Kamis, 07 April 2016

ETIKA DAN ILMU


Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah mencari hakikat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam keadaan berfikir (logika), berperilaku (etika), maupundalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai sesuatu yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam sesuatu masyarakat dan sering kalli tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Manusia mempunyai seperangkat
pengetahuan yang bisa membedakan antara yanng benar dan salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hnay dapat dilakkukan oleh orang lain yang melihat kita. Orang lain yang mampu membrikan penilain sekaligus memberikan arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kita.
Sumaryono mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, dimana etika saat ini berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang waktu yang berbeda, yang mengambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.[1]
Secara etimologi istilah etika berrasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu ethos atau ethikos. Ethos diartikan sifat, watak, sikap, kebiasaan atau tempat yang biasa. Sedangkan kata ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Jadi jika dilihat dali usul-usul kata etika, maka dapat didefenisikan sebagai ilmu tentang apayang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Kata lain yang lebih dekat dengan etika adalah moral, yang dalam bahasa latin disebut mores, yang berarti kebasaan, watak, kelakuan, tabiat atau cara hidup.[2] Dalam Islam etika biasa disebut dengan akhlak.[3]
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dirumuskan kedalam tiga arti sebagai berikut:
1.      Ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang hak kewajiban moral (akhlak)
2.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[4]
Menanggapi tiga pengertian di atas, Bertens mengemukakan bahwa etika dapat dirumuskan:
1.      Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (sistim nilai). Misal etika orang Jawa dan Etika agama Budha.
2.      Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik. Misal kode etik Advokat Indonesia, dan lain-lain.
3.      Etika dipakai dalam arti ilmu tentang baik atau buruk.[5]
Kata-kata ertika sering juga ddisebut dengan ethic (Inggris) berarti etika, tatasusila.[6] Conny R. Semiawan menjelaskan etika itu sebagai the study of the nature of morality and judgemen (kajian tentang hakikat moral dan keputusan [kegiatan menilai]). Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia yang kadang-kadang disebut dengan moral. Maka etika dipakai delam dua bentuk arti, pertama etika mreupakan suatu kumpulan pengtahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya.[7]
Menurut Wiramiharja, etika meliputi empat pengertian, yaitu:
1.      Etika merupakan sistim nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khususnya manusia.
2.      Etika digunakan pada suatu diantara sistim-sistim khusus yaitu moral yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu.
3.      Etika adalah sisstim moralitas
4.      Etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.[8]
Berdasarkan beberapa defenisi, bahwa etika dapat disimpulkan dengan ilmu yang membicarakan masalah perbuatan tingkkah laku manusia, mana yang dapat dinilai dengan baik dan mana yang dinilai buruk dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna fikiran.
Istilah ilmu diambil dari bahasa Arab yaitu ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja acire yang berarti mempelajari dan mengetahui.[9]
Menurut The Liang Gie, memberikan penngertian ilmu adalah rangakaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara reasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan penngetahuan sistimatis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Menurut W. Admojo ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistim menurut metode-metode tertentu, yang digunakan untuk dapat menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Sedangkan menurut Sumarna ilmu dihasilkandari pengetahuan ilmiah yang berangkat dari perpaduan proses berfikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris). Adapun menurut A. Sudanto ilmu adalah rangkaian aktifitas menusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya mennghasilkan pengetahuan.[10] Beberapa pengertian ilmu tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah rangkaian aktifitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan penngetahuan.
Menurut Maufur, beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk dapat masuk kategori sebagai berikut:
1.      Sistimatis, yakni ada urutan awal hingga akhir dan ada hubungan yang bermakna antara bagian-bagian atau fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang tersusun secara runtut.
2.      General, yaitu keumuman sifatnya yang berlaku di manapun (lintas ruanng dan waktu) berkaitan dengan kadar mutu yang standar. Dapat juga disebut universal, karena dapat dikomunikasikan kapan dan di manapun, paling tidak di bumi ini. Semisal hukum-hukum fisika yang berlaku di Amerika, maka berlaku juga di Indonesia, Inggris dan negara lainnya.
3.      Rasional, meksudnya ialah ilmu sebagai pegethuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Pengujian atas pengetahuan ilmiah adalah penalaran yang betul-betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan faktor-faktir non rasional, seperti emoso sesaat dan kesenanngan pribadi.
4.      Objektif, adalah apa adanya mengungkap realitas yang sahih bagi siapa saja.
5.      Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu, mencari dan menemukan sesuatu sebagai kebenaran, dan secara terus menerus. Karena ilmu pengetahuan akan terus berkembangketika ditemukan jwaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan dan terus dicari jawabannya lagi, demikian seterusnya.
6.      Dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan argumentasi logis rasional, apalagi jika telah melalui eksperimen berulang kali.[11]
Senada dengan itu, ilmu menurut The Liang Gie mempunyai lima ciri pokok, yaitu:
1.      Empiris, ilmu itu diperileh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2.      Sistematis, berbagai keteranngan dan data yang terssusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3.      Objektif,, ilmu itu berarti bebas dari persangkaan perseorangan dan kesukaan pribadi
4.      Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
5.      Verikatif, dapat diperikasa kebenarannya oleh siapapun.

Hubunngan antara etika dan ilmu
Menurut Suriasumantri antara ilmu dan etika mempunyai hubungan yang sangat erat. Ada yang berpendapat bahwa ilmu bebas nilai karena sesungguhnya ilmu itu mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Ada dua paham yang berkaitan dengan nilai, pertama fase empiris, pada fase ini di zaman Yunani dulu Aristoteles mengtakan bahwa ilmu tidak mengabdi pada pihak lain. Ilmu dipelajari manusia demi ilmu itu sendiri. Kegiatan berilmu adalah kegiatan yang mewah yang menyegarkan jiwa. Dengan ilmu orang banyak memperoleh pengertian tentang dirinya dan alam sekitarnya. Pada fase ini tugas suatu generasi terbatas pada mencapai ilmu dan meneruskan pada generasi berikutnya. Belum ada tuntutan supaya mengembangakanilmu, baru pada abad ke 17 ilmu giat dikembangkan dan oranng sudah mulai mencari apa tujuan sebenarnya dari ilmu itu, jadi fase yang sifatnya empiris rasional kemudian berkembanga menjadi fase eksperimental rasional. Kedua, paham pragmatis yang berpendapat bahwa di dalam ilmu terdapat nilai yang mendorong manusia untuk bersikap hormat terhadap ilmu. Hormat ini mula-mula ditujukan hanya pada ilmu yang diterapkan pada kehidupan saja karena nilai dari ilmu terletak pada kebenarannya. Ilmu mengejar kebenaran yang merupakan inti etika ilmu tetapi kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari suatu ilmu.[12]
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yanng mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini kemudian dirupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematis sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang logika rasional umum (commonsense) dinilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan unifersal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.[13]
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tangggung jawab etis menyangkut kegiatan meupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan gegnerasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bahkan untuk menghancurkan ekosistem tersebut.
Manusia disebut etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampumemenuhi hajat hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan ornag lain, antara rohani dan jasmani, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.




[1] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi, cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) h. 166
[2] Ibid, h. 164
[3] Mafri Amir, Etika Komonikasi Massa dalam Pandangan Islam
[4] Kamus Besar Bahasa indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, h. 237
[5] A. Susanto, op.cit., h. 165
[6] Kamus Inggris – Indonesia , Jhon M. Echols dan Hsan Shadily, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 219
[7] A. Susanto, op.cit., h. 118
[8] Ibid, h. 166
[9] Ibid, h. 79
[10] Ibid, h. 77
[11]  Ibid, h. 45-46
[12] Ibid, h. 188
[13] Sutoyo, dkk, Regulitas Sains, Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman (Malang: Brawijaya, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar