BAB
II
SIDANG KELILING DAN KESADARAN HUKUM
Sekilas tentang Peradilan Agama, bahwa pada masa Rasulullah, jika ada orang
yang berperkara ataupun mempunyai masalah satu sama lain maka orang-orang yang
berperkara itu akan mengadukan perkaranya kepada Rasul dan meminta pendapat
serta keputusan dari Rasul. Karena Rasul terkenal dengan sifatnya yang adil,
tidak memihak
dan keputusannya pun berdasarkan al-Quran. Keputusan-keputusan Rasul tersebut yang kemudian menjadi bahan acuan bagi orang Islam untuk menyelesaikan perkara. Kemudian adanya qadhi yang akan menyelesaikan perkara umat muslim. Hal inilah yang diteruskan oleh sahabat Rasul sampai masa tabi’ dan tabi’ tabi’in[1], bahkan sampai saat sekarang yang kita kenal dengan peradilan.
dan keputusannya pun berdasarkan al-Quran. Keputusan-keputusan Rasul tersebut yang kemudian menjadi bahan acuan bagi orang Islam untuk menyelesaikan perkara. Kemudian adanya qadhi yang akan menyelesaikan perkara umat muslim. Hal inilah yang diteruskan oleh sahabat Rasul sampai masa tabi’ dan tabi’ tabi’in[1], bahkan sampai saat sekarang yang kita kenal dengan peradilan.
Semenjak Islam dikenal dan diterima di nusantara, sejak itu juga Peradilan Agama telah ada dan proses persidangan telah berjalan, satu
contoh di kerajaan Mataram kurang lebih pada tahun 1610-1645 dikenal Peradilan
Serambi[2],
karena tempat mengadili (persidangan) diadakan di serambi mesjid, dan
hakim-hakimnya diangkat oleh sultan.[3]
Pengakuan berlakunya hukum Islam yang telah ada sejak lama di wilayah Nusantara
ini pada masa lalu tercermin dalam kegiatan peradilan di beberapa Kerajaan/
Kesultanan.[4]
Ada beberapa alasan mengapa serambi
mesjid dijadikan sebagai tempat peradilan:
a. Meskipun masjid (termasuk serambinya) merupakan sarana tempat ibadah umat
Islam, namun fungsionalnya tidak hanya digunakan untuk ibadah (seperti shalat
dan tempat mengaji) akan tetapi digunakan juga untuk seluruh macam dan ragam
aktifitas masyarakat muslim yang positif termasuk tempat untuk bermusyawarah,
sekaligus sarana penyelesaian sengketa.
b. Orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan masalah/perkara (hakim) ketika itu
umumnya berasal dari kalangan penghulu/ulama yang notabene adalah orang yang
sangat dekat dan melekat dengan masjid serta tokoh yang kredibilitas keilmuan,
integritas moral dan rekam jejaknya sudah diakui oleh masyarakat muslim.
c. Sebenarnya tempat lain juga bisa digunakan untuk proses persidangan
(misalnya balai rakyat) namun menggunakan serambi masjid untuk menyelesaikan
perkara memiliki makna tersendiri. Mengingat masjid adalah identitas yang kuat
bagi umat Islam. Sehingga secara psikologis, orang Islam akan lebih nyaman
berada di masjid bila dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain, sekalipun
sedang memiliki permasalahan.[5]
Seiring dengan berjalannya waktu, peradilan dirancang dengan begitu baik
dalam mengatasi perkara masyarakat. Khusus untuk umat Islam, penyelesaian
perkara dilakukan di Pengadilan Agama. Oleh sebab itu perlu diatur dengan baik
pelayanan sebuah pengadilan kepada masyarakat pencari keadilan agar urusan
perkara berjalan dengan baik, benar, tepat dan mendapatkan putusan yang benar
dan adil serta institusi pengadilan dihormati dan disegani oleh
masyarakat/rakyat pencari keadilan.[6]
Dalam hai ini sudah ada pedoman dasar bagi aparatur pengadilan dalam melayani
pencari keadilan yang disebut dengan asas hukum Peradilan Agama.
Salah satu wujud untuk menciptakan pelayanan yang baik, benar dan tepat itu
adalah dengan dibentuknya sidang keliling oleh Pengadilan Agama. Dibentuknya
sidang keliling ini didasari oleh beberapa hal, seperti pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama
di hadapan hukum. Kemudian didasari juga dengan kondisi geografis Indonesia
yang terdiri dari banyak pulau, terkadang hubungan antara pulau tersebut sulit
untuk dilakukan karena kurangnya sarana transportsi. Ditambah lagi letak kantor
Pengadilan Agama yang terletak di pusat ibu kota kabupaten atau kota yang
menyebabkan sulitnya masyarakat yang berada di wilayah pelosok kabupaten kota
tersebut untuk pergi ke Pengadilan Agama.
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Sidang Keliling
Kebijakan negara akan arah pembangunan semakin menegaskan
pentingnya akses ke pengadilan bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan.
Negara juga semakin mengukuhkan pentingnya bantuan hukum sebagai strategi
pencapaian akses terhadap pengadilan tersebut.
Menurut temuan penelitian tahun 2007, masyarakat miskin
menghadapi hambatan utama dalam masalah
keuangan untuk mengakses Pengadilan
Agama yang berkaitan dengan biaya
perkara dan ongkos transportasi untuk datang ke pengadilan. Temuan tersebut
kemudian direspon oleh Mahkamah Agung dengan memberikan perhatian besar untuk
terselenggaranya sidang keliling dan pembebasan biaya perkara dengan proses
prodeo.[7]
Prodeo dan Sidang Keliling sudah mulai berjalan di hampir
seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Namun demikian, bantuan hukum bagi
masyarakat kurang mampu tidak hanya sebatas pada pemberian kedua fasilitas
tersebut. Masyarakat miskin biasanya identik dengan tingkat pendidikan rendah
yang berimplikasi pada minimnya pengetahuan
mereka terhadap masalah hukum ketika
harus membawa perkaranya ke pengadilan.
Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam
mengajukan perkaranya ke pengadilan sering kali
dihadapkan pada aturan dan bahasa
hukum yang kadang terkesan kaku dan prosedural. Baik dalam tahapan litigasi maupun non
litigasi semuanya harus dilakukan sesuai
dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan
atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi
aspek prosedural hukum.
Undang-Undang Dasar
1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Jaminan negara ini kemudian
dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan
akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan.
Pasal 56 Undang-Undang No. 48/2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dan pasal 60B Undang-Undang No. 50/2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya
perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 Undang-Undang No.
48/2009 dan Pasal 60 (c) Undang-Undang No. 50/2009 juga mengatur bahwa di setiap Pengadilan
dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum. Ayat berikutnya disebutkan bahwa bantuan hukum tersebut
diberikan secara cuma-cuma pada semua
tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan hal tersebut, dalam konteks inilah pedoman
pemberian bantuan hukum salah satunya
sidang keliling diperlukan sebagai
bentuk pelaksanaan amanat Undang-Undang dan rujukan dalam menjamin optimalisasi
akses masyarakat miskin dan termarjinalkan terhadap Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah.
Sidang keliling
adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap (berkala) atau sewaktu-waktu oleh
pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi di luar
tempat kedudukan pengadilan[8].
Sidang keliling merupakan sebuah upaya bantuan hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan, karena aparat peradilan melaksanakan sidang di luar gedung
pengadilan yang pastinya tempat tersebut adalah tempat yang jauh dari
pengadilan. Dengan arti kata, bahwa peradilan memberikan kemudahan jarak tempuh
bagi pencari hukum untuk mendapatkan hak mereka di pengadilan.
Sidang keliling ini merupakan salah satu penjabaran dari acces
to justice, yang telah menjadi komitmen masyarakat hukum di banyak negara.
Sidang keliling ini merupakan langkah untuk mendekatkan pelayanan hukum dan
keadilan kepada masyarakat. Sebagai program pengembangan dari acces to justice,
sidang keliling mesti mendapat perhatian dari semua pihak yang terkait,
sehingga keadilan dapat terjangkau oleh semua pihak.[9]
Sidang keliling ini bukan berarti Pengadilan Agama
mencari-cari orang yang rumah tangganya bermasalah lalu menyelesaikan masalah
tersebut. Karena bahwa asas hukum acara peradilan bahwa pengadilan bersifat
pasif, yaitu pengadilan menunggu perkara dari masyarakat dan masyarakat
tersebut yang datang ke pengadilan untuk berperkara. Pendahuluan buku pedoman
sidang keliling Peradila Agama, tepatnya pada angka 9 menjelaskan bahwa pada
prinsipnya pengadilan hanya bersifat menunggu orang datang ke pengadilan untuk
menyelesaikan perkaranya. Pengadilan tidak mencari perkara. Namun demikian,
masih banyak masyarakat yang mengalami kesulitan datang ke pengadilan, padahal
mereka sangat membutuhkan pelayanan hukum dan keadilan menjadi gagal karena
terkendala oleh kondisi geografis, transportasi, sosial maupun ekonomi.[10] Maka dengan hal ini pengadilan
memberikan solusi bagi masyarakat yang tidak mampu menjangkau pengadilan
berdasarkan kendala tesebut dengan dilakukannya sidang keliling atau sidang di
luar gedung pengadilan di tempat masyarakat tersebut.
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2014 telah
mengeluarkan sebuah peraturan, yaitu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian layanan Hukum Bagi Masyarakat
Tidak Mampu di Pengadilan. Pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, sebagian
isinya mebahas mengenai sidang keliling. Dengan adanya bantuan hukum
berdasarkan PERMA ini, tentunya mempermudah orang-orang yang ingin berperkara
di pengadilan.
PERMA ini mengacu kepada ketentuan Undang-Undang No. 48
Tahun 2009, Pasal 56 dan 57, Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Pasal 68 B dan 69
C, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Pasal 60 B dan 60 C, Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 Pasal 144 C dan 144 D yang mengatur tentang hak setiap orang yang
tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya
perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan
hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha
Negara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.[11]
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan peradilan-peradilan
yang berada di bawahnya memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mencari keadilan, termasuk akses untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat yang
tidak mampu. Kemudian untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat
yang tidak mampu tersebut, dalam pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakukan yang sama di hadapan hukum. Untuk memberi pelayanan hukum dan
keadilan kepada setiap orang tersebut menjadi kewajiban negara.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tentunya
terdiri dari ribuan pulau. Hubungan antara pulau satu dengan pulau yang lain
terkadang sulit dilakukan, karena masih banyaknya sarana dan prasarana yang
belum terpenuhi. Sementara itu, keberadaan kantor Pengadilan Agama/Syar’iyah
yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota, banyak menimbulkan kesulitan
bagi masyarakat yang ingin mengajukan perkara mareka ke pengadilan yang berada
di wilayah yang jauh, bahkan terkadang ditambah dengan keadaan jalan yang tidak
bagus serta medan jalan yang cukup sulit. Seperti daerah nagari Pagadih Kec.
Palupuh, bahwa daerah ini merupakan daerah yang sulit untuk ditempuh, karena
medan jalan yang curam serta ditambah dengan keadaan jalan yang belum diaspal
dan sulit ditempuh.
Selain keadaan jalan yang cukup sulit, mereka juga
dihadapkan kepada tingginya biaya untuk pergi ke pengadilan tersebut, bahkan
mereka terkendala terhadap biaya perkara yang menurut mereka sulit untuk
dipenuhi. Seperti yang diungkapkan oleh Yusri Elfinar,[12]
bahwa untuk menyediakan uang senilai 100.000,- sangatlah sulit. Sedangkan dia
adalah merupakan warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seperti warga negara Indonesia lainnya yang mudah mendapatkan keadilan.
Problema hukum yang mereka hadapai yang seharusnya mendapat kepastian hukum dan
keadilan, menjadi gagal akibat berbagai kesulitan tersebut terutama bagi
mayarakat miskin (justice for the poor).
Hal demikian dijelaskan pada pasal 14 BAB IV PERMA No. 1
tersebut, yaitu; “Pengadilan dapat melaksanakan layanan sidang di luar gedung
pengadilan untuk mempermudah setiap warga negara yang tidak mampu atau sulit
mencapai lokasi kantor Pengadilan karena hambatan biaya atau hambatan fisik
atau hambatan geografis”. Pada PERMA ini mengatur mengenai sidang keliling pada
BAB IV, tujuh pasal, yaitu pasal 14 sampai pasal 21.
2.
Bentuk dan Tujuan Sidang Keliling
Sidang keliling ada dua bentuk, yaitu sidang keliling
tetap dan sidang keliling insidentil, berikut penjelasannya;
a. Sidang keliling tetap, yaitu sidang keliling yang dilaksanakan secara
berkala di suatu tempat yang telah ditetapkan dan diadakan secara rutin setiap
tahun. Untuk melakukan sidang keliling tetap harus dipenuhi kriteria antara
lain:
1) Daerah terpencil, yakni daerah yang jauh dari lokasi kantor gedung
pengadilan di dalam wilayah kabupaten/kota di mana gedung pengadilan tersebut
berkedudukan,
2) Daerah kabupaten lain yang belum ada
kantor pengadilan, yang masih dalam wilayah yurisdiksinya,
3) Daerah yang fasilitas sarana transportasinya sangat sulit terjangkau,
4) Daerah yang lokasinya jauh dan sulit serta mengakibatkan tingginya biaya
pemanggilan ke wilayah tersebut,
5) Perkara masuk dari wilayah tersebut berdasarkan data perkara selama 3
(tiga) tahun terakhir.[13]
b. Sidang keliling insidentil, adalah sidang keliling yang dilakukan
sewaktu-waktu di luar sidang keliling tetap atas permintaan atau usulan dari:
1) Masyarakat setempat
2) Pemerintah daerah setempat, atau kepala desa/kelurahan
3) Instansi pemerintahan lainnya
4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewakili masyarakat setempat; atau Perguruan
tinggi di daerah hukum pengadilan setempat.[14]
Keputusan sidang keliling insidentil ditetapakan oleh
Ketua Pengadilan dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah
Syar’iyah Aceh dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Keputusan sidang keliling insidentil dengan memperhatikan kriteria sebagaimana
sidang keliling tetap. Khusus sidang keliling insidentil di luar negeri yang
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Jakarta pusat dilakukan atas permintaan
Kementrian Luar Negeri RI. Pada sidang keliling yang dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama Bukittinggi merupakan sidang keliling insidentil.[15]
Berdasarkan yang telah disebutkan pada bab I, bahwa
tujuan dari sidang keliling ada tiga, yaitu:
a. Memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan dalam
mendapatkan pelayanan hukum dan keadilan (justice for all dan justice
for poor).
b. Mewujudkan proses keadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
c. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum Islam yang
penegakannya menjadi tugas dan wewenang pengadilan.[16]
Seharusnya ada ditambah satu lagi tujuan dari sidang
keliling ini, yaitu untuk memperkenalkan apa sebenarnya lembaga peradilan itu
ke pada masyarakat. Karena salah satu masalah yang paling ditakutkan oleh
masyarakat Palupuh adalah pengadilan.[17] Tidak
hanya di Palupuh ini, sebenarnya masih banyak masyarakat yang takut mendengar
kata “pengadilan” ini. Karena masyarakat takut ke pengadilan, maka masyarakat
akan atakut juga untuk menyelesaikan perkara perkawinan mereka ke pengadilan.
3.
Persiapan dan Pelaksanaan Sidang Keliling
Sidang keliling ini dapat dilakukan di kantor pemerintah
setempat seperti kantor kecamatan atau kelurahan, gedung milik Pengadilan
Negeri, kantor perwakilan Negara RI di luar negeri atau tempat gedung lainnya
yag dimungkinkan bisa dipakai untuk sidang keliling.
Persiapan mengenai perlengkapan dan alat-alat untuk
keperluan sidang, hal ini disesuaikan dengan keperluan dan keadaan setempat.
Kelengkapan alat-alat sidang tentunya seperti perlengkapan sidang biasa yang
dilakukan di kantor pengadilan. Jenis perkara yang dapat dilakukan pada sidang
keliling diantaranya adalah isbat nikah, cerai gugat, cerai talak,
pengggabungan perkara isbat dan cerai gugat/cerai talak apabila pernikahan
tidak ada bukti dan menngajukan perceraian, hak asuh anak dan penetapan ahli
waris.
Apabila ada suatu perkara yang sedang disidangkan dalam
sidang keliling tapi belum selesai, sedang anggaran DIPA untuk pelaksanaan
sidang keliling tersebut telah habis sehingga tidak ada sidang keliling
lanjutan, maka pemerikasaan dilanjutkan di gedung pengadilan di mana pengadilan
itu berkedudukan. Sepertinya ini akan menjadi masalah, karena pastinya
masyarakat yang berperkara tersebut akan kecewa dengan pengadilan yang
seolah-olah menggantungkan perkara mereka.
Petugas dalam pelaksanaan sidang keliling ini minimal
terdiri dari satu majelis hakim (tiga orang hakim), seorang panitera pengganti
dan seorang petugas administrasi. Dalam hal-hal tertentu sidang keliling
mengikutsertakan seorang hakim mediator, seorang pejabat penanggung jawab dan
seorang jurusita/jurusita pengganti.
Pelaksaanaan sidang keliling ini dapat dilaksanakan di
Kantor Pemerintah, gedung milik Pengadilan Negeri, kantor perwakilan Negara
Republik di luar negeri, atau di tempat gedung lainnya. Sidang keliling yang
diliaksakan Pengadilan Agama Bukittinggi di palupuh bertempat di Kantor Urusan
Agama. Mengenai masalah keamanan pada pelaksanaan sidang keliling ini tidak
memakai perangkat keamanan seperti polisi atau Linmas, hanya mengandalkan
jurusita pengganti.[18]
B.
Kesadaran Hukum
1.
Konsep Kesadaran Hukum
Perubahan-perubahan pada umumnya adalah ciri yang melekat
pada masyarakat. Pada hakikatnnya pembangunan juga merupakan perubahan (yang
direncanakan) dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan, baik di
bidang struktural maupun spritual, misalnya hakim, polisi, jaksa,
pejabat-pejabat administrasi dan lain-lain. Bila pandangan pejabat hukum
terhadap suatu peristiwa yang diatur di dalam undang-undang (hukum) berubah,
maka sesungguhnya hukum juga telah berubah walaupun bunyinya tetap sama. Dapat
diambil kesimpulan bahwa pandangan-pandangan hukum pejabat-pejabat hukum
tesebut adalah perwujdan dari kesadaran hukum dari pejabat-pejabat hukum yang
bersangkutan.[19]
Sumber satu-satunya hukum dan kekuatan yang mengikat
adalah kesadaran hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum dan
keyakinan hukum individu pada masyarakat yang merupakan kesadaran hukum
individu, merupakan pangkal kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya, dinyatakan
bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari
kesadaran-kesadaran hukum individu mengenai suatu peristiwa tertentu. Pendapat
tersebut pada hakikatnya menyatakan, hukum adalah sesuatu yang memenuhi
kesadaran hukum rakyat terbanyak. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa
hukum ditentukan dan tergantung pada praktek-praktek sehari-hari dari pada
pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban hukum. Kedua kesadaran hukum
tersebut sejalan, akan tetapi dalam kenyataan tidak selalu demikian prosesnya.
Padahal, kepastian hukum dan ketertiban umum selalu menuntut agar
ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati.[20]
Kata kesadaran yang asal katanya sadar, yang berarti
merasa tahu dan mengerti. Orang yang sadar berarti bukan orang yang sekedar
tahu akan apa yang ia lakukan, bahkan ia juga mengerti tentang apa yang ia
lakukan. Sedangkan hukum dapat diartikan sebagai norma-norma, norma-norma itu
sendiri adalah nilai-nilai. Jadi istilah kesadaran hukum itu merupakan
pemaknaan dari kesadaran atau nilai-nilai yang terdalam pada diri manusia,
mengenai peraturan atau tentang sesuatu yang diharapkan ada.[21]
Kesadaran hukum terbagi menjadi dua, yaitu; pertama, kesadaran
hukum positif, identik dengan ketaatan hukum, dan kedua, kesadaran hukum
negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum.[22]
Seseorang yang mengetahui akan suatu peraturan hukum, mengetahui maksud dari
hukum tersebut, namun orang itu tidak mau mematuhi aturan itu, maka seseorang
itu mempunyai kesadaran hukum yang negatif. Maka kesadaran hukum itu menyangkut
masalah apakah ketentuan hukum tersebut dipatuhi atau tidak. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, yaitu:
a.
Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan
suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukum
atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama
sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang
bersangkutan dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan.
Sebagai akibat kepatuhan hukum akan ada
apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah
hukum tersebut.
b.
Identification,
terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai
intriksinya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada
hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah
hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh
adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut sehingga kepatuhan tergantung pada baik buruknya
interaksi tadi.
c.
Internatization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah
hukum dikarenakan secara instrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi
kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilai diri pribadi yang
bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya.
Ewick dan Silbey sebagai mana yang dikutip di dalam buku
Achmad Ali, dia membagi kesadaran hukum itu menjadi tiga jenis, yait; consciousness
as attitude (kesadaran sebagai sikap), consciousness as epiphenomenon
(kesadaran sebagai epiphenomenon) dan consciousness as
cultural practice (kesadaran sebagai praktik kultural).
a. consciousness as attitude (kesadaran sebagai sikap)
Beberapa ilmuan mengungkapkan konsep kesadaran sebagai gagasan-gagasan dan
sikap-sikap dari individu-individu yang menentukan bentuk dan tesktur kehidupan
sosial. Secara singkat konsep tentang kesadaran ini, menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok sosial dari semua ukuran dan tipe (keluarga-keluarga,
kelompok-kelompok sebaya, kelompok-kelompok kerja, perusahaan-perusahaan,
komunitas-komunitas, institusi-institusi hukum, dan masyarakat-masyarakat),
muncul dari tindakan-tindakan bersama dari individu-individu.[24]
Tradisi liberal klasik, baik dalam teori politik maupun teori hukum,
mengunakan konsep kesadaran ini. Menurut pendekatan ini, masyarakat politis
adalah... suatu asosiasi individu-individu yang menentukan dirinya sendiri,
yang menyatukan keinginan-keinginan mereka dan mengumpulkan kekuasaan mereka di
dalam negara, untuk tujuan-tujuan kepentingan diri sendiri yang sama-sama
menguntungkan. Dalam hal ini kesadaran terdiri atas baik nalar maupun keinginan
(hasrat), meskipun demikian, menurut ideologi liberal, keinginan, yang tetap
tidak dikaji dan tidak dijelaskan adalah bagian yang menggerakkan aktif, atau
primer diri dari ... Apa yang membedakan seseorang dari orang lain, bukanlah
bahwa mereka memahami duia secara berbeda, tatapi karena menginginkan hal-hal
secara berbeda, bahkan ketika mereka berbagi pemahaman yang sama tentang dunia
tersebut. Di sini, personalitas manusia menjadi terlepas dari sejarah; manusia
dapat dan membuat sejarah.[25]
Dengan mengikuti konsep sikap tentang kesadaran hukum ini, banyak ilmu
sosial Amerika pasca-Perang Dunia II yang berusaha untuk mendokumentasikan
variasi dalam keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan tindakan-tindakan di antara
para warga Amerika, sebagai suatu sarana untuk menjelaskan bentuk dari
institusi-institusi hukum Amerika. Ironisnya, meskipun terdapat fokus sentral
pada kapasitas dari keinginan-keinginan, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap
individual, untuk membentuk dunia, tetapi riiset yang dihasilkan, bukannya
mengambarkan variasi individual, sebaliknya konsensus normatif mendalam, yang
berbasis luas. Sementara para warga mengekspresikan skeptisme yang permanen
tentang keadilan institusi-institusi hukum, mereka tampak terikat, baik
terhadap disukainya maupun terhadap kemungkinan merealisasikan ideal-ideal
hukum untuk perlakukan yang sama dan adil.[26]
Belakangan, Tom Tyler dan Alan Lind, telah mendokumentasi keterikatan warga
Amerika kepada ideal-ideal keadilan dan due proces yang sama, tentang
apa yang ditandai sebagai keadilan prosedural. Mereka berdua menunjukkan bahwa
orang-orang yang megevaluasi pengalaman-pengalaman hukum mereka ,dalam kerangka
proses-proses dan bentuk-bentuk interaksi, ketimbang hasil-hasil dari
iteraksi-intertaksi tersebut. Dengan perkataan lain, sikap-sikap tentang hukum,
berkorelasi kuat denga putusan-putusan tentang keadilan prosedur yang digunakan
oleh otoritas-otoritas hukum, ketimbang dengan apakah orang menjadi menang dan
kalah dalam proses tersebut. Orang-orang peduli untuk memiliki
otoritas-otoritas yang netral dan jujur yang memberikan merekauntuk
mengemukakan pandangan-pandangan mereka dan yang memperlakukan mereka dengan
bermartabat dan hormat. Riset ini menunjukkan bahwa orang-orang kaya lebih
tampil kedepan (the haves come out ahead) ketimbang orang miskin, dan
hal itu disebabkan karena warga menimbang prosedur lebih besar ketimbang
substansi. Struktur hukum yang terstratifikasi dengan demikian ditopang oleh
suatu procedural consciousness (kesadaran prosedural) yang
dipresentasikan dalam komitmen-komitmen warga negara terhadap substantive equality (persamaan
sunstantif).[27]
b. consciousness as epiphenomenon (kesadaran sebagai epiphenomenon)
Di ujung lain dari continuum konsep-konsep kesadaran, beberapa
ilmuwan menganggap kesadaran sebagai produk samping dari operasi
struktur-struktur sosial, ketimbang agen formatif dalam membentuk
struktur-struktur. Dengan demikian para ilmuwan strukturlis dan Marxis,
beragumentasi bahwa individu-individu adalah pembawa dari hubungan-hubungan
sosial, dan sebagai konsekwensinya adalah hubungan-hubungan sosial bukannya
indovidu-individu, itulah yang merupakan objek analisis yang tepat.[28]
Mengikuti perspektif ini, maka beberapa ilmuan memandang hukum maupun
kesadaran hukum sebagai ephiphenomeon, yaitu suatu struktur ekonomi
terpenting untuk memproduksi suatu tertib hukum yang berkaitan atau yang tepat.
Karya ini sering menggambarkan bagaimana kebutuhan-kebutuhan produksi dan
reproduksi kapitalis membentuk perilakuk dan kesadaran hukum . kajian-kajian
menfokuskan pada produksi dan praktik hukum akomodasi kepentingan-kepentingan
kelasnya dan stratifikasi serta ketidakadilan-ketidakadilan yang dihasilkan.[29]
Riset belakangan dalam perspektif strukturalis ini menunjukkan bahwa tertib
hukum berkembang sebagai tanggapan terhadap konflik-konflik dan
ketidakkonsistenan yang dihasilkan oleh mode produksi kapitalis, ketimbanng
sebagai suatu instrumen langsung dari kepentingan-kepentingan kelas tertentu. Untuk
meligetimasi ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan dan irasional-irasional yang
dilahirkan dari kontradiksi-kontradiksi sistem ekonomi, maka tertib hukum
membentuk mitos-mitos, menciptakan lembaga-lembaga penindas dan berusaha unutk
mmengharmonisasikan eksploitasi dengan kebebasan, perampasan dengan pilihan,
kesepakatan-kesepakatan kontrak yang secara inheren tidak adil, dengan suatu
ideoligi kemauan bebas. Meskipun demikian, bahkan di dalam formulasi yang lebih
kompleks ini, hukum dan kesadaran hukum, masih merupakan produk-produk
ketimbang produsen-produsen hubungan sosial.[30]
Dalam kaitan itu, beberapa literatur telah menfokuskan kepada false
cinsciousness (kesadaran palsu) atau the inability of subjects
(ketidak mampuan para subjek), khususnya para anggota dari kelas pekerja, untuk
mepersepsi minat-minat mereka yang sebenarnya atau menggali
kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Suatu pandangan alternatif di dalam
tradisis strukturalis, memandang bahwa kesadaran hukum adalah salah satu dari
cara-cara yang di dalamnya organisasi sosial-sosial menghasilakan sarana-sarana
untuk mewenangkan, menopang, dan memproduksi dirinya sendiri. Dengan
menfokuskan pada pelegitimasian fungsi-fungsi hukum, maka riset memberi
gambaran tentang cara-cara yang di dalamnya hukum membantu orang-orang untuk
memandang dunia-dunia mereka, baik privat maupun publik sebagai suatu yang
alami, ketimbang sebagai sesuatu yang dibentuk melalui interaksi sosial.[31]
Jadi, tentunya keadaan perekonomian secara tidak langsung akan mempengaruhi
terhadap kesadaran hukum, perekonomian yang baik akan menghilangkan
konflik-konflik yang akan berujung pada kesadaran terhadap hukum.
c. consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktik kultural)
Ewick dan Susan berpendapat sebagaimana yang dikutib oleh Achmad Ali,
bahwa:
“We conceive of consciousness as part of a
reciprocal proces in wich the meaning given by individuals to their world, and
law and legal institution as part of the world, become repeated, patterned and
stabilized, and those institutionalized strictures become part of the meaning
employed by individuals...”
(Kita menganggap kesadaran sebagai bagian dari
suatu proses timbal balik, yang di dalamnya makna-makna yang diberikan oleh
individu-individu kepada dunia mereka, hukum serta institusi-institusi hukum
sebagai bagian dari dunia tersebut, menjadi berulang, berpola dan sistabilkan,
dan struktur-struktur yang dilembagakan tersebut menjadi begian dari
sitem-sistem makna yang digunakan oleh individu-individu...)[32]
Lalu mengacu kepada Gordon Marshall yang menuturkan bahwa “we understand
consciousness to be formed within and changed by social action...” (kita
memahami kesadaran sebagia sesuatu yang terbentuk di dalam dan diubah oleh
tindakan sosial...). selanjutnya mengacu kepada Rick Fantasia yang menjelaskan
bahwa “it is, then, less a matter of disembodied mental attitude than a
boarder set of practices and repertoires” (dengan demikian, ini lantas
kurang menjadi persoalan sikap mental yang tidak termanifestasikan, ketimbang
suatu perangkat praktik-praktik dan reportoire yang lebih luas). Kemudian mengacu kepada pendapat Ann Swidler yan g menyatakan bahwa
kesadaran merupakan “inventories the are available for empirical
investigation” (inventaris-inventaris) yang tersedia untuk penyelidikan
empiris).[33]
Selanjutnya Ewick dan Silbey, menguraikan bahwa:
Conceptualized in this way, consciousness in
neither fixed, stable, unitary, not consistent. Instead, we see legal
consciousness as something local, contextual, pluralistic, actions and ways of
operating that collectifely respresent a person’s legal consciousness may very
across time (to reflect learning and experience) or across interactions (to
reflect different object, relationship or purpose). To the extent that
consciousness is emergent in social practice and forged in and around situated
evend and interactions (a dispute with a neighbor, a criminal case, a plumber
who seemed to work few hours but charged for many), a person may express,
through words or actions, a multi-faceted, contradictory and variable
consciousness.
(Jika dikonseptualisasikan dengan cara ini,
maka kesadaran tidaklah permanen, tidak stabil, tidak uniter atau tidak
konsisten. Sebagai gantinya kita melihat kesadaran hukum sebagai sesuatu yang
bersifat lokal, kontekstual, pluralistis, yang diisi dengan konflik dan
kontradiksi. Gagasan-gagasan, interpretasi-interpretasi, tindakan-tindakan dan
cara-cara beroperasi yang secara kolektif mempresentasikan kesadaran hukum
seseorang dapat berfariasi sepanjang masa (untuk mencerminkan pembelajaran dan
pengalaman) atau di seluruh interaksi (untuk mencerminkan objek-objek,
hubungan-hubungan atau tujuan-tujuan yang berbeda). Hingga kadar bahwa
kesadaran muncul dalam praktik sosial dan ditempa di dalam dan di sekitar
peristiwa-peristiwa dan interaksi-interaksi yang disituasikan (sengketa dengan
tetanggga, kasus pidana, tukang leding yang tampaknya hanya bekerja beberapa
jam, tetapi menuntut banyak jam),
seseorang mungkin mengekspresikan melalui kata-kata atau tindakan-tindakan
kesadaran yang multifacet, kontradiktif dan bermacam ragam)[34]
Ewick dan Silbey lebih jauh mengemukakan bahwa, meskipun kesadaran hukum
dapat muncul menurut perspektif ini, merupakan kemunculan baru, bersifat
kompleks dan bergerak, tetapi juga harus diketahui bahwa kesadaran hukum
mempunyai bentuk dan pola. Variasi-variasi yang memungkinkan dalam kesadaran
hukum dibatasi secara situasional dan organisasional. Ketimbang berbicara
tentang makna sebagai suatu proses yang diindividualkan, kita menekankan bahwa
di setiap situasi atau lingkungan, hanya terdapat sejumlah sejumlah terbatas,
interpretasi-interpretasi yang tersedia untuk melekatkan makna kepada hal-hal
dan peristiwa-peristiwa. Sama halnya akses ke dan pengalaman dengan
situasi-situasi yang darinyalah interpretasi-interpratasi muncul dan tersedia
secara berbeda. Dalam halini, perhatian kepada kesadaran, menekankan konstrusi
kolektif dan penghalang-penghalang yang bekerja di setiap lingkungan atau
komonitas dan juga kerja subjek dalam membuat interpretasi-interpretasi dan
melekatkan makna-makna.[35]
Ide tentang kesadaran hukum warga-warga masyarakat sebagai sahnya hukum
positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang rechtsgefuhl atau
rechtsbewustszijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yanng
mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum.[36]
Masalah kesadaran hukum di Indonesia mendapat tempat yang sangat penting
dalam politik hukum khususnya, serta dalam pembangunan pada umumnya yang
merupakan suatu perubahan yang direncanakan. Masalah kesadaran hukum dianggap
sebagai variabel bebas, sedangkan tingkat ketaatan merupakan variabel
tergantung.[37]
2.
Indikator-Indikator Kesadaran Hukum
Indikator-indikator dari kesadaran hukum merupakan petunjuk-petunjuk yang
kongkrit tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Dengan adanya
indikator-indikator tersebut, seseorang yang menaruh perhatian terhadap
kesadaran hukum akan dapat mengetahui apa yang sesungguhnya merupakan kesadaran
hukum. Berikut adalah indikator-indikator kesdaran hukum:
a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum
Merupakan pengetahuan
seseorang mengenai beberapa tindakan yang diatur sedemikian rupa oleh
hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan tindakan yang dilarang maupun
yang diperbolehkan oleh hukum, serta aturan mengenai sebuah alur hukum seperti administrasi dan
sebagainya. Pengetahuan hukum positif erat
kaitannya dengan asumsi, bahwa
masyarakat dianggap mengetahui suatu peraturan manakala peraturan
tersebut telah di undangkan.
Menurut Otje Salman pengetahuan hukum adalah pengetahuan
seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah
tentu hukum yang dimaksud di sini hukum tertulis dan tidak tertulis.
Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perlilaku yang dilarang dan diperbolehkan
oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat bahwa pada umumnya
seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri dan lain sebagainya dilarang oleh
hukum.[38]
Bila suatu peraturan perundangan-undangan telah
diundangkan dan diterbitkan menurut peraturan yang sah dan resmi, maka secara
yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa
sitiap warga masyarakat mengetahui adanya undang-undang tersebut. Seperti
Undang-Undang tentang Perkawinan, sepertinya undang-undang ini telah diketahui
oleh masyarakat secara luas, dikarenakan undang-undang ini telah ada sejak
tahuan 1974, berarti kurang lebih 41 tahun undang-undang ini telah diundangkan.
Pengetahuan masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan
seperangkat pertanyaan mengenai peraturan hukum tertantu seperti Undang-Undang
Perkawinan ini. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar
sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pengetahuan
hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab
dengan benar, dapat dikatakan masyarakat itu belum atau kurang mempunyai
pengetahuan hukum.[39]
b. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (pemahaman hukum)
Merupakan sejumlah pengetahuan yang dimiliki seseorang
mengenai isi peraturan terhadap suatu
hukum tertentu. Bisa diartikan dengan suatu pengertian terhadap isi dan tujuan
dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis serta manfaatnya bagi
pihak-pihak yang kehidupannya di atur oleh peraturan tersebut. Sejumlah
informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum
tertentu. Dengan arti kata lain, pemahaman hukum adalah suatu pengertian
terhadap isi dan tujuan dari suatu hukum tertentu, baik tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya
bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.[40]
Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyarakatkan seseorang
harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur
suatu hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka
dalam menghadapi berbagai hal, terutama kaitannya dengan norma-norma yang ada
pada masyrakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap
tingkah laku sehari-hari.
Pemahaman hukum itu dapat diperoleh salah satunya melalui
pengetahuan tentang isi dari hukum, sehingga dapat diketahui maksud dan tujuan
dari peraturan itu dibuat, serta manfaat dari peraturan itu dapat diketahui
oleh masyarakat, maka dengan hal ini cita-cita hukum dapat tercapai. Seperti
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
menjelaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundangan-perundangan yang berlaku” dan dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam
juga dijelaskan bahwa “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat”, dengan masyarakat mengetahui adanya
peraturan seperti ini, maka masyarakat akan paham bahwa salah satu tujuan
peraturan itu adalah untuk menjamin ketertiban dalam administrasi.
Peraturan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, tentunya
masyarakat akan mendapatkan pemahaman hukum yang mudah, namun terkadang ada
peraturan yang membuat masyarakat berbeda persepsi megenai maksud dan makna
dari sebuah peraturan sehingga harus adanya penjelasan dari pakar hukum
(sebagai contoh) untuk menjelaskannya, seperti ayat (1) dan (2) pasal 2
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; yaitu
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ada sebagian masyarakat yang hanya mengamalkan ayat (1),
sehingga mereka tidak melakukan pencatatan pernikahan mereka, karena mereka
menganggap telah menjalankan undang-undang sesuai yang diatur pada ayat (1) tersebut.
c.
Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum
Merupakan suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu bermanfaat atau
menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum
yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga
masyarakat menerima hukum berdasarkan
penghargaan terhadapnya. Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila
ia telah mengetahui, memahami dan mentaatinya. Artinya ia benar-benar dapat
merasakan bahwa hukum tersebut dapat menghasilkan ketertiban serta ketentraman
dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia
akan tetapi juga dari segi batiniah.[41]
Kecendrungan masyarakat untuk menerima menghargai hukum
ini dipengaruhi oleh:
1) Ketentuan-ketentuan hukum tertulis tidak sapat mengikuti
perubahan-perubahan masyarakat yang terjadi
2) Hukum tidak sesuai dengan sistim yang berlaku
3) Khususnya mengenai hukum baru, dapat timbul perbedaaan oleh karena hukum
tadi belum berhasil mengubah pendapat umum masyarakat
4) Adanya perbedaan-perbedaan antara apa yang dikehendaki hukum dengan apa
yang dikendaki masyarakat umum.[42]
d.
Pola-pola perikelakukan hukum
Pola-pola perikelakukan hukum atau kepatuhan terhadap hukum , hal ini
merupakan hal utama dalam kesadaran hukum,
karena dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat
dan apakah peraturan itu dilaksanakan atau diabaikan saja oleh masyarakat.
Dengan demikian, sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat
dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.
Kepatuhan atau ketaan kepada hukum ada berbagai sebab
yang mempengaruhinya sehingga hukum tersebut dipatuhi:
1) Takut karena sanksi negatif apabila hukum dilanggar
2) Untuk menjaga hubungan baik dengan pengusaha
3) Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
4) Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
5) Kepentingnannya terjamin.[43]
Secara teoritis, faktor keempat merupakan hal yang paling
baik. Hal itu disebabkan faktor pertama, kedua dan ketiga, penerapan hukum
senantiasa diawasi oleh petugas-petugas tertentu, agar hukum itu benar-benar
ditaati di dalam kenyataannya. Seperti pada peraturan perkawinan, bahwa masalah
perkawinan ini masih banyak yang diselewengkan oleh masyarakat dikarenakan
tidak adanya faktor yang pertama, yaitu adanya sanksi apabila peraturan
mengenai perkawinan dilanggar.
Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan
kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku
manusia baik secara individu maupun kolektif. Oleh karenanya jarang kesadaran
hukum lebih menitik beratkan kepada nilai-nilai yang berlaku kepada masyrakat.
Sistem-sistem nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang
bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan sikap
mental menusia, sikap mental yang ada pada hakikatnya merupakan kecendrungan
untuk bertingkah laku dan membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah.[44]
Berdasarkan uraian tersebut, maka keempat indikator
kesadaran hukum tersebut akan menunjukkan tingkatan-tingkatan pada kesadaran
hukum seseorang. Apabila seseorang hanya memenuhi indikator yang pertama, yaitu
menngetahui tentang suatu peraturan hukum, maka kesadaran hukumnya sangatlah
rendah, begitu seterusnya dengan indikator kedua dan ketiga, tentunya indikator
yang keempat yaitu pola-pala perikelakukan hukum atau ketaatan hukum adalah
sebuah penilaian terhadap kesadaran hukum yang tinggi. Tingginya kesadaran
hukum masyrakat, membuat masyarakat pastinya akan mentaati peraturan-peraturan
yang berlaku. Begitu pun sebaliknya, apabila kesadaran hukum rendah, maka
kemungkinan kecil hukum akan ditaati.
Apabila konsepsi dari kesadaran hukum dipandang sempit,
maka seakan mensyaratkan di dalamnya terdapat peraturan-peraturan hukum
terlebih dahulu sebelum kesadaran-kesadaran hukum itu timbul. Dalam sudut
pandang yang lebih luas, konsepsi ini dapat diterapkan dari dua titik pusat.
Apabila titik pusat kesadaran hukum adalah peraturan-peraturan hukum, maka
melalui konsepsi ini dapat dilihat sampai sejauh mana efektifitas
peraturan-peraturan hukum itu dalam masyarakat.
Namun apabila titik pusat kesadaran hukum adalah
fakta-fakta sosial yang berada di tengah masyrakat, maka fakta-fakta sosial itu
akan menjadi proses dari pembentukan hukum.[45]
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini merupakan kesadaran hukum yang
bertitik pusat pada fakta-fakta sosial pada masyarakat, karena penelitian ini
diharapkan bisa merubah kebijakan yang ada di Pengadilan Agama Bukittinggi
khususnya, umumnya tentu kepada semua Pengadilan Agama, serta Mahkamah Agung.
[1] Masa tabi’ adalah masa setelah masa Khulafah Rasyidin,
sedangkan masa tabi’ tabi’in adalah masa setelah masa tabi’in,
tepatnya pada masa imam mazhab.
[2] Beranda atau selasar yang agak panjang bersambung dengan bangunan induk
masjid. peradilan serambi adalah proses peradilan yang dilakukan di beranda atau
selasar masji.
[6] Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 79
[7]
SEMA No. 10
Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, Lampiran
B, Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, Bab I Pendahuluan
[8]
Pasal 1 angka 8
SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, Lampiran B Pedoman Pemberian
Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan
Agama
[9] Pedoman Sidang Keliling Pengadilan Agama, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Tahun 2013, h. 3-4
[11]
Konsideran PERMA No. 1 Tahun 2014, poin a
[21]Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2012), h. 299
[23] Otje Salman
dan Anton F. Susanto, , Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. (Bandung: PT
Refika Aditama, 2004), h. 153 – 154.
[36] Ahmad Tholabi Khalie, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum
Perkawinan (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,2009), h. 40
[38] Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap hukum Waris, cet I (Bandung:
Alumni, 1993), h. 40
[42] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat
(Jakarta: Rajawali Pers,1982) h. 219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar