi Khalie, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Perkawinan (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,2009), h. 40
[37] Ibid
[38] Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap hukum Waris, cet I (Bandung: Alumni, 1993), h. 40
[39] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 67
[40] Ahmad Tholabi Khalie, op.cit, h. 5
[41] Zainuddin Ali, op.cit, h. 68
[42] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali Pers,1982) h. 219
[43] Zainuddin Ali, loc.cit
[44] Ahmad Tholabi Khalie, op.cit, h. 44
[45] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar