SEBAGAI DALIL HUKUM
I. PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknlogi telah
membawa perubahan kearah yang lebih positif bagi kehidupan manusia. Di pihak
lain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa dampak yang negatif
bagi kehidupan manusia. Berbagai persoalan-persoalan umat muncul saat ini tidak
terlepaskan dari kemajuan tersebut.
Agama Islam sebagai agama yang ditujukan untuk
seluruh umat manusia pada akhir zaman menawarkan solusi-solusi terhadap
persoalan-persoalan umat tersebut. Apalagi persoalan hukum, para ulama telah
merumuskan formula-formula untuk mengistinbatkan hukum yang terdapat dalam
sunnah dan untuk menerapkan hukum dimasyarakat. Formula-formula hukum tersebut
secara umum disebut dengan ijtihad.
Selain itu agama Islam juga memperhatikan
kebisaan masyarakat yang merupakan ruh dari kehidupan sosial di masyarakat.
Kebiasaan tersebut disebut dalam istilah ushul fiqh dengan urf atau adat.
Dalam makalah yang ringkas ini penulis akan
membahas urf atau adat dari segi ilmu ushul fiqh. Dalam makalah ini penulis
juga membahas Hak Asasi Manusia sebagai dalil hukum, karena sejak berakhirnya
perang dunia kedua sering orang menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai dasar
hukum.
II. URF
A. Pengertian Urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘araf, ya’rifu
yang sering diartikan dengan al-ma’ruf yang berarti sesuatu yang dikenal. Kata
‘urf juga berarti kebaikan sebagaimana firman Allah dalam surat al-A’raf ayat
199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur
Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur
Ç`tã
úüÎ=Îg»pgø:$#
ÇÊÒÒÈ
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf(kebaikan), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Para ulama berbeda-beda mendefinisikan urf
diantaranya :
1. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqari
mendefinisikan
العرف هو العادة الجارية بين الناس[1]
“Urf adalah adat yang berlaku
dikalangan manusia”
2. Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan urf dengan
العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول او
فعل او ترك ويسمى العادة[2]
“Urf adalah sesutau yang
sudah saling (sama-sama) diketahui oleh mausia dan berlaku dikalangan mereka
baik berupa perkataan, perbuatan atau larangan. Urf disebut juga adat”.
Masih banyak lagi definisi urf yang
dikemukakan oleh para ulama, namun pada intinya definisi yang dikemukakan itu
mengandung unsur unsur yang sama. Unsur-unsur dari urf adalah sesuatu yang
sudah saling dikenal (diketahui) atau diakui oleh masyarakat secara umum dan sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan
ditengah-tengah masyarakat.
Para umumnya para ulama menyamakan urf dengan
adat. Adat secara bahasa terambil dari kata ( عاد - يعود) yang mengandung arti perbuatan yang berulang-ulang. Wahbah
Zuhaili mengutip dari Syarh al-Tahrir mengatakan adat adalah suatu perbuatan
berulang-ulang tanpa ada pengaruh dari akal[3]. Suatu
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Sesuatu
yang berulang-ulang dan terus menerus terjadi ditengah-tengah masyarakat akan
menjadi kebiasaan di masyarakat itu dan pasti diketahui serta diakui oleh
seluruh anggota masyarakat tersebut.
Adapun perbedaan antara urf dan adat adalah :
1. Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal dan
berlaku umum ditengah-tengah masyarakat. Sedangkan adat adalah sesuatu yang
berulang kali dilakukan dan menjadi kebiasaan ditengah-tengah masyarakat.
2. Urf dikonotasikan terhadap sesuatu yang baik
maka urf tidak netral, sedangkan adat tidak memandang apakah sesuatu itu baik
atau buruk tetapi memandang kepada berulangnya sesuatu, jadi adat itu netral.
3. Urf meliputi jamaah atau golongan (umum)
sedangkan adat dapat digunakan untuk sebagian orang (khusus) tetapi terkadang
bisa juga untuk golongan.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang
mendasarkan antara urf dengan adat karena pada prinsipnya kedua kata tersebut mempunyai
pengertian yang sama yaitu, suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan
menjadi dikenal dan diakui oleh orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan
orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun kedua kata itu dapat
dibedakan tapi perbedaannya tidak berarti[4].
Kalau digabungkan kedua kata ini, malah saling melengkapi.
Berdasarkan Urf merupakan sesuatu yang sudah
diketahui dan diakui oleh orang secara umum, maka urf kelihatannya mirip dengan
ijma’. Namun antara kedunya terdapat perbedaan yang mendasar yaitu;
1.
Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid, sedangkan urf
bukan kesepakatan mujtahid tetapi hanya berlaku umum ditengah masyarakat[5].
2.
Ijma’ harus diakui oleh semua mujtahid, kalau ada
yangtidak mengakuinya maka tidak akan tercapai ijma’. Sedangkan Urf walaupun
ada sebagian yang yang tidak mengakuinya ia tetap dianggap sebai urf.
3.
Ijma’ tidak dapat dirubah atau dibatalkan. Sedangkan urf
berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
B. Pembagian Urf.
1. Dilihat dari segi materi yang biasa dilakukan
maka urf terbagi kepada :
a. Urf qauli (قولي), yaitu kata-kata yang berlaku umum dalam masyarakat.
Contohnya penggunaan kata walad (ولد) terhadap anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan, penggunaan kata lahm (لحم) dalam kehidupan sehari orang Arab tidak
termasuk daging ikan (سمك).
b. Urf fi’li (فعلي) atau ‘amali (عملي), yaitu perbuatan yang sudah menjadi
kebiasaan ditengah-tengah masyarakat. Contohnya kebiasaan jual beli
barang-barang yang enteng dengan tanpa shighat ijab kabul dan kebiasaan berjalan
disebelah kiri dianggap baik di Indonesia.
2. Dilihat dari segi ruang lingkup penggunaanya,
urf terbagi kepada :
a. Urf ‘am (عام) atau umum, yaitu kebiasaan yang sudah
berlaku secara umum dimana-mana tanpa dibatasi ruang dan waktu. Contoh
penggunaan kata thalaq, cerai atau putus dalam perkawinan berarti menghancurkan
hubungan pernikahan.
b. Urf khas (خاص) atau khusus, yaitu kebiasaan yang terjadi
disuatu kaum, kelompok, golongan atau kabilah. Contoh Orang Iraq mengkhususkan
pemakaian lafazd dabah (دابة) terhadap kuda, dan lafazd hanif (حنيف) terhadap tinta, adanya harta pusako
tinggi di Minangkabau dan lain-lain.
3. Dilihat dari segi baik dan buruk, urf terbagi
kepada :
a. Urf shahih (صحيح), yaitu kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan norma agama, sopan santun dan budaya leluhur. Contoh Menyapa dan
tersenyum saat bertemu, mengucapkan terimakasih atas bantuan orang, memberi
penghargaan dan hadiah bagi orang yang berprestasi dan lain-lain.
b. Urf fasid (فاسد), yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan
norma agama, sopan santun dan budaya leluhur meskipun merata dilakukan
masyarakat. Contoh menyediakan minuman keras saat pesta pernikahan, kebiasaan
free sex, kumpul kebo, homoseksual dan lesbian disebagian masyarakat.
4. Dilihat dari segi persentuhan urf dengan hukum
Islam, urf terbagi kepada :
a. Urf yang diterima keseluruhannya oleh hukum
Islam, apabila substansi urf tersebut mengandung unsur keashlahatan. Contoh
pada masyarakat Arab sebelum Islam pelaku pembunuhan membayar diyat kepada keluarga terbunuh. Setelah
Islam datang hukum ini masih tetap berlaku.
b. Urf yang yang diterima oleh hukum Islam dan
mengalami perubahan atau penyesuaian dengan hukum Islam karena substansinya
tidak mengandung kemafsadatan, namun tidak baik menurut Islam. Contohnya
sebelum Islam datang orang Arab yang sudah tidak suka terhadap istri maka ia
akan menzhihar istrinya dengan maksud menceraikannya. Setelah Islam datang
zhihar masih tetap berlaku tetapi Islam merubahnya bahwa zhihar menyebabkan
terlarangnya persetubuhan suami istri, namun tidak meyebabkan perceraian.
c. Urf yang ditolak hukum Islam secara mutlak.
Yaitu urf yang mengandung kemafsadatan atau mudharatnya lebih besar dari
manfaatnya. Contohnya minuman keras dan judi.
d. Urf yang belum terserap kedalam hukum Islam
baik langsung amupun tidak langsung. Yaitu urf yang tidak mengandung mafsadat
dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini banyak sekali terjadi
ditengah masyarakat. Urf bagian ini yang menjadi perbincangan dikalangan ulama.
Contohnya uang jemputan dalam pernikahan.
C. Urf Sebagai Dalil Hukum
Secara hakikat Urf merupakan salah satu dari
dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri. Biasanya ia memelihara maksud dari
al-mashlahah al-mursalah[6]. Urf
menjadi dalil hukum kalau ada sandarannya. Adapun dalil yang menetapkan urf
sebagai dalil syara’ adalah :
1. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 6
..... $tB ßÌã ª!$#
@yèôfuÏ9
Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym
.....
“.....Allah tidak hendak
menyulitkan kamu......,”
Apabila hukum tidak merespon adat dan kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat,
berarti hukum tersebut akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan bagi manusia[7].
Hal ini jelas bertentangan dengan ayat tersebut diatas.
2. Hadits Nabi Muhammad SAW
ما رآه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
“Sesuatu yang dianggap
baik oleh kaum muslim maka Allah juga menganggapnya baik”.
Ulama yang bayak menggunakan urf sebgai dalil
hukum adalah Hanafiyah dan Malikiyah. Mereka banyak mengeluarkan kaidah yang
berkaitan dengan urf, diantaranya:
1. العادةمحكمة
Adat (urf) menjadi pertimbangan hukum
2. الثابت بالعرف ثابت بدليل شرعي
Sesuatu yang tetap berdasarkan urf sama dengan sesuatu
yang tetap berdasarkan dalil syar’i.
3. بالعرف كالثابت بالنص الثابت
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan urf sama dengan
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan nash.
4. ماورد به الشرع مطلقاولاضابط له فيه ولافي اللغة
يرجع فيه الي العرف كل
Semua yang datang dengan syara’ secara mutlak dan tidak
ada ketentuannya dalam syara’ dan bahasa maka dikembalikan kepada urf[8].
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam
berijtihad dan salah satu bentuk istihsan adalah istihsan al-urf dalam artian
berpaling dari qiyas kepada urf[9].
Contohnya seseorang yang bersumpah tidak akan memakan daging maka dia tidak
dianggap melanggar sumpahnya ketika ia memakan ikan karena menurut kebiasaan
orang Arab ikan tidak termasuk daging.
Ulama Malikiyah mempergunakan urf (kebiasaa)
penduduk Madinah sebagai dalil hukum dan mendahulukannya dari pada hadits ahad.
Sedangkan ulama Syafi’iyah banyak menggunakan urf dalam hal-hal yang tidak
ditemukan hukumnya dalam syara’.
Para ulama juga menetapakan syarat urf sebagai
dalil syara’ diantaranya[10] :
1. Urf tidak boleh berlawanan dengan nash
2. Urf merupakan perbuatan yang berulang-ulang
dilakukan atau sudah menjadi kebiasaan
3. Urf tersebut sudah ada saat itu dan
sebelumnya, andai kata sebelumnya sudah ada urf kemudian hilang atau adanya
kemudian maka tidak dianggap urf saat itu.
4. Urf
berlaku secara umum dikalangan masyarakat. Golongan Hanafiyah tidak memakai urf
khusus.
5. Urf mengandung kemashlahatan dan sesuai dengan
akal sehat[11].
D. Perbenturan dalam Urf.
1. Perbenturan urf dengan syara’, maksudnya
perbedaan urf dengan nash terhadap makna sebuah kata. Hal ini terbagi kepada :
a. Perbedaan urf dan nash terhadap sebuah kata
yang tidak mengandung materi hukum, maka didahulukan urf. Contohya orang yang
bersumpah bahwa ia tidak akan makan daging tidak dianggap melanggar sumpah
kalau ia makan ikan, karena menurut urf ikan tidak termasuk daging. Namun al-Nahl
ayat 14 ikan termasuk daging.
b. Perbedaan urf dan nash terhadap kata yang
mengandung materi hukum, maka didahulukan nash dari urf. Contoh apabila
sesorang berwasiat untuk kerabatnya. Menurut urf ahli waris termasuk kerabat,
namun menurut nash tidak boleh berwasiat kepada ahli waris. Maka didahulukan
nash dari urf.
2. Perbenturan urf qauli dengan pengertian sebuah
kata menurut bahasa, ulama berbeda pendapat tentangnya, diantaranya:
a. Menurut Qadhi Husein, hakikat penggunaan
bahasa adalah beramal dengan bahasa. Bila berbeda urf dengan pengertian sebuah bahasa maka
didahulukan penggunaan bahasa.
b. Menurut al-Baghawi, urf didahulukan dari
pengertian bahasa karena urf diperhitungkan dalam segala tindakan apalagi dalam
sumpah.
c. Menurut al-Rifa’i mencontohkannya dalam hal
talak. Andaikata terjadi perbedaan antara urf dengan pengertian bahasa maka
sahabat ada yang mendahulukan bahasa dan ada juga yang mendahulukan urf[12].
3. Perbenturan urf dengan umum nash namun
sebagian dari saja dari umum tersebut. Hal ini terdapat perbedaan pendapat
ulama, yaitu:
a. Menurut Hanafiyah urf berfungsi mentakhsish
keumuman nash. Contoh Al-Qur’an menjelaskan bahwa menyusukan anak waktunya dua
tahun penuh. Namun adat bagsawan Arab, anak-anaknya disusukan oleh orang lain
dengan jalan upah.
b. Menurut Syafi’iyah hanya urf qauli yang dapat
mentakhsish keumuman nash. Contoh nash melarang jual beli sesuatu yang belum
ada ditangan. Namun jual beli pesanan (salam) sudah menjadi urf qauli dan fi’li ditengah-tengah masyarakat.
Maka urf mentakhsish keumuman nash.
4. Perbenturan urf dengan qiyas
Hampir semua ulama mendahulukan urf dari qiyas
karena menggunakan urf merupakan kebutuhan dan hajat orang banyak. Contoh
pendapat ulama tentang hal itu adalah :
a. Ibnu al-Humam menempatkan urf sebagai ijma’,
maka ia mendahulukan urf dari qiyas.
b. Hanafiyah menggunakan istihsan yang
bersandarkan kepada urf. Dengan demikian urf didahulukan dari qiyas. Contohya
lebah dan ulat sutera haram diperdagangkan karena diqiyaskan kepada kodok
dengan illat sama-sama hama. Namun berdasarkan urf lebah dan ulat sutera
bermanfaat dan sudah biasa dipelihara orang. Oleh sebab itu, Muhammad ibn Hasan
al-Saibani (murid Imam Abu Hanifah) menghalalkan jual beli lebah dan ulat
sutera berdasarkan urf[13].
III. HAM
A.
Pengertian HAM
Hak Asasi berasal dari bahasa Arab yaitu hak( الحق) dan asasi (اساس.). Secara bahasa hak berarti ketetapan,
kewajiban, yakin, yang patut dan yang benar[14].
Sedangkan secara istilah hak berarti
suatu kekhususan yang ditetapkan oleh Syara’ dalam bentuk kekuasaan atau
tanggung jawab. Dengan demikian hak bukan berarti sesautu yang bisa diambil
tetapi juga sesuatu yang harus diberikan[15].Asasi
berarti dasar atau pondasi sesuatu. Jadi,
hak asasi manusia berarti kekuasaan dan tangung jawab yang dimiliki setiap
manusia yang bersifat mendasar atau fundamental.
Sedangkan dalam ABC Teaching Human Right
disebutkan, “Human Rights could be generally defined as those rights which
are inherent in our nature and without which we can not live as human right”
(Hak asasi manusia secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang secara
alamiah telah ada pada manusia dan tanpa hak-hak tersebut manusia tidak dapat
hidup sebagai manusia). Burhanuddin Lopa setuju dengan definisi tersebut tetapi
menambah pada ujungnya dengan “bertanggung jawab”. Penambahan tersebut
maksudnya adalah bahwa manusia tidak hanya punya hak tetapi ia juga punya
tanggung jawab[16].
Abu A’la al-Maududi mengemukakan definisi hak
asasi manusia adalah hak-hak pokok yang diberikan Tuhan kepada setiap mausia
tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada di antara sesama manusia dimana hak
tersebut tidak dapat dicabut oleh siapapun atau lembaga apapun[17].
Pada tanggal 10 Desember 1948, Perserikatan
Bangsa-Bangsa melahirkan Declaration of human rights. Declaration of human
rights tersebut terdiri dari 30 pasal. Diantara hak asasi manusia yang
tercantun dalam deklarasi PBB itu adalah:
1. Hak hidup. Setiap manusia berhak untuk hidup
dan meneruskan kehidupan dengan keturunannya serta mempertahankan kehidupannya
itu dengan bebas dan wajar.
2. Hak berpendapat. Setiap manusia dalam kalbunya
ingin bebas menyatakan pendapatnya menurut jalan pikiran serta pandangan
hidupnya tanpa campur tangan dan bebas menerima pendapat orang lain tanpa
batasan tertentu.
3. Hak memeluk suatu agama. Setiap manusia ingin
bebas memeluk suatu agama dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.
4. Hak berserikat dan berkumpul. Setiap manusia
merdeka untuk menjadi anggota suatu organisasi yang dirasakan sesuai dengan
pandangan hidupnya.
5. Hak mendapat pekerjaan. Setiap orang bebas
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
6. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Setiap orang memerlukan pendidikan guna meningkatakan taraf hidupnya.
7. Hak menentukan hari depannya sendiri dan
menikmati kehidupan ini secara wajar dan bebas. Hari depan setiap manusia tidak
dapat dipaksakan kepadanya.diberi kebebasan untuk menikmati kehidupan ini
sesuai dengan keinginannya[18].
Setelah PBB mengeluarkan deklarasi hak asasi
manusia, setiap negara memasukannya kedalam konstitusi negara masing-masing.
B.
Hak Asasi Manusia dalam Islam
Ajaran agama Islam juga mengandung
prinsip-prinsip hak asasi manusia. Di antara hak asasi manusia yang terkandung
dalam agama Islam adalah
1. Hak hidup
Hak hidup merupakan hak asasi yang sangat
alami bagi manusia. Ia merupakan hak yang langsung dikaruniakan Allah kepada
manusia. Tiada satupun yang dapat menghidupkan dan melenyapkan kehidupan
manusia tanpa seizin dari Allah SWT. kekuasaan menghidupkan dan mematikan hanya
berada ditangan Allah SWT. jiwa manusia suci dan tidak seorangpun boleh
melenyapkannya. Orang yang melakukan pembunuhan terhadap orang lain akan
dikenai hukum qishas. Jauh dari pada itu, orang yang melakukan pembunuhan
dianggap telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, orang yang memelihara
kehidupan seseorang dianggap telah memelihara seluruh kehidupan manusia. Firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 32
....... `tB @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ ..........
“...Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[411], atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnyadan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...”
Dalam surat al-Isra ayat 33 dan surat al-An’am
ayat 151 diperingatakan oleh Allah, bahwa tidak boleh melakukan pembunuhan
kecuali dengan alasan yang benar. Dengan demikian Agama Islam sangat
menghormati hak hidup seseorang dan menjaga hak hidup tersebut dengan
sebaik-baiknya.
2. Hak berpendapat
Berpendapat adalah mengemukakan ide atau gagasan[19].
Dalam surat al-Baqarah ayat 164 Allah menyampaikan ide atau gagasan tersebut
merupakan hasil dari perenungan terhadap penciptaan langit dan bumi serta
pergantian siang dan malam. Pendapat yang dikemukakan hendaknya pendapat yang
mengandung keilmuan dan nasehat-nasehat kebaikan. Sementara pendapat-pendapat
yang mengandung adu domba, fitnah, merusak nama baik seorang dan menimbulkan
keresahan ditengah masyarakat sangat dilarang oleh agama Islam.
3. Hak untuk berserikat dan berkumpul.
Agama Islam tidak hanya memberikan kebebasan
berserikat dan berkumpul tetapi juga mengharuskan manusia untuk ikut serta
berperan aktif dalam urusan-urusan masyarakat. Firman Allah dalam surat
al-Syura ayat 38
tûïÏ%©!$#ur
(#qç/$yftGó$#
öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur
3uqä© öNæhuZ÷t/
$£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã
ÇÌÑÈ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”.
4. Hak memeluk suatu agama
Kemerdekaan untuk memeluk suatu agama
merupakan hak asasi yang paling hakiki, karena agama bersemayam dalam hati
manusia. Penistaan terhadap agama tidak hanya akan diderita oleh harta dan
fisik tetapi juga akan diderita oleh hati dan jiwa manusia. Sebab, Islam
menghalalkan pengorbanan harta dan jiwa demi membela dan mempertahankan agama.
Adapun bentuk-bentuk kemerdekaan beragama
terwujud dalam hal-hal; pertama tidk ada paksaan untuk memeluk suatu agama atau
kepercayaan tertentu atau paksaan untuk meninggalkan agama dan kepercayaan
tertentu. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 256
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Selain dalam surat al-Baqarah ayat 256 diatas
dasarnya juga terdapat dalam surat al-Kafirun ayat 1-6.
Kedua, Islam membolehkan kepada umat non
muslim (ahlu kitab) untuk melakukan hak dan kewajiban atau apa saja yang mereka
inginkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam[20]. Islam
juga melindungi dan menghalal makanan ahlu kitab serta menghalalkan menikahi
wanita ahlu kitab.
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi.
5. Hak mendapatkan pekerjaan
Agama Islam menjamin hak-hak untuk mendapatkan
pekerjaan dan mendorong manusia untuk selalu bekerja keras. Firman Allah dalam
surat al-Jumu’ah ayat 10
#sÎ*sù
ÏMuÅÒè%
äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû
ÇÚöF{$#
(#qäótGö/$#ur `ÏB
È@ôÒsù
«!$#
(#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè?
ÇÊÉÈ
“Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
6. Hak mendapatkan pendidikan
Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan
setinggi-tingginya. Pendidikan merupakan salah satu sarana yang akan menunjang
martabat dan untuk meraih kehidupan yang lebih berkualitas. Banyak sekali
ajaran-ajaran dalam agama Islam yang mendorong manusia untk menuntut ilmu.
Ketika nabi Adam as baru diciptakan oleh Allah SWT, Allah kemdian mengajarkan
kepadanya nama-nama dari segala sesuatu. Hal ini menunjukan bahwa manusia
merupakan makhluk yang istimewa yang dapat menerima pelajaran dan ilmu
pengetahuan. Begitu juga dengan firman Allah dalam al-Mujadalah ayat 11, bahwa
orang yang beriman dan mempunyai ilmu pengetahuan akan ditinggikan Allah
derjatnya.
7. Hak milik individu
Agama Islam telah memberikan jaminan terhadap
hak milk pribadi manusia jauh sebelum piagam PPB dikeluarkan. Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat al-Baqarah ayat 188 dan surat al-Nisa’ ayat 29
melarang memakan harta orang lain dengan dengan jalan yang batil. Nabi Muhammad
SAW berkhutbah saat wada’, “Nyawamu dan harta bendamu haram bagi orang lain
sampai kamu bertemu Tuhanmu pada hari kiamat”[21].
8. Hak perlindungan kehormatan
Kehormatan manusia dihormati dalam agama
Islam. Islam melarang hal-hal yang dapat menjatuhkan kehormatan seperti
mengolok-olok, menghina, mencela, memanggil dengan gelar yang buruk,
berprasangkaburuk, mencari kesalahan orang lain dan bergunjing sebagaimana yang
Allah jelaskan dalan surat al-Hujurat ayat 11 dan 12.
Selain itu
masih banyak hak-hak manusia yang dilindungi dalam Islam, diantaranya hak hak
pribadi (hak privasi) sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Nur ayat 27 yang melarang memasuki rumah orang tanpa
seizinnya, hak perlindungan dari hukuman penjara yang sewenang-wenang, hak
untuk memprotes kezaliman, hak persaman dalam hukum dan lain.lain.
Pada hakikatnya
seluruh hukum-hukum yang terkandung dalam ajaran agama Islam mengandung
kemashlahatan yang disimpulkan dalam maqashid al-Syari’ah. Imam Al-Syathibi menyampaikan
kemashlahatan yang ingin dicapai agama bukan hanya kemashlatan yang berhubungan
dengan hak Allah tetapi juga kemashlahatan bagi manusia[22].
Kemahlahatan bagi manusia yang diinginkan oleh syari’at ini pada hakikatnya
mengandung seluruh hak-hak asasi manusia yang paling mendasar.
C.
Macam-macam HAM
HAM ditinjau
dari syara’ terbagi kepada dua bagian yaitu:
1. HAM Sahih, yaitu HAM yang tidak bertentangan
dengan dalil-dalil syara’ dan maqashid al-Syari’ah. Contoh hak hidup, hak
mendapatkan pendidikan, hak atas pekerjaan yang layak dan sebagainya.
2. HAM fasid, yaitu HAM yang bertentangan dengan
dalil-dalil syara’ dan maqashid al-syari’ah. Contohnya jaringan Islam Liberalis
mengajukan mengajukan draft contra legal KHI yang salah satu isinya adalah
adanya kesamaan jumlah bagian kewarisan antara laki-laki dan perempuan. Contoh
lain adalah pluralisme, liberalisme dan sekuralisme sebagaimana MUI melarang
ajaran tumbuh dan berkembang di Indonesia berdasarkan fatwa MUI Nomor 7/MUNAS
IV/MUI/II/2005[23].
D.
Hak Asasi Manusia Sebagai Dalil Hukum
Sebagaimana
urf, HAM juga merupakan dalil hukum yang tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus
punya sandaran kepada dalil yang lebih kuat. HAM yang dapat dijadikan dalil
hukum adalah HAM shahih yang sesuai dengan syariat agama.
IV. PENUTUP.
Urf dan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu
dalil syara’ yang tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus mempunyai sandaran
kepada dalil yang lebih kuat baik kepada nash al-qur’an dan sunnah. Paa
dasarnya urf dan HAM bertujuan untuk mencapai kemashlahatan.
Dengan semakin
banyaknya persoalan-persoalan keumatan yang timbul maka disarankan kepada
generasi muda Islam apalagi kepada praktisi hukum Islam dan akademisi untuk
lebih memperbanyak dan memperdalam kajian-kajian hukum Islam baik berupa proses
maupun produk hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asyqari, Muhammad Sulaiman Abdullah. Al-Wadhih fi
Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Nafais.cet.3.2004.
Al-Bardisi, Muhammad Zakaria. Ushul al-Fiqh.
Kairo: Dar al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tawzi’.tt.
Hussain. Syekh Syaukat. Hak Asasi Manusia
Dalam Islam.(judul asli Human Right in Islam).penterjemah Abdul Rochim.
Jakarta: Gema Insani Press.1996
Ikhwan. Hak Asasi Manusia Dalam Islam.
Jakarta:PT.Logos Wacana Ilmu.2004
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Iskandariah:
Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah. 2002.
Manzhur, Jalal al-Din Muhammad ibn Mukarram Ibnu. Lisan
al-Arab. Mesir: Dar al-Mishriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah
MUI. Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975. Jakarta:
Erlangga.2011
Putra. Dalizar. Hak Asasi Manusia Menurut
Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra.cet.2.1995
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jil.2.
Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu.1999.
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah. Kairo: Dar al-Fikri.Juz.3.tt
Zuhaili, Wahbah.Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Kairo:Dar
al-Fikr. Juz.2.1986.
[1] Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqari. Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh. Kairo:
Dar al-Nafais.cet.3.2004.h.153
[2] Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul al-Fiqh. Iskandariah: Maktabah al-Dakwah
al-Islamiyah. 2002.h.89
[4] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jil.2. Jakarta: PT.Logos Wacana
Ilmu.1999.h.364
[7] Muhammad Zakaria al-Bardisi. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Tsaqafah li
al-Nasyr wa al-Tawzi’.tt.h.335
[14]Jalal al-Din Muhammad ibn Mukarram Ibnu Manzhur. Lisan al-Arab. Mesir: Dar
al-Mishriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah.tt.h.332
[18] Dalizar Putra. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna
Zikra.cet.2.1995.h.35-36
[21] Syekh Syaukat Hussain. Hak Asasi Manusia Dalam Islam.(judul asli Human
Right in Islam).penterjemah Abdul Rochim. Jakarta: Gema Insani Press.1996.h.61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar