Tasyri' Pada Masa Imperium Turki Usmani; Sebelum Dan Sesudah
Tanzimat; Majallah Al-Ahkam Al-'Adliyah
A. PENDAHULUAN
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam
era kemunduran pertama.[1]
Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya
sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.[2]
Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak
tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).[3]
Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki
Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang
baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari
kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana
diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan
dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode berikutnya,[4]
kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser
menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat
(1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya
Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi
di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani
untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan
salah satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di
samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang
perkembangan hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba
menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum
Tanzimat, Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
B. SEKILAS
TENTANG TURKI USMANI
Pendiri
kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz[5]
yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu
lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di
Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa
Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk
mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol
dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II
berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk
mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan
sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa
Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.[6]
Pada tahun
1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya,
Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani,
beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak
berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng
Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan
Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam
beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh
atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan
berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam
perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak
berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M)
berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah
selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang
membawa kemajuan dalam Islam.[7]
C. SEBELUM
TANZIMAT
Sebagai
diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai
kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai
penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam
ia memakai gelar Khalifah.[8]
Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan
memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu
oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh
al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal
pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan
atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh
al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar
al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang
qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan
Mesir.[9]
Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi.[10]
Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi.
Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.
Mahkamah
Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana dan perdata.
2.
Mahkamah
Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji
perkara yang berlaku.
3.
Mahkamah Tinggi
(Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para
qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.
Mahkamah Agung
(Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan
Sultan.[11]
Lembaga
peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat
intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni
dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan
agama dan pemerintahan.
D. MASA
TANZIMAT (1839-1876 M)
Secara etimologi
tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti
mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[12]
Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang
terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan
munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu
bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan
sebagainya.[13]
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan
yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan
nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan
berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M).[14]
Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam
organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan
yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan
urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan
urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).[15]
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan
hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya,
hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing
lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang
Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang
terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan
Agama ).[16]
Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah
adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat
dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya
persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
Disamping
itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang mempertahankan dan
membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena
fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini
harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar
fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat.
3. Reformasi, melontarkan gagasan,
bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul
sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi
dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash
secara kontekstual.[19]
Agaknya
keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih
lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan
diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3
Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i
Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M.[20]
Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan
Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa
permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara
dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut,
maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang
baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta
kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan
lamanya dinas meliter.[21]
Selanjutnya
dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan
pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan.
Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik
terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang
dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut
haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak
boleh disita.[22]
Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk
melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan,[23]
serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam,
bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan,
jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya
ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan
semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka
terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki
Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata
oleh Majelis Ahkam al-Adliyah[24]
dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di
bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta
kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama.[25]
Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat
ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856M[26]
Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak
mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang
berada di bawah kekuasaan Turki Usmani,[27]
sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi
artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun
dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan
lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk
semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada
akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi
Eropa.
Dapat
dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani
banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam
dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru
yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang
secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah
ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar
dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga
didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang
diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang
melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang
ditetapkan.[28]
Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku
sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan.
Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
E. MAJALLAH
AL-AHKAM AL-ADLIYAH
Munculnya Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi
hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa
Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini belum
terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan,
bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan suatu hal
yang positif.[29]
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi
pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu
pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab
yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya
semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi
kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum
berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan
perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab
ini.[30]
Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum. Panitia
yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun
mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M panitia
berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama Majallah
al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan
bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah
ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di
bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria.[31]
Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah, tentang defenisi ilmu
fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2. Bab-bab Muamalah yang dibedakan
untuk setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab. Pada muqaddimah setiap bab
berisikan istilah-istilah fiqh yang berkaitan dengan setiap kitab.[32]
Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan
kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari ketentuan-ketentuan
Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping pendapat lain[33]
dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya dalam majallah ini
tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan
beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu
Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini
khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab
selain Hanafi.[34]
Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak
hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi)
dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman hukum dalam
satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang mengakibatkan
lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya ketelitian dalam
memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan yang sudah baku dan
adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya
hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara peristiwa
kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
F.
TASYRI’ SETELAH TANZIMAT
Pada akhir
periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang
dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari
sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan
yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:[35]
1. Mahkamah
al-Thawaif atau
Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya
dari agama masing-masing.
2. Qadha
al-Qanshuli,
yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing
tersebut.
3. Qadha
Mahkamah Pidana, bersumber
dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha
Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah
al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis
al-Syari’ al-Syarif, mengadili
perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh
Islam.
Begitu
pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung.[36]
Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan
pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat.
Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat
penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para
cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh
nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki),37 yang dipengaruhi
oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme
dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki
hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia
memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya
menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik
al-Islam, Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum
syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal
perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita
mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah
diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan
pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam
mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih
memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk
mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini
masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun
dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa
Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini
mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme
dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun
yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan
pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum
Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat
ini.
G.
KESIMPULAN
Perkembangan
hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang beragam
pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at Islam yang diintervensi
oleh pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang
oleh syari’at Islam tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang non Islam
Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum. Ini terjadi pada
masa tanzimat, dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang dipelopori
oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam
yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan
Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung:
Mizan, 1993)
Bosworth, C.E., Dinasti-dinasti Islam, (Bandung:
Mizan, 1980)
Goldscmidt, Athur, A Concise History of the
Midle Sast, Edisi ke-4, (USA: Westview Press, 1991)
Haidar, Ali, Dar
al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah,
t.t)
Hitti, Philip K., History of the Arabs,
(London: The Mac Millan Press, 1974)
Hourani, Albert, dkk, (ed), The Midle
East, (California: The University of California Press, 1993)
al-Humaidi,
Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab
al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t) Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim
fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983)
Mahsani, Subhi,
Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam,
(Bandung: PT al-Ma’arif, 1981)
Ma’luf, Lois, Al-Munjid
fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq)
Madkhur,
Muhammad Salam, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I
...........................,
Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996)
Ridwan, Kafrawi
(ed), Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994)
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki
Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988)
Syatanawiy,
Ahmad, Dirasah al-Ma’aruf al- Islami, (Kairo: Al-Syu’b t.t)
Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, (Jakarta: Logos, 1997)
al-Qaththan, Manna’,
Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t)
[1]
Athur Goldscmidt, A Concise History of the Midle Sast, Edisi
ke-4, (USA: Westview Press, 1991), h. 124
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:
UI Press, 1985), Jilid I, h. 82-83
[3]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The
Mac Millan Press, 1974), h. 710
[4]
Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, (Jakarta:
Logos, 1997), h. 54-66. Lihat juga Ahmad Syatanawiy, Dirasah al-Ma’aruf al-
Islami, (Kairo: Al-Syu’b t.t), h. 162-164
[5]
C.E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam,(Bandung: Mizan,
1980), h. 163
[6]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2
[7]
Harun Nasution, op.cit., h. 84
[8]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 92
[9] Abdurrahman Ibn
Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo:
Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298
[10] Su’ud Ibn Ali
Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab
al-Wazir, 1983), h. 278
[12]
Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut:
Dar al-Masyriq), h. 818
[13]
Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, jilid III,
(Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994), h. 113. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan,
op.cit., h. 97
[14]
Arthur, Ibid., h. 156
[15]
Harun nasution, op.cit., h. 93
[16]
Abdurrahman, loc.cit
[17]
Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga Ensiklopedi
Islam, loc.cit
[18]
Ibid
[19]
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi
Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993), h. 107-110
[20]
Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California:
The University of California Press, 1993), h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit
[21]
Harun Nasution, op.cit., h. 99-100
[22]
Ibid
[23]
Albert, op.cit., h. 63
[24]
Kodifikasi ini dikenal dengan Majallah al-Ahkam
Al-Adliyah. Yang akan dibicarakan lebih lanjut pada poin E
[25]
Albert, op.cit., h. 352. Lihat Harun Nasution, op.cit.,
h. 101
[27] Piagam Humayun
dikeluarkan atas desakan negara-negara Eropa pada Kerajaan Turki Usmani yang
pada waktu itu dalam keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan dalam peperangan. Negara
Eropa menjamin keutuhan Kerajaan Turki Usmani kalau mereka diberi hak yang sama
dengan orang Islam
[28]
Duraib, op.cit. h. 384
[29]
Abdurrahman, op.cit. h. 302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha
fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115
[30]
Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, op.cit., h.
116
[31]
Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad:
Maktabah al-Ma’arif, t.t), h. 404
[32] Abdurrahman, loc.cit.
Salam Madkhur, loc.cit. Manna Qaththan, loc.cit. Ali Haidar, Dar
al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah,
t.t). h. 13-17
[33]
Subhi Mahsani, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih
bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1981), h. 71
[34]
Salam Madkhur, loc.cit
[35]
Duraib, op.cit. h. 284