Kamis, 14 April 2016

MONOPOLI/IHTIKAR

Dewasa ini umat Islam dihadapkan pada berbagai masalah ekonomi sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu problem yang amat berat dirasakan umat Islam adalah berhadapan dengan sistim ekonomi kontemporer yang bebas nilai, yaitu sistim ekonomi kapitalis dan sosialis. Sistim kontemporer itu apabila dihadapkan dengan prinsip ekonomi Islam sangat bertolak belakang,
sebab sistim ekonomi Islam mengandung nilai-nilai serta norma-norma ilahiyah yang secara keseluruhan mengatur kepentingan ekonomi, individu dan masyarakat.
Islam menegakkan sistim ekonomi dan seluruh sistim kehidupan berlandaskan azas tauhid yang bertujuan untuk menegakkan keseimbangan ekonomi dalam kehidupan individu dan masyarakat, dengan demikian sisitim ekonomi Islam berusaha mengentaskan kehidupan menusia dari ancaman pertarungan, perpecahan, persaingan, kegelisahan dan kekacauan akibat kekuasaan dan ancaman keselamatan, keamanan, serta ketentraman, menuju kepada kehidupan yang damai dan tentram di bawah naungan Allah.
Bagi dunia usaha kontemporer penumpukan barang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar bila didisttribusikan pada saat harga naik dan para konsumen membutuhkan barang tersebut. Transaksi seperti ini memberikan keuntungan bagi para penimbun barang dan tentu merugikan pihak konsumen. Penimbunan barang adalah membeli suatu barang dengan jumlah banyak kemudian menyimpannya dengan maksud agar barang tersebut berkurang peredarannya di pasaran, sehingga pada saat barang tersebut berkurang di pasaran dan konsumen membutuhkan barang tersebut, sehingga pada saat itu harga akan melonjak, maka pada saat itu orang yang menimbun barang tersebut menjual dan mendistribusikan barangnya tentu dengan harga yanng tinggi. Konsumen yang membutuhkan barang tersebut mau tidak mau membeli barang tersebut walau dengan harga tinggi.
Tindakan menimbun barang seperti yang telah dijelaskan tersebut, pada sistim ekonomi kontemporer tidaklah ada larangan, karena hal itu terkait dengan hak setiap pengusaha untuk memperoleh keuntungan dari aktifitas jual belinya. Transaksi ini tentunya menguntungan satu pihak saja, yaitu pihak penjual. Serta tindakan ini mengakibatkan hancurnya stabilitas harga di pasar. Sedangakan di dalam Islam penimbunan barang terutama bahan pokok dilarang, sebab merugikan konsumen dan merusak keseimbangan pasar.
PENGERTIAN IHTIKAR
Ihtikar berasal dari bahasa Arab, yaitu الإحتكار, yang berarti perbuatan menimbun, pengumpulan barang-barang atau temapt untuk menimbun. Kata الإحتكار berasal dari kata حكر yang berarti  الظلم (aniaya). Dengan timbangan kata  احتكر – يحتكر- احتكار,ini berarti upaya penimbunan barang deagangan untuk menunggu melonjaknya harga.[1] Ada beberapa defenisi ihtikar yang dikemukakan oleh ulama fiqh dengan kontek yang berbeda, namun mempunyai makna yang sebenarnya sama.
1.      Muhammad Rawwas dalam bukunya Ensiklopoedi Fiqh Umar bin Khattab ra, mendefenisikan bahwa ihtikar adalah membeli barang-barang yang kalau disimpan akan menimbulkan bencana, seperti makanan, mijak, biji rami, kapas dan sebagainya kemudian menyimpannya.[2]
2.      Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu mendefenisikan bahwa ihtikar adalah menahan barang dagangan dari peredaran.[3]
3.      Imam Ghazali mendefenisiskan ihtikar dengan penyimpanan baranng dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan menjualnya ketika harga melonjak.[4]
4.      Fathi Duraini, mendefenisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta,  manfaat atau jasa dan enggan menjualnya kepada orang lain yang meneybabkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan akan mebutuhkan produk, manfaat atau jasa tersebut.[5] Defenisi ihtikar oleh Fathi Dura ini ini adalah defenisi secara luas, karena tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari para pemberi jasa.
Monopoli dalam buku teori mikro ekonomi yanng ditulus oleh M. Nur Rianto adalah suatu keadaan dimana di pasar hanya ada satu penjual sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya.[6] Frank Fisher menjelaskan bahwa monopoli adalah kemempuan bertindak dalam menentukan harga dengan caranya sendiri, sedangkan Kan Besanko menjelaskan bahwa monopoli sebagai penjual yang menghadapi kecil bahkan tidak ada persaingan di pasar.[7]
Monopoli merupakan suatu keadaan di mana jenis struktur pasar yang di dalamnya terdapat suatu kekuatan penawaran sehingga monopolis tersebut bisa menjalankan politik harga dan menentukan jumlah barang yang harus dipasarkan.[8] Dalam Kamus Besar Ekonomi, dijelaskan bahwa monopoli itu muncul disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.      Penguasaan bahan mentah yang strategis
2.      Hak paten
3.      Terbatasnya pasar
4.      Pemberian hak monopoli oleh pemerintah[9]
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga memberika defenisi tentang monopoli ini, yaitu pada Bab I Pasal 1 ayat (1) bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelakku usaha. Kemudian pada ayat (2) dijelaskan bahwa praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa monopoli atau ihtikar itu bercirikan:
1.      Hanya ada satu produsen yang menguasai sebagian besar atau seluruh jenis barang atau jasa tertentu
2.      Jasa atau barang yang dijual tidak mempunyai saingan yang berarti atau tidak ada saingan sama sekali
3.      Pasaran barang atau jasa yang dipasarkan tersebut sulit untuk dicampuri pihak lain
4.      Produk yang dihasilkan mempunyai ccirikhas yang membedakan dengan produk lain.
DASAR HUKUM TENTANG PELARANGAN IHTIKAR
1.      QS. Almaidah: 2
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحِلُّواْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ وَلَا ٱلۡهَدۡيَ وَلَا ٱلۡقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّهِمۡ وَرِضۡوَٰنٗاۚ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواْۘ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya

2.      QS. Albaqarah: 279
فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya

3.      QS. Al-Hajj: 78
وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong

4.      Hadis riwayat al-Thabrani dari Ma’qil bin Yasar
من دخل في شيء من أسعار المسلمين ليغليه عليهم كان حق على الله ان يقده من النار يوم القيامة
Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat
5.      Hadis riwayat Abu Daut dan Tirmizi
من احتكر فهو خاطئ
Siapa yang menimbun baranng maka ia berdosa[10]

Ibnu Umar juga meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: من احتكر الطعام اربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ الله منه (para pedagang yang menimbun barang makanan/kebutuhan pokok manusia selama 40 hari maka ia terlepas dari hubungan dengan Allah dan Allah pun melepaskan hubungan dengannya). Berdasarkan hadis tersebut bahwa pelaku ihtikar berdosa karena perbuatannya itu bisa berakibat kesulitan bagi masyarakat dalam hal mendapatkan keperluannya. Kesulitan masyarakat untuk memperoleh keperluan mereka  disamping juga karena cadangan menipis atau bahkan tidak ada sama sekali, walaupun ada namun harga sangat tinggi sekali. Kondisi inilah yang diharapkan oleh penimbun barang guna mendapatkan keuntungan yang banyak.[11] Praktek ekonomi seperti ini bertentangan denngan prinsip Islam, karena tujuan dari sistim ekonomi ini adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk pribadi dan dalam pikiran mereka tidak terlintas kesulitan yang dialami masyarakat. Apa yang mereka lakukan itu merupakan praktek sistim ekonomi kapitalis yang semata-mata mencari keuntungan semata.[12] Melihat perilakku mereka yang tidak Islami dan tidak manusiawi itu, Nabi memberikan gelar negatif kepada mereka itu. Oleh sebab itu, ulama berpendapat bahwa ihtikar itu pada prinsipnya haram, karena merusak kestabilan harga di pasar.[13]
Ulama memberikan kriteria tertentu bentuk ihtikar yang diharamkan, yaitu sebagai berikut:
1.      Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, serta tanggungan untuk persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya dalam tengang waktu selama satu tahun.
2.      Menimbun barang untuk dijual, kemudian pada waktu harganya melambung tinggi dan kebutuhan masyarakat akan barang tersebut telah mendesak, barulah para penimbun menjualnya denngan harga yang sangat tinggi.
3.      Barang-barang yang ditimbun itu berupa kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan lai-lain.[14]
4.      Barang terebut telah sampai kepada batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang ditimbun. Karena keadaan menimbun tidak akan terjadi selain dalam keadaan seperti ini. Seandainya penumpukab barang tidak menyulitkan warga setempat untuk membelinya, maka penimbunan barang tersebut tentu tidak akan terjadi. Jadi syarat penimbunan barang bukanlah semata-mata pembelian barang tetapi juga karena menumpuk barang daganngan dengan menunggu harga naik agar bisa menjualnya dengan harga yang mahal.[15]
Pengharaman terhadap penimbunan barang-barang tersebut dikarenakan adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan berlipat ganda sebab bila barang itu tidak ditimbun dan langsung didistribusikan kepada konsumen keuntungan yang didapatkannya tidak akan sebesar keuntungan yang diperoleh dari para penimbun. Disamping itu dengan penimbunan ini dapat merusak harga dan stabilitas pasar, dari harga yang rendah langsung melambung ke harga yang lebih tinggi.[16]




[1] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalat (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2000), hl. 157
[2] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab ra (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 169
[3] Iamam Nawawi, al Majmu Syarah al Mahazdaf (Beirut: Dar al Fikr,), h. 51
[4] Abu Hamid al Ghazali, Ihya ‘Ulum al Din, Jilid II (Beirut: Dar al Fikr, 1980), h. 24
[5] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 655
[6] M. Nur Rianto al Arif dan Euis Amalia, Teori Mikroekonomi, Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional (Jakarta: Kencana, 2010), h.231
[7] Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islam, I Edisi II(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
[8] Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, Kamus Besar Ekonomi (Bandung: CV Pustaka Grafika, 2003) h. 319
[9] Ibid
[10] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Kairo: Dar al-Fath, 1998), h. 74
[11] Taqiyuddin al-Nabhani, Nizhamul Iqtishadi Fill Islam, terj (tt: Dar al-Ummah, 2004) h. 565
[12] Ahmad al-Riyadi, Yas Alunaka fi al-Din wal Hayah (Beirut: Darul Jail, 1990) h. 151
[13] Sayid Sabiq, op.cit, h. 162
[14] Ibid
[15] Taqiyuddin al-Nabhani, op.cit., h. 263
[16] Chuzaimah dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997) h. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar