Dewasa ini umat Islam dihadapkan pada berbagai
masalah ekonomi sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Suatu problem yang amat berat dirasakan umat Islam adalah
berhadapan dengan sistim ekonomi kontemporer yang bebas nilai, yaitu sistim
ekonomi kapitalis dan sosialis. Sistim kontemporer itu apabila dihadapkan
dengan prinsip ekonomi Islam sangat bertolak belakang,
sebab sistim ekonomi
Islam mengandung nilai-nilai serta norma-norma ilahiyah yang secara keseluruhan
mengatur kepentingan ekonomi, individu dan masyarakat.
Islam menegakkan sistim ekonomi dan seluruh
sistim kehidupan berlandaskan azas tauhid yang bertujuan untuk menegakkan
keseimbangan ekonomi dalam kehidupan individu dan masyarakat, dengan demikian
sisitim ekonomi Islam berusaha mengentaskan kehidupan menusia dari ancaman
pertarungan, perpecahan, persaingan, kegelisahan dan kekacauan akibat kekuasaan
dan ancaman keselamatan, keamanan, serta ketentraman, menuju kepada kehidupan
yang damai dan tentram di bawah naungan Allah.
Bagi dunia usaha kontemporer penumpukan barang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar bila didisttribusikan pada
saat harga naik dan para konsumen membutuhkan barang tersebut. Transaksi
seperti ini memberikan keuntungan bagi para penimbun barang dan tentu merugikan
pihak konsumen. Penimbunan barang adalah membeli suatu barang dengan jumlah
banyak kemudian menyimpannya dengan maksud agar barang tersebut berkurang
peredarannya di pasaran, sehingga pada saat barang tersebut berkurang di
pasaran dan konsumen membutuhkan barang tersebut, sehingga pada saat itu harga
akan melonjak, maka pada saat itu orang yang menimbun barang tersebut menjual
dan mendistribusikan barangnya tentu dengan harga yanng tinggi. Konsumen yang
membutuhkan barang tersebut mau tidak mau membeli barang tersebut walau dengan
harga tinggi.
Tindakan menimbun barang seperti yang telah
dijelaskan tersebut, pada sistim ekonomi kontemporer tidaklah ada larangan,
karena hal itu terkait dengan hak setiap pengusaha untuk memperoleh keuntungan
dari aktifitas jual belinya. Transaksi ini tentunya menguntungan satu pihak
saja, yaitu pihak penjual. Serta tindakan ini mengakibatkan hancurnya
stabilitas harga di pasar. Sedangakan di dalam Islam penimbunan barang terutama
bahan pokok dilarang, sebab merugikan konsumen dan merusak keseimbangan pasar.
PENGERTIAN IHTIKAR
Ihtikar berasal dari bahasa Arab, yaitu الإحتكار, yang berarti perbuatan menimbun, pengumpulan
barang-barang atau temapt untuk menimbun. Kata الإحتكار berasal dari kata حكر yang berarti الظلم (aniaya). Dengan
timbangan kata احتكر – يحتكر- احتكار,ini berarti upaya penimbunan
barang deagangan untuk menunggu melonjaknya harga.[1]
Ada beberapa defenisi ihtikar yang dikemukakan oleh ulama fiqh dengan kontek
yang berbeda, namun mempunyai makna yang sebenarnya sama.
1. Muhammad Rawwas dalam bukunya Ensiklopoedi Fiqh Umar bin Khattab ra,
mendefenisikan bahwa ihtikar adalah membeli barang-barang yang kalau disimpan
akan menimbulkan bencana, seperti makanan, mijak, biji rami, kapas dan
sebagainya kemudian menyimpannya.[2]
2.
Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu
mendefenisikan bahwa ihtikar adalah menahan barang dagangan dari peredaran.[3]
3.
Imam Ghazali mendefenisiskan ihtikar dengan
penyimpanan baranng dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya
harga dan menjualnya ketika harga melonjak.[4]
4. Fathi Duraini, mendefenisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjualnya
kepada orang lain yang meneybabkan melonjaknya harga pasar secara drastis
disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar,
sementara masyarakat, negara maupun hewan akan mebutuhkan produk, manfaat atau
jasa tersebut.[5]
Defenisi ihtikar oleh Fathi Dura ini ini adalah defenisi secara luas, karena
tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat suatu komoditas dan bahkan
jasa dari para pemberi jasa.
Monopoli dalam buku teori mikro ekonomi yanng
ditulus oleh M. Nur Rianto adalah suatu keadaan dimana di pasar hanya ada satu
penjual sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya.[6]
Frank Fisher menjelaskan bahwa monopoli adalah kemempuan bertindak dalam
menentukan harga dengan caranya sendiri, sedangkan Kan Besanko menjelaskan
bahwa monopoli sebagai penjual yang menghadapi kecil bahkan tidak ada
persaingan di pasar.[7]
Monopoli merupakan suatu keadaan di mana jenis
struktur pasar yang di dalamnya terdapat suatu kekuatan penawaran sehingga
monopolis tersebut bisa menjalankan politik harga dan menentukan jumlah barang
yang harus dipasarkan.[8] Dalam Kamus Besar Ekonomi, dijelaskan bahwa monopoli itu muncul disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
1. Penguasaan bahan mentah yang strategis
2. Hak paten
3. Terbatasnya pasar
4. Pemberian hak monopoli oleh pemerintah[9]
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga memberika defenisi
tentang monopoli ini, yaitu pada Bab I Pasal 1 ayat (1) bahwa monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelakku usaha. Kemudian
pada ayat (2) dijelaskan bahwa praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan
sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa monopoli atau ihtikar itu
bercirikan:
1. Hanya ada satu produsen yang menguasai sebagian besar atau seluruh jenis
barang atau jasa tertentu
2. Jasa atau barang yang dijual tidak mempunyai saingan yang berarti atau
tidak ada saingan sama sekali
3. Pasaran barang atau jasa yang dipasarkan tersebut sulit untuk dicampuri
pihak lain
4. Produk yang dihasilkan mempunyai ccirikhas yang membedakan dengan produk
lain.
DASAR HUKUM TENTANG PELARANGAN IHTIKAR
1. QS. Almaidah: 2
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحِلُّواْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ
وَلَا ٱلۡهَدۡيَ وَلَا ٱلۡقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ
يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّهِمۡ وَرِضۡوَٰنٗاۚ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ
أَن تَعۡتَدُواْۘ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا
تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ
شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya
2. QS. Albaqarah: 279
فَإِن
لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن
تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩
Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya
3. QS. Al-Hajj: 78
وَجَٰهِدُواْ
فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي
ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ
عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ
بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨
Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah
menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong
4. Hadis riwayat al-Thabrani dari Ma’qil bin Yasar
من دخل في شيء من أسعار
المسلمين ليغليه عليهم كان حق على الله ان يقده من النار يوم القيامة
Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga
tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka
pada hari kiamat
5. Hadis riwayat Abu Daut dan Tirmizi
من احتكر فهو خاطئ
Siapa yang menimbun baranng maka ia berdosa[10]
Ibnu Umar juga meriwayatkan, bahwa Rasulullah
bersabda: من احتكر الطعام اربعين ليلة فقد
برئ من الله وبرئ الله منه (para pedagang yang menimbun barang
makanan/kebutuhan pokok manusia selama 40 hari maka ia terlepas dari hubungan
dengan Allah dan Allah pun melepaskan hubungan dengannya). Berdasarkan
hadis tersebut bahwa pelaku ihtikar berdosa karena perbuatannya itu bisa
berakibat kesulitan bagi masyarakat dalam hal mendapatkan keperluannya.
Kesulitan masyarakat untuk memperoleh keperluan mereka disamping juga karena cadangan menipis atau
bahkan tidak ada sama sekali, walaupun ada namun harga sangat tinggi sekali.
Kondisi inilah yang diharapkan oleh penimbun barang guna mendapatkan keuntungan
yang banyak.[11]
Praktek ekonomi seperti ini bertentangan denngan prinsip Islam, karena tujuan
dari sistim ekonomi ini adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk
pribadi dan dalam pikiran mereka tidak terlintas kesulitan yang dialami
masyarakat. Apa yang mereka lakukan itu merupakan praktek sistim ekonomi
kapitalis yang semata-mata mencari keuntungan semata.[12]
Melihat perilakku mereka yang tidak Islami dan tidak manusiawi itu, Nabi
memberikan gelar negatif kepada mereka itu. Oleh sebab itu, ulama berpendapat
bahwa ihtikar itu pada prinsipnya haram, karena merusak kestabilan harga di
pasar.[13]
Ulama memberikan kriteria tertentu bentuk
ihtikar yang diharamkan, yaitu sebagai berikut:
1.
Bahwa
barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, serta tanggungan untuk persediaan nafkah
untuk dirinya dan keluarganya dalam tengang waktu selama satu tahun.
2.
Menimbun barang untuk dijual, kemudian pada
waktu harganya melambung tinggi dan kebutuhan masyarakat akan barang tersebut
telah mendesak, barulah para penimbun menjualnya denngan harga yang sangat
tinggi.
3.
Barang-barang yang ditimbun itu berupa
kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan lai-lain.[14]
4.
Barang terebut telah sampai kepada batas yang
menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang ditimbun. Karena keadaan
menimbun tidak akan terjadi selain dalam keadaan seperti ini. Seandainya penumpukab
barang tidak menyulitkan warga setempat untuk membelinya, maka penimbunan
barang tersebut tentu tidak akan terjadi. Jadi syarat penimbunan barang
bukanlah semata-mata pembelian barang tetapi juga karena menumpuk barang
daganngan dengan menunggu harga naik agar bisa menjualnya dengan harga yang
mahal.[15]
Pengharaman terhadap penimbunan barang-barang
tersebut dikarenakan adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan berlipat ganda
sebab bila barang itu tidak ditimbun dan langsung didistribusikan kepada
konsumen keuntungan yang didapatkannya tidak akan sebesar keuntungan yang
diperoleh dari para penimbun. Disamping itu dengan penimbunan ini dapat merusak
harga dan stabilitas pasar, dari harga yang rendah langsung melambung ke harga
yang lebih tinggi.[16]
[1]
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalat
(Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2000), hl. 157
[2] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi
Fiqh Umar bin Khattab ra (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 169
[3]
Iamam Nawawi, al Majmu Syarah al
Mahazdaf (Beirut: Dar al Fikr,), h. 51
[4]
Abu Hamid al Ghazali, Ihya ‘Ulum
al Din, Jilid II (Beirut: Dar al Fikr, 1980), h. 24
[5]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 655
[6]
M. Nur Rianto al Arif dan Euis
Amalia, Teori Mikroekonomi, Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi
Konvensional (Jakarta: Kencana, 2010), h.231
[7]
Adiwarman Karim, Ekonomi Makro
Islam, I Edisi II(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
[9]
Ibid
[10]
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah
(Kairo: Dar al-Fath, 1998), h. 74
[11]
Taqiyuddin al-Nabhani, Nizhamul
Iqtishadi Fill Islam, terj (tt: Dar al-Ummah, 2004) h. 565
[12]
Ahmad al-Riyadi, Yas Alunaka fi
al-Din wal Hayah (Beirut: Darul Jail, 1990) h. 151
[13]
Sayid Sabiq, op.cit, h. 162
[14]
Ibid
[15]
Taqiyuddin al-Nabhani, op.cit.,
h. 263
[16]
Chuzaimah dan Hafiz Anshari, Problematika
Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997) h. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar